Oleh: Ibrahim Amini*
Allah Swt di dalam Alquran menyebut manusia sebagai maujud yang mulia dan tinggi, namun di sisi lain Allah juga mencela manusia dengan menyebutkan kelemahan-kelemahannya. Berikut ini saya akan menyebutkan sebagian darinya:
Pertama, lupa Tuhan. Sudah merupakan tabiat manusia manakala ditimpa kesusahan dan kesulitan dia berdoa dan memohon kepada Allah Swt supaya diangkat dan dihilangkan kesulitannya, namun ketika kesulitan itu telah sirna dengan segera dia pun kembali kepada kebiasaan hidup semula dan melupakan Tuhan.
Allah Swt berfirman dalam Alquran, “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 12)
Kedua, bangga dan sombong. Allah Swt berfirman dalam Alquran, “Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, ‘Telah hilang bencana itu dariku.’ Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.” (QS. Hud: 10)
Pada ayat yang lain Allah Swt berfirman, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.’” (QS. al-Fajr: 15-16).
Ketiga, tidak bersyukur. Allah Swt berfirman dalam Alquran, “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS. Hud: 9)
Keempat, kikir dan berkeluh-kesah. Allah Swt berfirman dalam Alquran, “Katakanlah, ‘Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya.’ Dan adalah manusia itu sangat kikir.” (QS. al-Isra: 100)
Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. al-Ma`arij: 19-21)
Kelima, lemah. Allah Swt berfirman, “Dan manusia diciptakan lemah.” (QS. an-Nisa: 28)
Keenam, melampaui batas ketika merasa cukup. Allah Swt berfirman dalam Alquran, “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-`Alaq: 6-7)
Ketujuh, tergesa-gesa. Manusia terkadang memohon kejahatan dan bahaya, karena dia maujud yang tergesa-gesa. Allah Swt berfirman, “Dan manusia memohon kejahatan sebagaimana dia memohon kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. al-Isra: 11)
Pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Manusia telah diciptakan (bertabiat) tergesa-gesa.” (QS. al-Anbiya: 37)
Kedelapan, suka membantah. Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Alquran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (QS. al-Kahfi: 54)
Kesembilan, zalim dan tidak bersyukur. Allah Swt berfirman dalam Alquran, “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34)
Kesepuluh, bodoh. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)
Kesebelas, tergoda kesenangan dunia. Allah Swt berfirman dalam Alquran, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14)
Keduabelas, menyuruh kepada keburukan. Alquran berkata, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya diri itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali diri yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)
Menggabungkan Dua Kelompok Ayat
Dengan demikian, Islam menggambarkan manusia ke dalam dua bentuk yang bertentangan: Satu sisi manusia diperkenalkan sebagai maujud pilihan dan mulia, yang memiliki ruh malakut dan tiupan Ilahi yang mengenal Tuhan dan mencari kesempurnaan, yang potensi kesempurnaan dan pemahaman ilmunya sampai batas di mana para malaikat pun tidak mampu mencapainya, dan oleh karena itu kedudukan yang sedemikian tinggi ini para malaikat diperintahkan untuk sujud di hadapannya. Dan terakhir manusia diperkenalkan sebagai Khalifah Allah.
Dalam hadis-hadis pun manusia digambarkan ke dalam dua bentuk ini.
Timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya hakikat manusia dan bagaimana kita bisa menggabungkan antara kedua kelompok ayat dan hadis ini? Jika fitrah manusia berada pada tauhid dan pencarian Tuhan, dan zatnya menginginkan kebaikan, kemuliaan dan keutamaan akhlak, lantas mengapa dia kufur kepada Allah, dan mengapa dia disebut sebagai makhluk yang bodoh, zalim dan tidak bersyukur?
Mungkin saja seseorang dalam usaha menjelaskan hal ini mengatakan, “Kelompok ayat dan hadis pertama berbicara tentang fitrah, yaitu bahwa demikianlah yang dituntut oleh fitrah dan penciptaan khusus manusia, sementara kelompok ayat dan hadis kedua berbicara tentang kenyataan luar yang bersifat menempel dan tidak tetap (`aridh).”
Penjelasan ini bisa saja dibantah dengan mengatakan, kelompok ayat dan hadis pertama dan kelompok ayat dan hadis kedua dalam tataran sedang menggambarkan dan memberitahukan tentang manusia, lantas dengan alasan apa kelompok ayat dan hadis pertama kita kaitkan dengan fitrah sementara kelompok ayat dan hadis kedua kita kaitkan dengan `aridh padahal kedua kelompok itu sama.
Kelompok ayat kedua pun yang berbunyi, Sesungguhnya diri itu selalu menyuruh kepada keburukan, Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah), Dan adalah manusia itu amat kikir, Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, Sesungguhnya dia cepat putus asa lagi tidak berterima kasih, sedang memberitahukan zat manusia.
Atau, bisa saja dijelaskan bahwa pada tataran zat dan fitrah manusia, baik kebaikan maupun keburukan tidak tertanam pada diri manusia, melainkan manusia memiliki potensi keduanya. Dengan kata lain, bahwa manusia pada tataran zat tidak baik dan tidak buruk, namun dia dapat memilih jalan kebaikan dan jalan keburukan. Namun, penjelasan ini pun tidak sejalan dengan zahir ayat dan hadis, karena keduanya sedang memberitahukan tentang manusia bukan sedang memberitahukan potensi jiwanya.
Ada juga penjelasan ketiga yang mengatakan, manusia adalah maujud yang setengah zatnya berupa cahaya dan setengah zatnya lagi berupa kegelapan. Zat cahaya manusia menuntut kebaikan dan kesempurnaan, oleh karena itu mendapat pujian, sementara zat kegelapannya menuntut keburukan dan kerusakan, oleh karena itu mendapat celaan. Dengan demikian, maka sifat-sifat baik manusia bersumber dari zat cahaya sementara sifat-sifat buruk berasal dari zat kegelapan.
Namun, penjelasan ini pun bersifat samar, karena akan muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan dua zat di sini? Manusia tidak lebih dari satu hakikat, lantas bagaimana satu hakikat dapat menjadi sumber kebaikan dan sumber keburukan? Bagaimana satu hakikat dapat menjadi penyeru kebaikan dan kesempurnaan dan penyeru keburukan dan kerusakan? Bagaimana satu hakikat dapat menjadi bahan pujian dan bahan celaan?
Namun, dalam menjelaskan perkataan yang ketiga ini kita dapat mengatakan, benar manusia tidak lebih dari satu hakikat namun dia mempunyai dua peringkat wujud: satu sisi manusia adalah hewan dan mempunyai kecenderungan-kecenderungan hewani dalam wujudnya, dan keburukan dan kejahatan bersumber dari dimensi hewani ini. Dari sisi lain dia adalah manusia dan mempunyai diri malakut, yang memiliki kesesuaian dengan Alam Qudus dan sumber kebajikan. Dari sisi inilah manusia menuntut keutamaan, kebaikan dan kesempurnaan.
Oleh karena itu, dimensi manusia dia mendapat penghormatan dan dimensi hewani dia mendapat celaan. Dimensi manusia dia mengenal Tuhan sementara dimensi hewani dia adalah rakus, kufur nikmat, kikir, zalim dan bodoh. Dengan cara ini kita dapat menjelaskan ayat-ayat dan hadis-hadis yang berbeda. (*Tokoh Pendidikan Islam)