Kukar, beritaalternatif.com – Kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng menimbulkan efek negatif bagi masyarakat Indonesia, salah satunya antrean panjang di beberapa toko penyedia minyak goreng yang kemudian mengakibatkan salah seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Berau meninggal dunia.
Berbagai analisis dan spekulasi terkait penyebab kelangkaan minyak goreng ini pun mencuat ke publik. Ada yang menduga hal ini disebabkan suplai bahan baku untuk minyak goreng berkurang secara drastis karena Crude Palm Oil (CPO) yang diproduksi Indonesia dijual oleh para pengusaha ke luar negeri. Pasalnya, harga CPO di mancanegara sedang meningkat tajam.
Pengamat ekonomi-politik yang juga politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Haidir, mempunyai pandangan berbeda terkait penyebab kelangkaan minyak goreng ini. Ia menduga terdapat broker yang sengaja menumpuk minyak goreng yang seharusnya disalurkan ke masyarakat.
Dugaannya, langkah ini diambil oleh para pedagang dan pengusaha untuk meraup keuntungan besar dengan menaikkan harga pada momentum-momentum tertentu. Sebab, kelangkaan ekstrem minyak goreng akan mendorong kenaikan harga secara drastis.
Haidir membantah dalih sebagian pihak yang berpendapat bahwa kelangkaan minyak goreng terjadi karena CPO yang dijadikan bahan baku minyak goreng berkurang untuk kebutuhan dalam negeri disebabkan perusahaan-perusahaan di Indonesia mengekspornya ke luar negeri.
Dasarnya, produksi CPO di Indonesia sangat besar karena terdapat perkebunan kelapa sawit yang sangat luas di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Produksi CPO di Indonesia dinilainya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Umumnya, lanjut dia, setiap perusahaan CPO telah membuat standar produksi. Mereka juga sudah terikat dengan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan CPO yang menjadikannya sebagai bahan baku minyak goreng.
Karena itu, dia berpendapat, apabila CPO langka karena dijual oleh pengusaha-pengusaha perkebunan di luar negeri, maka tidak akan mengurangi pasokan CPO untuk pabrik-pabrik yang memproduksi minyak goreng. Kalaupun diekspor ke mancanegara, kemungkinan besar itu hanya kelebihan dari kebutuhan CPO di Indonesia.
Pemasok CPO pun tidak dapat keluar begitu saja dari kontrak dengan perusahaan yang membutuhkan CPO untuk bahan baku minyak goreng. “Karena kalau itu dilakukan, maka akan keluar dari adendum mereka, dan itu menjadi masalah bagi perusahaan yang memproduksi CPO,” jelasnya kepada beritaalternatif.com pada Minggu (13/3/2022) sore.
Kata dia, selama ini sebagian besar minyak goreng di dalam negeri dipasok oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, sehingga impor minyak goreng relatif kecil, bahkan jarang dilakukan pemerintah.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan, sambung dia, pasti memiliki data produksi CPO di Indonesia. Pemerintah pun mempunyai perhitungan yang detail terkait kebutuhan CPO di dalam negeri.
Bila terjadi kelebihan CPO setelah memenuhi kebutuhan dalam negeri, kata Haidir, maka perusahaan-perusahaan yang memproduksi CPO akan mengekspornya ke luar negeri.
Haidir menegaskan, kebijakan ekspor maupun impor tidak terlepas dari otoritas pemerintah. Jika kebutuhan CPO dalam negeri sudah terpenuhi, maka kelebihan pasokan tersebut akan diekspor ke negara-negara yang membutuhkannya.
“Saya yakin pemerintah punya datanya. Kita bisa pastikan itu karena tidak ada pernyataan resmi dari pemerintah bahwa kita menghadapi kelangkaan bahan baku untuk minyak goreng,” jelas Haidir.
Sementara bila kelangkaan minyak goreng ini disebabkan persoalan distribusi, maka masalah tersebut tidak akan dihadapi oleh semua daerah di Indonesia. Sejumlah daerah yang memiliki pabrik minyak goreng tidak akan menghadapi masalah kelangkaan.
Kenyataannya, semua daerah di Indonesia menghadapi masalah yang sama. Minyak goreng hanya tersedia dalam jumlah kecil di pasar-pasar tradisional dan modern.
Selain itu, kelangkaan minyak goreng disebabkan persoalan distribusi karena faktor-faktor alam seperti cuaca ekstrem juga tidak memiliki alasan kuat. Pasalnya, gelombang air laut naik dan angin kencang umumnya terjadi pada bulan Agustus.
Karena itu, dia berpendapat, minyak goreng sejatinya tidak didistribusikan ke pasar. Hanya saja, indikasi penimbunan mesti ditelusuri lebih lanjut oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Apakah perusahaan sengaja menahan distribusinya atau perusahaan telah mendistribusikan tetapi ada broker-broker di pasar yang menimbunnya, ini harus didalami oleh pemerintah,” ucap Haidir.
Dia menyebutkan, penyelesaian masalah ini pun sejatinya mudah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan sidak serta memegang data-data penyalur minyak goreng. Aparat pemerintah dapat mengunjungi gudang-gudang yang dijadikan tempat penyimpanan minyak goreng.
“Dalam dua sampai tiga hari saya yakin akan ditemukan banyak penyalur yang kemungkinan menimbun minyak goreng. Itu terjadi di Banjarmasin. Itu ditemukan penumpukan yang besar sekali. Nah, penindakan ini yang harus dilakukan oleh pemerintah,” sarannya.
Penimbunan Besar-besaran
Setiap tahun pemerintah telah menghitung kebutuhan dalam negeri dan jumlah minyak goreng yang harus diproduksi pabrik-pabrik di Tanah Air. Karena itu, kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dari tahun ke tahun.
Kebutuhan minyak goreng di masyarakat tahun ini pun tak berubah signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga pemerintah tak mendorong pabrik-pabrik di Indonesia meningkatkan produksi minyak goreng.
Haidir mengatakan, produksi minyak goreng di Indonesia saat ini dapat dikatakan normal karena tidak mengalami perubahan-perubahan berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ia pun menduga terdapat indikasi kuat yang menunjukkan bahwa terjadi penimbunan minyak goreng dalam jumlah besar. Kasus serupa sering ditemukan di Indonesia, seperti penimbunan bawang putih, bawang merah, dan garam.
“Gaya-gaya penyalur produk bangsa ini dalam perdagangan itu memang menjadi kebiasaan kita begitu, dan setiap kali diinvestigasi, tetap masalahnya penimbunan,” jelasnya.
Pelaku tak hanya menimbun produk-produk yang berkemasan, tetapi juga acap dilakukan terhadap bensin dan solar, padahal penimbunan bahan bakar tersebut memerlukan wadah besar serta relatif sulit dibandingkan menimbun produk-produk berkemasan seperti minyak goreng.
Penimbunan minyak goreng cukup mudah. Hanya diletakkan di tempat kosong. Risiko kerusakannya juga sangat kecil. Penimbun pun akan mendapatkan keuntungan besar saat mengedarkannya ketika minyak goreng sedang langka di pasar. “Bahkan untungnya beberapa puluh kali lipat,” ujarnya.
Dia menjelaskan, motif penimbunan ini umumnya karena pengusaha ingin mendapatkan keuntungan besar. Polanya, menyalurkan minyak saat terjadi kelangkaan, namun dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada saat kondisi normal.
Oposisi pun berbicara lantang saat minyak goreng langka di pasar, sehingga memperlihatkan pemerintah tak piawai mengurus perekonomian. Tetapi, Haidir menegaskan, “kelangkaan” minyak goreng tak bisa dituding karena campur tangan opisisi.
Sementara itu, pemerintah berada dalam posisi dilematis menindak oknum-oknum yang melakukan kejahatan perdagangan. Bila ditindak secara tegas, pemerintah akan dianggap ekstrem. “Itu bisa digoreng kiri-kanan,” katanya.
Dia mendorong aparat menginvestigasi penyebab kelangkaan minyak goreng, salah satunya dengan membongkar praktik-praktik penimbunan yang diduga dilakukan oknum-oknum yang berkecimpung dalam rantai distribusi minyak goreng.
Efek Perdagangan Bebas
Haidir mengatakan, perdagangan di Indonesia menggunakan sistem semi-bebas atau semi-liberal. Siapa pun yang dapat membeli suatu produk dalam jumlah besar, ia dapat menentukan harga jualnya di pasar.
Meski dikontrol pemerintah, pelakunya masih bisa dengan semena-mena menentukan harga jual produk yang dibutuhkan masyarakat. Apalagi disertai dengan dalih biaya transportasi untuk distribusi produk.
Pelaku usaha pun diberikan kebebasan untuk menaikkan harga jual produk disebabkan kenaikan tarif distribusi. Terlebih, rantai distribusi produk seperti minyak goreng tak hanya melibatkan satu atau dua orang. Terdapat tahapan yang panjang dari produsen ke konsumen yang kemudian mempengaruhi harga barang.
Penyalur pun dapat menaikkan dan menurunkan biaya pengangkutan minyak goreng. Ketika mereka menaikkan tarif angkutan, harga produk akan meningkat. “Nah, pemerintah tidak masuk ke wilayah itu. Hanya menetapkan tarif,” jelasnya.
Pedagang juga dapat menaikkan harga minyak goreng jika wilayah yang menjadi tujuan pengirimannya relatif jauh, seperti dari Kota Samarinda ke Kecamatan Tabang, Kabupaten Kuta Kartanegara (Kukar). Apalagi dalihnya karena harga bahan bakar naik.
“Maka dia akan menaikkan juga tarif. Biasanya kalau dia sudah menaikkan tarif, maka produk juga akan dijual dengan harga yang lebih tinggi. Karena itu untuk menutupi cost yang muncul dari rangkaian distribusi produk,” terangnya.
Kenaikan harga bahan baku seperti CPO juga dapat dijadikan dalih oleh para pengusaha untuk menaikkan harga minyak goreng. Dalihnya bisa bermacam-macam, seperti pengaruh peningkatan biaya pengangkutan CPO dari Kalimantan atau Sumatera ke Pulau Jawa, yang menjadi pusat pabrik minyak goreng.
Kelangkaan minyak goreng akan meningkatkan harga-harga makanan yang berbahan baku minyak tersebut. Akibat lanjutannya, permintaan terhadap makanan akan berkurang.
Bila harga makanan naik, maka akan mengerek inflasi secara umum. Namun, jika kenaikan harga minyak goreng ini terjadi dalam jangka pendek, kenaikan inflasi tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomian.
“Tapi kalau itu terjadi dalam jangka panjang, maka akan berpengaruh kuat terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional,” jelasnya.
Apabila kelangkaan minyak goreng terjadi dalam jangka pendek, masyarakat akan mencari barang substitusi untuk menggantikan minyak goreng, seperti minyak kelapa dan lemak hewan.
Tawaran Solusi
Haidir mengatakan, pembangunan pabrik baru untuk memproduksi minyak goreng tak selamanya menjadi solusi bila pasar dalam negeri dan luar negeri tidak dapat menyerap minyak goreng tersebut.
Apabila pembangunan pabrik “dipaksakan”, maka akan mengakibatkan produksi berlebihan (over production). Akibatnya, pengusaha akan mengalami kerugian karena harga minyak goreng akan turun.
“Kalau produk itu melimpah di pasaran, rumus ekonomi pasti akan terjadi penurunan harga. Kalau sudah penurunan harga, nanti bisa berpengaruh kepada karyawan yang mau tidak mau digaji rendah atau dipecat,” jelasnya.
Dia menekankan, pembangunan pabrik harus disertai analisis dan data yang tepat terhadap kebutuhan dalam negeri dan luar negeri.
Para pengusaha pun akan menghitung untung dan rugi bila membangun pabrik minyak goreng. Apabila dinilai tak membawa keuntungan, maka pengusaha tidak akan mau berinvestasi untuk pembangunan pabrik.
Ia menyarankan pemerintah memutus penghambat rantai distribusi seperti penimbunan minyak goreng. Penindakan terhadap penimbun minyak goreng sangat diperlukan untuk memperlancar distribusi minyak tersebut.
“Itu dalam jangka pendek yang harus dilakukan pemerintah. Mau tidak mau harus ada ketegasan untuk menindak dan memberikan sanksi kepada oknum-oknum yang melakukan penimbunan yang akhirnya akan merusak tatanan ekonomi kita,” sarannya.
Kata dia, mereka yang melakukan praktik-praktis penimbunan sejatinya hanya mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, ketika perekonomian mengalami kelesuan, para penimbun minyak goreng itu akan menerima imbas negatifnya.
Saat perekonomian nasional lesu, minyak goreng yang sebelumnya dibutuhkan masyarakat akan dijual dengan harga murah. Hal ini pun membawa kerugian bagi para pengusaha minyak goreng.
Sebaliknya, jika sistem perekonomian berjalan secara normal, tidak terjadi penimbunan dan praktik-praktik yang merusak sistem perekonomian, maka kondisi ini akan menguntungkan bagi pengusaha dan konsumen minyak goreng. “Ini yang harus dipelihara,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin