Oleh: Ibrahim Amini*
Cinta ibu merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia ingin memiliki hal-hal yang dibutuhkannya. Ia menganggap dirinya adalah tuan dari segenap hal tersebut. Ia juga mengharap selainnya menghargai perasaannya terhadap segala miliknya. Naluri kepemilikan dalam fitrah manusia ini tak dapat dihapuskan sepenuhnya. Dikekang dengan cara apa pun, ia tetap akan kembali muncul.
Kepemilikan, meskipun merupakan fenomena yang bersifat anggapan, benar-benar menjadi fenomena yang menyelubungi realitas kehidupan. Tanpa rasa kepemilikan, kehidupan umat manusia kiranya menjadi mustahil.
Sejak mulai mengenal dirinya dan kebutuhan-kebutuhannya, seorang anak secara naluriah menganggap bahwa dirinyalah pemilik semua itu. Ketika memungut sesuatu yang tergeletak di lantai, atau mengambilnya dari tangan selainnya, seorang anak cenderung menganggap bahwa itu adalah miliknya.
Ia tidak akan bersedia membaginya dengan siapa pun. Ia tahu bahwa dirinya adalah pemilik pakaiannya, sepatunya, dan hal-hal lainnya. Dengan demikian, ia tidak mau orang lain mengambil-alih semua itu.
Anda harus mengetahui bahwa anak-anak mencintai mainan-mainannya, seburuk apa pun bentuknya. Mereka melindungi mainan-mainan tersebut dan bahkan siap berkelahi untuknya. Mereka memiliki rasa bangga atas kepemilikan dalam fitrah mereka. Orang yang berusaha melindungi hak-hak dirinya (sang anak), niscaya tak akan dianggap sebagai orang jahat. Rasa kepemilikan bukanlah naluri yang bersifat negatif. Karenanya, orang tua harus memahami dan menerima naluri alamiah anak semacam ini.
Acapkali terjadi, seorang anak melanggar batas-batas kepemilikan anak-anak yang lain dan berusaha merampas mainannya. Dalam kasus ini, orang tua harus mencegah tindakan semacam ini. Bila anak yang lebih tua mengganggu anak yang lebih kecil, orang tua harus segera turun tangan dengan sikap yang adil. Anak yang lebih tua harus diyakinkan bahwa seyogianya ia tidak mengambil mainan milik adiknya dengan cara paksa. Bila ulahnya itu masih terus berlanjut, si anak harus diberi peringatan keras untuk mengubah perilakunya.
Kebutuhan-kebutuhan manusia terus berkembang. Bila tidak dilakukan pengawasan terhadapnya, niscaya kebutuhan-kebutuhan tersebut akan melampaui cara-cara (memenuhi)-nya. Karenanya, tuntutan kebutuhan-kebutuhan tersebut umumnya dapat menjadi penyebab kehancuran seseorang.
Konsep kepemilikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang yang masuk akal. Dalam hal ini, bekerja dianggap perlu bagi tercapainya kepemilikan. Bahkan dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syariat, kecintaan pada harta kekayaan dianggap sah-sah saja.
Namun, bila melampaui batas-batas syariat, maka hal itu akan dikategorikan sebagai ketamakan dan kekikiran. Terdapat banyak orang yang dapat digolongkan sebagai para pemuja kekayaan. Mereka terus berusaha tanpa kenal lelah menumpuk kekayaan.
Bahkan, mereka rela menggadaikan ketenteraman, harga diri, dan martabatnya dalam usahanya yang sia-sia memburu harta kekayaan. Inilah salah satu jenis kegilaan. Mereka hanya ingin mendapatkan seonggok harta kekayaan yang padahal tidak bermanfaat, baik untuk dirinya maupun selainnya. Orang-orang semacam itu, tentu saja, tak dapat digolongkan sebagai orang-orang yang bijak.
Bimbing Anak pada Kepemilikan Positif
Karena itu, orang tua harus menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri anak, seraya pula mengajarkannya untuk merasa puas dengan apa yang mampu diperolehnya secara absah. Ia boleh memiliki mainan, tapi jangan sampai terlalu banyak. Mainan-mainan tersebut seyogianya memadai bagi si anak untuk bermain dan belajar.
Bila si anak terlalu banyak memiliki mainan baru yang tergeletak di rak mainan, lebih baik orang tua memberikan sebagiannya pada anak-anak yang lain. Namun, tindakan tersebut seyogianya dilakukan dengan bijak.
Misal, dengan mengatakan pada si anak, “Mainanmu terlalu banyak, sementara anak yang lain tidak punya mainan sama sekali. Kalau engkau memberinya beberapa mainanmu, tentu ia akan merasa senang sekali. Engkau juga akan membuat senang ayah, ibu, juga Allah.”
Dengan begitu, si anak akan dengan senang hati berbagi mainannya dengan anak-anak yang lain. Sebabnya, ia ingin menyenangkan hati orang tuanya. Naluri semacam ini mendorongnya memahami keadaan selainnya dan memberikan beberapa mainannya pada anak yang lain.
Dengan cara ini, kebiasaan berbagi dapat ditumbuhkan dalam diri anak. Selain itu, orang tua juga dapat mendorong si anak meminjamkan mainannya kepada anak-anak yang lain selama bermain dan meminta mengembalikannya. Melalui cara ini, semangat bekerja sama dan berbagi juga dapat tumbuh dalam diri anak.
Ringkasnya, orang tua semestinya tidak sampai bersikap berlebih-lebihan dalam segenap aspek pengasuhan anak. Mereka harus menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri anak, seraya mengawasi agar tidak sampai melampaui batas-batas yang ditentukan (syariat). Mereka harus memastikan bahwa si anak tidak akan menjadi pecinta buta harta kekayaan di masa depan kehidupannya. (*Tokoh Pendidikan Islam)