BERITAALTERNATIF.COM – Pengamat ekonomi dan politik Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Haidir mengatakan bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin di Kukar tidak sepenuhnya disebabkan pandemi Covid-19.
Hal ini sebagai respons atas pernyataan Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kukar Hamly yang menyebutkan bahwa kemiskinan di Kukar yang meningkat dalam kurun 2 tahun terakhir disebabkan merebaknya virus corona di Kukar.
Kata Haidir, peningkatan jumlah penduduk dan perpindahan penduduk secara permanen dari daerah lain ke Kukar juga bisa menjadi penyebab penambahan angka kemiskinan di kabupaten ini.
“Angka itu yang harus diklirkan oleh sejumlah pihak, sehingga angka yang dihadirkan itu secara obyektif memang menjadi angka riil yang bisa mengukur tingkat kemiskinan di Kukar,” jelas Haidir, Kamis (30/6/2022) sore.
Penyebab lain adalah inflasi, pengangguran, angka kelahiran dan kematian, serta pertambahan usia produktif dapat mempengaruhi penambahan jumlah penduduk miskin di Kukar.
Penyebab-penyebab kemiskinan tersebut, kata Haidir, mesti dihitung secara detail. Angka kemiskinan di Kukar berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 sebanyak 62.360 jiwa hanyalah angka semu.
Peluang kerja yang disiapkan oleh pemerintah daerah, sambung dia, merupakan data riil yang menentukan angka kemiskinan di Kukar. Pasalnya, keberadaan peluang kerja mempengaruhi pendapatan masyarakat.
Namun, pendapatan tak berdiri sendiri dalam penentuan angka kemiskinan. Inflasi pun akan turut berpengaruh terhadap penambahan jumlah penduduk miskin di Kukar.
Meski pendapatan seseorang cukup besar, bila inflasinya tinggi, maka tingkat kesejahteraannya akan terpengaruh serta dalam kondisi tertentu ia dapat digolongkan sebagai penduduk miskin.
Peluang kerja yang tidak tersedia secara maksimal selama 2 tahun terakhir, jelas dia, sangat berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk miskin di Kukar.
Ia menyarankan pemerintah daerah memiliki data yang detail terkait pendapatan per kapita setiap kecamatan di Kukar. Hal ini dapat dijadikan dasar pelaksanaan program pengentasan kemiskinan terhadap kecamatan-kecamatan yang mempunyai pendapatan per kapita yang rendah.
Setelah data tersebut terhimpun, pemerintah dapat menciptakan peluang-peluang kerja. Caranya, mendorong peningkatan investasi di kecamatan tertentu yang memiliki pendapatan per kapita rendah.
“Bisa juga membuat program-program terobosan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, misalnya pemberian bibit, pupuk, dan subsidi kepada para petani,” jelasnya.
Namun, program pemerintah di kecamatan tertentu, kata dia, tidak serta-merta menciptakan peluang kerja. Bila program itu tidak mempengaruhi pendapatan riil masyarakat, maka program tersebut tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pengentasan kemiskinan di Kukar.
Haidir mencontohkan program pembangunan jembatan. Masyarakat tidak menikmatinya secara langsung karena hanya pengusaha yang mendapatkan keuntungan jangka pendek dalam pembangunan jembatan tersebut.
Ketika pemerintah daerah bekerja sama dengan seorang pengusaha untuk membangun jembatan di sebuah kecamatan di Kukar, pengusaha tersebut belum tentu melibatkan masyarakat setempat.
Dengan pertimbangan tenaga kerja berupah murah dan kemampuan kerja bisa menjadi dasar pengusaha tersebut mendatangkan para pekerja dari luar daerah.
“Itu tidak bisa kita pungkiri. Itu terjadi. Pengusaha-pengusaha kita ketika membangun fasilitas-fasilitas publik, acap kali menggunakan tenaga-tenaga dari luar seperti dari Jawa,” terangnya.
Meski bahan baku yang digunakan dalam pembangunan fasilitas publik berasal dari wilayah sekitar, penggunaan tenaga kerja dari luar daerah tidak membawa multiplier effect terhadap masyarakat Kukar.
Pengentasan Kemiskinan
Haidir menyarankan pemerintah daerah memiliki data riil penduduk miskin di Kukar. Data tersebut dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan di daerah ini.
Data yang dimaksud Haidir yakni bukan sekadar angka matematis, melainkan data yang benar-benar detail terkait penduduk miskin yang memuat nama, alamat, tingkat pendidikan, profesi, dan lainnya.
“Kalau kita berdebat dengan angka-angka matematis itu, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Harus ada angka pasti orang-orang yang memang miskin,” ujarnya.
Untuk mendapatkan data tersebut, pemerintah daerah dapat melakukan sensus penduduk. Langkah ini sekaligus untuk memastikan jumlah penduduk miskin di Kukar.
Data itu akan menunjukkan sejumlah kecamatan yang memiliki penduduk miskin, serta kecamatan-kecamatan di Kukar yang mempunyai penduduk yang relatif sejahtera.
“Setelah itu, baru bisa kita letakkan kerangka kebijakan yang maksimal untuk bagaimana mengatasi kemiskinan di Kukar,” urainya.
Ia menyebutkan, bila penyebab kemiskinan karena peluang kerja tidak tersedia, maka pemerintah daerah berkewajiban menciptakan peluang kerja untuk para warga miskin tersebut.
Selain itu, jika kemiskinan penduduk terjadi karena kemampuan, pengetahuan, dan wawasan yang minim, maka pemerintah daerah mesti meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat.
Peningkatan pendidikan warga miskin ini tergolong program jangka panjang karena untuk menghasilkan SDM yang kompeten dan berkualitas dibutuhkan waktu yang relatif panjang.
“Jangka pendeknya apa? Menyiapkan pekerjaan dan program-program yang mendukung peningkatan kualitas SDM,” katanya.
Dalam jangka pendek, misalnya penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian memiliki wawasan yang minim dalam penanganan hama tanaman. Dalam kasus seperti ini, pemerintah daerah dapat mengintervensinya dengan cara membuat program penyuluhan.
Pada kasus lain, penduduk yang tergolong miskin bekerja sebagai nelayan. Hal ini bisa dipengaruhi hasil tangkapan ikan mereka yang minim. Haidir pun menyarankan agar pemerintah daerah menciptakan program budi daya ikan.
“Harus sedetail itu kita memahami data dan memberikan solusi dalam pengentasan kemiskinan. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah,” imbuhnya.
Kaya SDM dan SDA
Haidir menjelaskan, Kukar memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup melimpah. Begitu pula dengan Sumber Daya Alam (SDA), yang meliputi pertambangan, perkebunan, obyek wisata, potensi sungai dan danau, serta potensi tumbuh-tumbuhan.
Potensi-potensi tersebut, kata dia, dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan bagi penduduk yang belum memiliki pekerjaan.
“Selama ini kita tidak fokus ke sana. Banyak potensi itu tidak tergarap dengan baik, sehingga SDM menengah ke bawah tidak bisa mengelola SDA yang ada, karena untuk mengelola SDA hanya bisa dilakukan oleh SDM menengah ke atas,” jelasnya.
Kukar memiliki Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tenaga-tenaga kerja yang bekerja di pemerintahan yang juga dapat dimaksimalkan untuk mengentaskan kemiskinan. Mereka yang mempunyai potensi di pemerintah mesti dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Jangan malah mengambil mereka yang tidak punya potensi untuk ditempatkan di jabatan tertentu. Padahal kita punya banyak ASN yang bisa mengembangkan daerah ini,” ujarnya.
Maksimalkan Pendapatan Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kukar tahun 2022 yang nilainya Rp 5,2 triliun dapat dimaksimalkan oleh pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pengentasan kemiskinan di Kukar.
Ia mengungkapkan, APBD Kutai di era Orde Baru hanya berkisar Rp 200 miliar hingga Rp 250 miliar. Padahal, saat itu wilayah Kutai meliputi Kukar, Kutai Timur, Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Bontang.
“Tapi dengan Rp 250 miliar itu kita masih bisa berjalan. Keadaan ekonomi masyarakat juga cukup baik,” sebutnya.
Saat terjadi pemekaran wilayah, Kukar memiliki APBD Rp 1,3 triliun hingga Rp 2,5 triliun. Dengan APBD sebesar itu pun pemerintah bisa memaksimalkannya untuk pembangunan daerah.
Di era berikutnya, Kukar pernah memiliki APBD Rp 8 triliun. Namun, anggaran fantastis itu tidak membuat daerah ini menikmati pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Sehingga kita tidak bisa melihat persoalan perimbangan itu menjadi faktor utama sejahtera atau tidak sejahteranya kita. Ini juga tidak bisa jadi patokan bisa atau tidak kita mengentaskan kemiskinan,” katanya.
Dia mengungkapkan, masalah silpa kadang kerap terjadi di Kukar. Saat daerah ini memiliki anggaran Rp 5 triliun, terkadang silpanya bisa mencapai Rp 1,3 triliun.
“Artinya apa? APBD kita sudah di angka maksimal. Kita sudah dikasih Rp 5 triliun. Tapi kita hanya bisa mengelola Rp 4 triliun. Ada sisa sampai Rp 1,3 triliun, itu kan sayang,” ucapnya.
Karena itu, ia menegaskan, tuntutan penambahan dana perimbangan untuk menyelesaikan masalah-masalah di Kukar bukanlah solusi utama.
Kata Haidir, penyelesaian masalah kemiskinan dapat dilakukan dengan memberikan ruang kerja maksimal kepada seluruh ASN di Kukar.
“Sehingga, APBD berapa pun, kita yang menciptakan pendapatan itu. Bukan berharap pada perimbangan. Kalau SDM kita dikelola dengan baik, maka pendapatan itu akan masuk dalam bentuk PAD,” sarannya.
Suatu ketika dana perimbangan akan berkurang secara bertahap, bahkan bisa hilang saat daerah tidak bisa menyiapkan pendapatan di sektor-sektor yang terkait dengan dana perimbangan.
“Mau tidak mau kita harus maksimalkan PAD. Dari situlah kita belajar mengelola pembangunan dari keringat kita sendiri. Itu lebih riil. Sehingga kita bisa menghitung bahwa setiap rupiah itu berharga,” ucapnya.
Beberapa tahun sebelumnya, Haidir menyebutkan, pemerintah daerah menghamburkan uang untuk kegiatan-kegiatan yang tidak mendatangkan pendapatan bagi daerah.
Bentuknya, di akhir tahun pemerintah mengadakan kegiatan-kegiatan dan pertemuan di tempat-tempat yang mewah, sehingga tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Masa-masa tersebut, kata Haidir, harus dijadikan pelajaran oleh pemerintah daerah saat ini. Langkahnya, pemerintah dapat memaksimalkan anggaran dan potensi ASN untuk menyelesaikan masalah daerah.
“Sehingga kita bisa membenahi seluruhnya. Itu yang harus kita lakukan,” pungkasnya. (*)