Search
Search
Close this search box.

Merayakan Keragaman tanpa Intoleransi dan Kekerasan

Listen to this article

Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby*

Bisakah penduduk Indonesia merayakan keragaman tanpa intoleransi dan kekerasan? Seharusnya bisa dan harus bisa. Sangat disayangkan kalau negara Indonesia yang supermajemuk dan superkaya dengan aneka etnis, suku, bahasa, agama, kepercayaan, budaya, tradisi, dan adat-istiadat ini kemudian musnah di kemudian hari.

Berbagai ilmuwan sosial dan antropolog bahasa berulang-kali menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling plural atau majemuk di dunia, terutama dari aspek suku-bangsa dan bahasa. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku-bangsa dengan 1.158 bahasa daerah. Tidak ada negara di dunia ini yang memiliki tingkat keragaman seperti di Indonesia. Bukan hanya suku-bangsa dan agama saja, agama dan kepercayaan juga cukup banyak di Indonesia, baik yang lokal maupun yang transnasional.

Advertisements

Pluralitas dan kompleksitas bangsa Indonesia semakin bertambah plural dan kompleks kalau ditambah dengan eksistensi ormas, parpol, ideologi, busana, mazhab pemikiran, aliran dan sekte agama, serta ekspresi keberagamaan masing-masing umat beragama. Beragamnya mazhab dan aliran agama secara otomatis menyebabkan tumbuhnya keragaman ekspresi dan praktik beberagamaan di masyarakat. Dilihat dari tata busana yang dikenakan umat Islam saja sudah tampak warna-warni di mana kaum Muslim dan Muslimah mengenakan dan merayakan berbagai jenis pakaian: gamis, sarung, celana, hijab, jilbab, niqab, kebaya, turban, peci, blangkon, “kupluk kaji” dan sebagainya.

Pluralitas itu Natural dan Kultural

Pluralitas atau kemajemukan itu sesuatu yang bersifat natural dan kultural sekaligus. Ia bisa dikatakan “natural” karena pluralitas merupakan fakta sosial yang tidak bisa terbantahkan sejak zaman pra-modern sampai zaman modern saat ini.

Pluralitas juga bersifat “kultural” karena merupakan bagian dari produk kebudayaan manusia. Artinya, manusia juga turut menciptakan pluralitas itu. Manusialah yang menciptakan aneka sistem sosial-politik-ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, tradisi dan budaya, bahasa, tata busana, ideologi, dan seterusnya sehingga menambah pluralitas masyarakat itu semakin bertambah plural.

Berbeda dengan kelompok “primata bukan manusia” (nonhuman primates), kelompok “primata manusia” (human primates) pada dasarnya adalah makhluk yang sangat dinamis, maju, progresif, dan memiliki kecenderungan untuk terus berevolusi menjadi lebih baik di masa mendatang dengan menciptakan sesuatu yang baru di berbagai bidang kehidupan.

Jika ada kelompok manusia kontemporer yang tidak memiliki pemikiran maju dan hidup seperti di “zaman denosaurus”, maka mereka sedang mengalami “degenerasi kultural” untuk meminjam istilah Edward Burnett Tylor (w. 1917), salah satu teoretikus evolusionisme, di buku klasiknya Primitive Culture. Karena watak manusia yang “inventive” dan gemar memproduksi, memperkenalkan, dan menyebarkan produk-produk kebudayaan mereka kepada orang lain itulah sebabnya kenapa dunia ini sangat warna-warni.

Karena pluralitas itu bersifat natural (given) dan kultural, maka manusia tidak bisa mengelak dari pluralitas itu. Sekuat dan sekeras apa pun usaha seseorang dan kelompok agama-politik tertentu untuk memberangus dan melenyapkan pluralitas itu akan sia-sia belaka. Kalaupun sukses hanya bersifat temporal saja, tidak bisa permanen karena bertentangan dengan watak, esensi dan naluri dasar manusia.

Aneka Cara dalam Menyikapi Pluralitas     

Ada banyak cara yang dilakukan oleh umat manusia dalam menyikapi pluralitas itu. Pertama, ada sekelompok umat manusia dan rezim politik-agama tertentu yang alergi dan sama sekali tidak menyukai pluralitas dan karena itu mereka berusaha sekuat-kuatnya, berbagai macam cara, untuk menolak, mendiskreditkan, dan menghancurkan pluralitas itu. Bagi “kelompok rejeksionis” ini, pluralitas dianggap sebagai “lalat-lalat pengganggu” yang bisa membuyarkan visi-misi dan merontokkan propaganda kepolitikan-keagamaan tertentu.

Oleh karena itu, mereka berjuang sekuat tenaga untuk mengenyahkan pluralitas itu atas nama supremasi agama, ideologi, etnis, suku, klan, atau ras tertentu. Tak jarang dalam upaya “menenggelamkan” pluralitas itu, mereka menggunakan cara-cara kekerasan yang brutal dan tidak manusiawi. Sejarah telah mencatat berbagai aksi kebiadaban sebagian kelompok manusia untuk membumihanguskan kemajemukan itu seperti apa yang dulu pernah dilakukan oleh sejumlah rezim politik: rezim komunis Soviet, Nazi Jerman, Apartheid Afrika Selatan, rasis Amerika, dan seterusnya.

Kedua adalah kelompok yang menyikapi pluralitas itu dengan tindakan asimilasi, yakni proses adaptasi secara gradual dan bahkan kemudian meleburkan diri pada kebudayaan, tradisi, atau agama dominan. Banyak sekali produk-produk kebudayaan manusia yang kemudian tidak lagi jelas identitas, karakteristik, dan asal-usulnya karena sudah melakukan atau mengalami proses pembauran dan peleburan dengan produk kebudayaan tertentu yang diproduksi dan dikontrol oleh kelompok dominan di masyarakat.

Ketiga adalah kelompok yang menyikapi pluralitas dengan sikap terbuka dan mengedepankan dialog produktif atas fakta pluralitas itu. Sikap ini bisa disebut “pluralisasi pluralitas”, yakni membiarkan pluralitas itu berkembang dengan sehat dan baik di masyarakat tanpa harus disikapi dengan tindakan sinisme, intoleransi, apalagi kekerasan.

Sikap Terbaik Menyikapi Pluralitas di Indonesia

Bagi saya, sikap terbaik dalam menyikapi pluralitas di Indonesia adalah dengan menumbuhkan “pluralisme kultural” di masyarakat. Pluralisme kultural yang dimaksud di sini adalah pandangan atau sikap toleran-pluralis dalam menyikapi pluralitas kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Tentu saja “pluralisme kultural” ini bukan berarti tanpa batas. Semua pandangan, filosofi, konsep, atau sistem sosial apa pun selalu memiliki konteks dan keterbatasan.

Dalam konteks Indonesia, batasannya adalah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Artinya, “pluralisme kultural” itu bisa diterapkan sepanjang produk-produk kebudayaan itu tidak bertentangan dengan bangunan filosofi dasar negara dan prinsip-prinsip fundamental toleransi-pluralisme yang menjadi fondasi bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia.

Oleh karena itu, jika ada kelompok-kelompok tertentu yang atas nama pluralitas dan demokrasi kemudian mengembangkan produk-produk kebudayaan yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental Pancasila serta tidak menghargai azas toleransi dan pluralisme yang tersurat dan tersirat dalam Bhineka Tunggal Ika, maka semua lapisan masyarakat (baik pemerintah maupun non-pemerintah, baik sipil maupun militer, baik elit maupun wong cilik), memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menegur, mengingatkan atau bahkan “memerangi” (tapi bukan dengan cara-cara kekerasan) kelompok-kelompok anti-Pancasila dan kontra toleransi-pluralisme tersebut.

Demikian pula jika ada kelompok tertentu yang dalam memperkenalkan dan mempromosikan produk-produk kebudayaan tertentu (ideologi politik, mazhab agama, aliran pemikiran, dan sebagainya) melakukan tindakan kekerasan di masyarakat, maka harus dilawan dan ditindak tegas (tentu saja dengan cara-cara non-kekerasan fisik) agar tidak mewabah di masyarakat.

Jadi, silakan saja merayakan pluralitas tetapi harus dilakukan tanpa intoleransi dan kekerasan serta wajib menjunjung tinggi Pancasila sebagai “ideologi bersama” yang merekatkan kemajemukan itu. (*Profesor antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi)

Sumber: Artikel Nusantarainstitute.com berjudul Merayakan Keragaman Tanpa Intoleransi dan Kekerasan

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA