Search
Search
Close this search box.

Kelayangan Pegat

Penulis. (Dok. Pribadi)
Listen to this article

Oleh: Ahmad Fauzi*

Sebagaimana tulisan sebelumnya yang berjudul Disorientasi, di mana kebanyakan dari kita tidak mengerti apa yang menjadi arah dan tujuan kita serta goals apa saja yang ingin kita capai pada akhirnya hal tersebut membuat kita gamang dalam menjalani kehidupan ini, maka kali ini saya meneruskan tulisan dengan judul Kelayangan Pegat.

Kelayangan pegat diambil dari bahasa Kutai yang artinya layangan putus. Tema ini diambil karena saya melihat fenomena yang banyak terjadi akibat disorientasi yaitu lepasnya seseorang akan kendali diri dari sebuah komando.

Advertisements

Kebanyakan orang menganggap bahwa dirinya tidak perlu dikomando oleh sesuatu. Dengan begitu ia menganggap nasihat orang yang lebih memahami persoalan di berbagai bidang, terutama agama, hanyalah sebuah wacana-wacana kosong yang tak perlu dianggap. Ia fokus dengan pendapatnya pribadi. Beragama dan menjalani hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Dengan menganggap kesuksesan kecil yang ia capai itu, ia menerjang berbagai aspek hukum (hukum agama atau positif) sehingga membuatnya memandang kepakaran dan kompetensi sebagai sesuatu yang tak perlu dipedomani. Karena telah mencapai level kehidupan yang lebih mapan membuat ia mengidap penyakit star syndrome, yang sulit menerima pandangan obyektif. Pada akhirnya ia jatuh dalam angkara murka bagaikan layangan putus.

Di sisi lain, pada kondisi tertentu terdapat fase di mana seseorang akan mengalami depresi yang mendalam atas upaya dan jerih payah yang dilakukannya namun tak kunjung membuahkan hasil, ke sana dan ke mari mencari solusi, akan tetapi yang didapatnya hanya sebuah penolakan dan kegagalan, dengan berbagai macam cara bekerja keras akan tetapi tertolak oleh sistem yang mengharuskan dirinya melakukan tindakan-tindakan yang melenceng. Tak jarang orang-orang seperti ini menjual diri mereka dengan harga yang murah, bahkan yang lebih ekstrem dengan mengakhiri hidupnya.

Inilah gambaran ketika kelayangan itu pegat, sulit dia akan terbang lagi. Dia cenderung  mengikuti ke mana arah angin berhembus, atau bisa saja ia dikendalikan oleh pemain yang baru, atau rusak terkena benda lain pada saat ia jatuh.

Sejatinya manusia tidak seperti itu. Manusia merupakan makhluk yang dibekali akal untuk menilai apakah dirinya layak atau tidak layak menduduki jabatan atau pekerjaan tertentu.

Dengan anugerah berupa kemampuan berpikir agar bisa menyerap berbagai informasi, idealnya ia bisa menyadari frekuensi mana yang paling tepat untuknya dan bagaimana ia secara bertahap bisa mencapai kemuliaan untuk menyempurna.

Bagi kita telah banyak membaca buku-buku atau melakukan pencarian jati diri dengan aktivitas diskusi tentu semakin ke sini maka semakin menyadari bahwa diri kita adalah bukan milik kita. Kita bahkan tidak mempunyai otoritas untuk menggerakkan jantung kita sendiri, tak mampu menghitung jumlah rambut dan sel-sel yang ada di dalam tubuh kita. Hal ini membuktikan bahwa kita adalah ciptaan Tuhan.

Akan tetapi uniknya, manusia diberikan otoritas untuk mengendalikan pikiran dan menggerakkan anggota tubuhnya agar bisa memilih jalan hidupnya di dunia ini.

Dengan otoritas yang diberikan oleh Tuhan itu, maka manusia mempunyai komando atas dirinya sendiri, apakah ia akan berserikat pada kebaikan ataukah keburukan. Memihak kebaikan berarti mengedepankan rasionalitas dalam semua tindakan agar tidak zalim terhadap diri sendiri yang merupakan titipan ilahi dan orang lain bahkan alam raya, memakmurkan bumi, melawan penzalim, memperbaiki ketimpangan-ketimpangan, tidak terwarnai oleh sistem yang buruk dan lain sebagainya. Sedangkan keberpihakan pada keburukan berarti mengeksplorasi hawa nafsu dengan bertindak secara tidak proporsional, merusak diri, menerjang hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan, melakukan tindakan zalim berupa korupsi, kriminal, cabul dan pada puncaknya melakukan genosida seperti yang dilakukan Zionis.

Manusia dihadapkan pada dua pilihan, bisa menjadi ganas melebihi binatang dan bisa lebih mulia melebihi malaikat.

Bagi kita yang ingin mencapai kemuliaan yang merupakan tujuan akhir kehidupan manusia, maka kita perlu kembali mengingat bahwa manusia adalah makhluk peniru. Kita sebagai manusia pasti membutuhkan seorang teladan di dalam berbagai aspek kehidupan. Dimulai dari lingkungan keluarga yaitu orang tua, guru di sekolah, panutan di lingkungan tempat tinggal, kadang kita mendengarkan semangat dari para motivator, mengikuti kajian dari saintis/ilmuan, membaca biografi tokoh-tokoh yang telah membangun bangsa mereka hingga yang paling utama adalah keteladanan dari tokoh yang disucikan dalam agama.

Mempelajari dan meniru kebaikan itu agar kita terjaga dari jebakan-jebakan yang berpotensi menjatuhkan kita dalam kehinaan di masa mendatang.

Bergabung dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulu terutama kepada manusia yang disucikan karena ikhtiarnya untuk menjaga diri dari dosa-dosa dan upayanya untuk menentang kezaliman adalah sarana untuk mencapai kepribadian yang mulia. Upaya mereka dalam membebaskan manusia dari jerat penzalim dan membina manusia agar berada di jalan yang terhormat layak kita tiru dan teladani.

Masalah minimnya pengetahuan kita tentang latar belakang, kepribadian serta sejarah orang-orang yang luar biasa itu bisa diatasi dengan kita belajar dari sumber yang tepat. Yaitu orang yang memahami dan bahkan gerak-geriknya lebih mulia dibanding kita. Kita bisa saja membaca banyak buku namun kerap kali hal itu tidak bisa terserap secara sempurna mungkin karena keterbatasan kita atau memang di dalam buku itu terdapat perbedaan kondisi yang membuat kita tidak bisa menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah kita perlu tempat untuk merujuk, yaitu orang yang ahli dan berpengalaman serta mempunyai integritas yang lebih tinggi dibanding diri kita.

Hal ini sebagaimana kitab-kitab yang diturunkan Tuhan tidak akan bisa tersosialisasi dan membumi tanpa penjelasan dan praktik dari pembawanya. Mengapa para Rasul hadir? Yaitu untuk membina umat pada zamannya mengenal dan mempraktikkan hukum-hukum Tuhan melalui kitabnya yang di mana para utusan tersebut paling pertama mempraktikkannya.

Menjadikan mereka komandan dalam mengarungi kehidupan ini dengan meneladani cara mereka menghadapi dunia ini adalah langkah utama yang mesti kita tiru.

Terlampau jauhnya ruang dan waktu kita dari pribadi-pribadi agung tersebut membuat kita terbentur pada realitas dan kondisi saat ini, di mana lingkungan kita terdapat praktik-praktik yang keluar dari standar etis. Sementara kita tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa mengikutinya.

Sudah semestinya kita merujuk pandangan para ahli. Ketika ingin tubuh kita sehat dan gizi kita bagus, maka perlu meminta pendapat dokter dan ahli gizi yang mengetahui kondisi tubuh kita. Jika otak kita ingin terisi maka mulailah membaca buku, mencari guru dan lakukan kajian-kajian ilmiah. Jika kita ingin berada di profesi tertentu seperti polisi, tentara, lawyer, politisi, pengusaha, pilot, jurnalis, penggerak NGO, guru, dosen, seniman, atlet, arsitek, fotografer dan apa pun profesi itu maka kita harus mencari orang yang paling mengetahui dan paling terpercaya untuk urusan itu. Kita harus banyak belajar kepada para ahli yang sukses di lingkungan kita, demi kebaikan diri kita.

Ruh dari semua pembelajaran itu adalah pembelajaran tentang agama. Perhatian seseorang terhadap agamanya menentukan pandangan hidupnya dan perannya dalam kehidupan masyarakat. Banyak dari kita menganggap agama hanya sebatas identitas bukan way of life (jalan hidup) mungkin karena problem traumatis karena melihat perilaku para pemukanya yang tidak mencerminkan atau memang mereka tidak mampu menjawab tantangan zaman. Hal itu bukan berarti kita tidak perlu mempelajari agama. Kebanyakan kita justru ingin memuaskan hasrat pribadi tanpa mau diatur oleh norma-norma agama atau beragama sesuai selera tanpa tanggung jawab moral dengan menjadikan para pemuka tersebut sebagai alibi. Bahkan yang lebih ekstrem dengan bangganya memprolamirkan dirinya sebagai agnostik, tapi lihatlah kehidupan mereka yang berantakan itu. Kebanyakan kita hanya malas untuk mencari tokoh agama yang tepat.

Menaati hukum-hukum agama yang sumbernya dari Tuhan saja kebanyakan dari kita tidak bisa total, bagaimana mungkin kita bisa komit terhadap aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan antar manusia?

Pembelajaran agama yang dimaksud di sini adalah semua aspek yang mengatur gerak, gerik dan perilaku kita saat melakukan aktivitas di berbagai profesi dan masalah dalam kehidupan kita. Bahwa persoalan yang membuat carut-marutnya sistem di lingkungan kita saat ini adalah moral yang buruk. Agama mengontrol kita agar tidak terjerembab dalam jurang yang hina itu, namun tetap memberikan solusi-solusi yang jelas kaidah hukumnya.

Kita harus menemukan tokoh di lingkungan kita yang sudah teruji pemahamannya, terbukti integritasnya, baik kesuksesannya dalam membina keluarganya maupun kesuksesannya di tengah-tengah komunitas dan masyarakat. Tokoh seperti ini harus kita temukan dan taati agar kita tidak seperti “kelayangan pegat”.

Terakhir, hendaknya kita mencari komunitas yang bisa mencerahkan kita, agar diri kita tidak terjebak dalam praktik-praktik jahat yang telah terbentuk di tempat kita bekerja atau beraktivitas, ruang yang mampu menyadarkan kita, di mana terdapat pemimpin yang mampu menjelaskan hukum-hukum Tuhan dan langkah strategis yang harus dilakukan dalam mewujudkan perbaikan sistem dan tatanan sosial. (*CEO Berita Alternatif)

Catatan:

Tulisan ini merupakan bahan introspeksi diri penulis.

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA