BERITAALTERNATIF.COM – DPRD Kaltim mengalami dualisme kepemimpinan. Pasalnya, Makmur HAPK dan Hasanuddin Mas’ud saling mengklaim sebagai Ketua DPRD Kaltim yang sah.
Pengamat politik dari Universitas Mulawarman Samarinda Budiman menjelaskan bahwa secara hukum Makmur masih sah sebagai Ketua DPRD Kaltim.
“Secara hukum, kalau belum inkrah, artinya masih Ketua DPRD lama yang sah dan masih menjabat,” jelas Budiman kepada beritaalternatif.com pada Jumat (30/9/2022) sore.
Dia mencontohkan kasus pergantian Fahri Hamzah dari kursi Wakil Ketua DPR RI oleh DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meskipun Fahri diberhentikan dari keanggotaan PKS, ia tetap menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI.
“Karena Fahri Hamzah masih mengajukan tuntutan atau proses hukum,” katanya.
Budiman mengatakan, perebutan kursi ketua DPRD Kaltim yang tak kunjung usai ini merugikan Partai Golkar. Secara elektoral, elektabilitas partai tersebut akan tergerus di Kaltim.
Penurunan tingkat keterpilihan ini bisa terjadi di Pemilu 2024 dan Pilkada Kaltim mendatang. Hal ini sebagai bentuk “hukuman” dari masyarakat terhadap usaha klan Mas’ud membangun dinasti di Bumi Mulawarman.
Di sisi lain, saat mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dari Dapil Bontang, Kutai Timur, dan Berau, Makmur mendulang suara tertinggi dari seluruh anggota dewan di Gedung Karang Paci.
Ketika mantan Bupati Berau tersebut menarik diri atau didepak dari Golkar karena perebutan kursi ketua DPRD Kaltim, maka secara otomatis loyalis dan pemilih Makmur dari Bontang, Kutai Timur, dan Berau akan bermigrasi ke partai lain.
Pengangkatan Makmur sebagai Ketua DPRD Kaltim periode 2019-2024, sambung Budiman, merujuk pada perolehan suaranya yang paling tinggi pada Pileg 2019. Karena itu, apabila ada usaha penggantian dari jabatannya di DPRD Kaltim, maka harus dibicarakan di internal Partai Golkar. “Bukan dengan cara ‘kudeta’,” sarannya.
Penggantian Makmur dari kursi Ketua DPRD Kaltim, lanjut dia, bisa berlangsung dengan baik apabila dilakukan dalam kondisi “normal” dan sesuai aturan. Namun sebaliknya, kata Budiman, jika Makmur diganti melalui proses “kudeta”, maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi perpolitikan Kaltim. Juga bagi DPD Golkar Kaltim.
Secara internal, perseteruan dalam proses penggantian Makmur ini akan memunculkan berbagai kubu di internal Golkar Kaltim. Di satu sisi, terdapat kubu Makmur yang merasa terzalimi, serta kelompok yang loyal dengan klan Mas’ud.
Kata Budiman, konflik merupakan hal yang lumrah terjadi dalam setiap organisasi. Namun, hal ini akan membawa efek buruk apabila terdapat pihak-pihak yang memaksakan kehendaknya untuk mengganti seseorang dari jabatannya tanpa melalui proses diskusi dan musyawarah. “Itu akan menjadi contoh yang tidak baik,” katanya.
Dalam kasus ini, sambung Budiman, sejatinya kedua belah pihak, baik kelompok Makmur maupun Hasanuddin, dapat menyelesaikannya secara internal melalui diskusi dan musyawarah.
Ia melanjutkan, Partai Golkar telah menyusun dan menyepakati AD/ART yang di dalamnya terdapat petunjuk untuk menyelesaikan perseteruan tersebut.
“Keputusan yang diambil pun harusnya keputusan yang menguatkan organisasi dalam hal ini Partai Golkar. Tapi, kalau keputusan itu memecah belah organisasi, itu akan menjadi persoalan di kemudian hari,” urainya.
Kasus ini, sebut Budiman, dapat ditengahi dan diselesaikan oleh DPP Partai Golkar. Namun, ia melihat saat ini DPP justru berpihak pada kubu Hasanuddin.
“Sementara di sisi lain, muncul riak dan gejolak karena kita tahu Pak Makmur tidak melakukan pelanggaran sama sekali,” sebutnya.
Selama dualisme kepemimpinan ini, sebut Budiman, terdapat konsekuensi hukum tersendiri bagi Hasanuddin apabila mengambil kebijakan-kebijakan strategis di DPRD Kaltim. Karenanya, kasus ini akan merugikan Hasanuddin secara personal dan Golkar Kaltim.
“Yang terpenting lagi, ini merugikan rakyat. Karena ada beberapa keputusan itu yang harus diputuskan atau ditetapkan oleh dewan,” jelasnya. (um)