Oleh Dr. Muhsin Labib*
Jelang wafat, Nabi SAW terlihat menangis hingga seluruh jenggotnya basah.
Saat ditanya penyebabnya, Nabi SAW menjawab dengan suara parau, “Aku menangisi derita keturunanku yang akan dizalimi oleh para penjahat di tengah umatku. Umat itu mengabaikan teriakan putriku.”
Mendengar itu Fatimah merangkul ayahnya dan menangis di dadanya.
“Janganlah menangis, putriku,” pinta Nabi.
“Ayah, aku tak menangis karena derita kezaliman yang akan kualami tapi karena tersiksa oleh derita berpisah denganmu, ayah,” sahut Fatimah.
“Bergembiralah. Kau adalah orang pertama dalam Ahlulbaitku yang menyusulku,” ucap Nabi menghiburnya.
Saat surya bergeser ke arah barat sekitar pukul 1 siang, wanita yang sejak beberapa hari lalu terbaring sakit itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia terlihat benar-benar pulih. Dengan sigap dan gesit ia melakukan semua pekerjaan rumah yang terbengkalai, menyapu, lalu memasak dan memandikan kedua putranya yang masih kecil.
Betapa berbunga hati suaminya tatakala memasuki rumah yang telah tertata rapi dan menemukan istrinya sedang sibuk bermain dengan kedua putranya.
“Istriku, kau terlihat sehat dan bugar hari ini”
Sejenak ia terdiam lalu berbisisk, “sebenarnya, aku masih sakit. Namun aku mesti melakukan tugasku yang terakhir di rumah ini karena aku tahu sebentar lagi aku akan meninggalkanmu dan kedua calon yatim ini.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya suaminya heran.
“Suamiku, ayahku menghampiriku dalam tidurku. Setelah mendengar tragedi yang kualami, beliau membisiku, “putriku, malam ini kau akan bersamaku.”
Mendengar itu, ia tertunduk dan membiarkan butir-butir hangat bergulir membasahi cambangnya.
“Duduklah di sampingku,” pinta istrinya.
Mereka berdua pun duduk berdampingan sementara kedua putranya asyik bermain di permadani kumal di samping.
Desir angin menyelinap melalui kisi jendela nan reot gubuk beralas pelepah korma memetik sitar-sitar kepiluan.
“Pangeranku, sungguh kau tahu, aku tidak pernah berbohong padamu selama hidupku, tak pernah mengkhianati, dan melanggar perintahmu.”
Lelaki yang gagah itu mengelus kepala istrinya searaya menganggukkan kepala. Dengan sesunggukan, ia berkata, “Permaisuriku, dusta dan khianat adalah pantanganmu. Kau adalah wanita yang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah.”
“Karena ini adalah kebersamaan terakhir kita, istrimu ingin mewasiatkan beberapa hal. Sudikah kau melaksanakannya?
“Sampaikanlah. Aku siap untuk melaksanakannya,” sahutnya menahan ledakan parasaan.
“Pertama, aku wafat dalam usia muda dan kau adalah duda dengan dua putra yang masih kecil. Aku menyadari lelaki ksatria dan bugar seperti kau tidak mungkin hidup tanpa wanita yang melayani dan merawat anak-anak kita. Jangan merasa bersalah atau takut kehilangan cintaku bila kau mencari penggantiku. Aku sarankan kau menjadikan Ummamah sebagai istri karena dia akan menyanyangi kedua putra kita. Bagilah perhatianmu antara istri dan kedua putra kita.”
Sungguh bergetar dinding sanubari lelaki itu mendengar uraian cinta tak berhingga dewinya.
“Kedua, uruslah semua masalah jenazahku pada malam hari. Lakukanlah semuanya dengan rahasia agar tak menjadi upacara umum.”
Detik-detik perpisahan kian bergerak. Keduanya berpelukan erat dan lama seakan berusaha menyimpan kehangatan gelora sebesar mungkin.
Ia meminta kepada pembantunya, Asma’ binti Umais dan Fidhah, memindahkan ranjang ke ruangan tengah.
Tak lama kemudian, sambil tertatih ia menuju kamar mandi. Tawaran bantuan dari kedua wanita pembantu untuk memandunya ditolaknya dengan isyarat tangan.
Ia ingin membersihkan bercak-bercak darah dan menyembunyikan luka memar di tubuhnya dari suaminya yang akan memadikannya nanti.
Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Cahaya memancar dari balik busana putih yang baru dikenakannya menuju ruang tengah. Ia berbaring disana.
Parasnya menengadah menatap lelangit rumah dan matanya yang sembab menembus angkasa seraya berucap:
“Salam atasmu, wahai Jibrail. Salam atasmu, wahai Rasulallah. Ya Allah bersama RasulMu, dalam kerelaan dan surga yang penuh kedamaian”
Sesaat kemudian ia penjamkan kedua matanya serta menjulurkan tubuhnya kedua kaki dan tangannya… dan ruh harum malakuti itu pun terbang dikawal pawai jejiwa suci menembus atmosfir, beriring himne para malakikat Innaa lillaaaaaaaaaaaaah wa inna ilaihi raji’un.
Dalam hantaran suami yang kehilangan, putra-putri yang yatim,
“Keranda malam” bergerak membedah kabut malam menyusuri bukit-bukti pasir Madinah hingga suatu tempat tak bernama.
“Keranda malam” meninggalkan hiruk pikuk pesta “dagang sapi” di Pendawa Saqifah
“Keranda malam” membawa prasasti abadi “Sang Demonstran”.
*) Penulis adalah Cendekiawan Islam
Sumber:https://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML