Oleh: Ufqil Mubin*
Saat saya berusia sekitar 10 tahun, Abu (H. Idris bin Yasin bin Yusuf bin Sulaiman) sudah terbiasa naik turun gunung untuk melihat sapi-sapinya yang dipeliharanya di gunung yang berjarak sekitar 20 kilometer dari rumah kami yang terletak di Desa Ncera, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Tentu saja kebiasaan seperti itu tidak hanya dilakukan oleh peternak seperti Abu, tapi juga telah menjadi kebiasaan para peternak sapi di desa tersebut. Sapi dibiarkan berkeliaran di gunung pada musim panas untuk mencari rumput sendiri, yang waktunya sekitar lima bulan (Juli hingga November). Kemudian, hewan ternak tersebut akan dibawa kembali ke rumah pada musim hujan karena rumput sudah tersedia di sawah.
Sesekali, beliau membawa saya ke gunung untuk mencari sapi-sapi tersebut, yang sependek pengetahuan saya berjumlah sekitar 20 ekor. Abu mengajari saya cara memanggil sapi-sapinya, mengenali bekas kaki-kakinya, dan memperlihatkan tempat-tempat persinggahan hewan ternak tersebut.
Pada jarak sekitar 1 kilometer hingga 2 kilometer, sapi-sapi tersebut akan menyahuti panggilan Abu, baik dengan bunyi yang mereka keluarkan dari mulut-mulut mereka maupun bunyi kalung yang disematkan di leher “pemimpin” sapi-sapi itu saat berlarian mendekati beliau yang memanggil mereka.
Kala perjalanan ke gunung itu, perhatian saya kerap tertuju pada sandal Abu, yang terbuat dari ban bekas yang berikatkan tali ban bekas pula. Orang-orang Ncera menyebutnya “sadopa”. Sandal tersebut dibuatnya sendiri untuk digunakan setiap kali naik turun gunung, baik saat mencari sapi maupun berladang.
Sadopa itu “berusia” cukup panjang. Kala saya lulus dari sekolah menengah atas, sandal itu masih tersimpan di rumah Abu, yang berlokasi di ujung barat desa yang berada di lereng gunung tersebut. Aktivitas peternakan telah dihentikannya sebelum naik haji pada tahun 1997. Beliau menjualnya untuk berbagai keperluannya: membiayai sekolah anak-anaknya, menutupi biaya haji, dan pengobatan istrinya yang memakan banyak biaya pasca kepulangannya dari Tanah Suci.
Setelah saya lulus sekolah menengah atas, beliau juga tak lagi menggunakan sadopa itu secara rutin. Kebiasaan berladang di desa tersebut sudah dihentikannya bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang membatasi para petani di Kecamatan Belo untuk berkebun dan berladang di gunung. Belakangan, ia lebih fokus bertani bawang merah, padi, ubi, dan kacang-kacangan. Praktis, beliau sudah sangat jarang ke gunung selain memantau pohon-pohon jati yang ditanamnya di ladangnya yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumah kami.
***
Dua bulan sebelum Abu meninggal dunia, saya yang bermukim di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur memutuskan untuk pulang ke kampung untuk menjenguknya. Saat berada di kampung, perhatian saya tertuju pada rumah yang berusia sekitar 40 tahun, yang didiaminya pertama kali saat menikah dengan istrinya. Rumah tersebut, berdasarkan cerita kakak perempuannya, merupakan satu-satunya rumah yang dibuat oleh ayah Abu, Yasin bin Yusuf bin Sulaiman, untuk dibawa dan didirikan di tanah calon istri Abu sebelum pernikahan mereka—sebuah kebiasaan masyarakat di Kecamatan Belo pada umumnya.
Rumah itu memang terbuat dari kayu-kayu yang diambil dari gunung, yang tentu saja semula sangat kuat karena dibuat untuk digunakan dalam masa yang panjang. Seiring waktu berlalu, rumah tersebut berubah warna menjadi hitam di seluruh bagian dinding, plafon, dan bagian-bagian lainnya. Satu-satunya yang diubahnya hanya kamar di bagian tengah, yang dibuatnya menggunakan kayu jati saat saya lulus sekolah menengah atas. Baik dinding, plafon, bantalan, maupun lantai rumah itu sudah keropos di berbagai sisi.
Beliau tak pernah sekalipun meminta kepada kami untuk memperbaiki rumah tersebut. Saat saya memegang uang yang cukup untuk membeli rumah, saya menawarkannya untuk mengganti rumah tersebut. Tapi, sambil tersenyum, ia menolaknya dengan halus. Katanya, “Biar saja begini. Pakai saja uang itu untuk kamu sendiri.”
Ketika sakit jantung dan paru-paru menggerogoti tubuhnya, ia menolak untuk dirawat di rumah lain selain rumahnya sendiri. Anak-anaknya menawarkannya untuk dirawat di rumah yang lebih layak, namun beliau menolaknya dengan tegas. Saat saya membersihkan plafon dan bagian atas rumah tersebut, beliau rela duduk di bawah untuk menunggunya, dan menolak untuk beristirahat di rumah lain.
Tentu saja, ada rasa iba dalam diri saya. Saya kemudian berinisiatif untuk memperbaiki beberapa bagian rumah itu: lantai, bagian depan, dan dapur. Saya melihat rumah tersebut tak lagi layak untuk diduduki oleh para tamu yang jumlahnya puluhan orang yang hilir mudik mengunjungi Abu saat beliau sakit.
***
Sebelum meninggal dunia, Abu memegang uang Rp 3,5 juta. Uang tersebut didapatkannya dari anak-anaknya serta hasil bertaninya sendiri. Ia mendorong kami untuk memperbaiki tanahnya yang tak jauh dari rumahnya. Kala itu, biayanya sekitar Rp 11 juta. Saat saya bilang kepadanya bahwa uang tak cukup untuk memperbaiki tanah tersebut karena hanya terhimpun Rp 8 juta, ia berkata, “Perbaiki saja besok. Uang itu sudah cukup.” Abu menyerahkan seluruh uangnya untuk memperbaiki tanahnya, yang kemudian tak pernah dinikmatinya sendiri karena diwariskan seluruhnya untuk anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang.
Saat saya pulang ke kampung tahun lalu, ia membeli ubi milik tetangganya. Ketika saya menanyakan sumber ubi tersebut, beliau menjawab, “Dari tetangga yang sedang kesulitan ekonomi. Nanti direbus untuk dimakan bersama.”
Orang-orang yang berdekatan dengan sawahnya pun kerap menikmati berbagai hasil pertaniannya: sayur, bawang, labu, pisang, hingga semangka. Seorang perempuan yang berusia senja berkata kepada saya, “Kami tidak pernah kekurangan sayur saat Abu masih hidup. Kami dipersilakan untuk mengambil sendiri sayur-sayuran di sawahnya.”
Sementara di belakang rumahnya, Abu menanam kelapa, pisang, mangga, kelor, dan karara. Para tetangganya bebas mengambil hasilnya. Ia juga kerap mengambilnya sendiri kelapa tersebut, yang kini telah mati, untuk disuguhkan kepada para tamu yang mengunjunginya di rumahnya.
Kala kerabatnya berkunjung ke rumahnya saat saya pulang ke kampung, ia memberikan uang kepada mereka secara terang-terangan di hadapan saya meski para tamunya tak pernah memintanya. Saya memaknai cara tersebut sebagai pelajaran kepada saya agar tak kikir dalam hubungan antar-individu.
Kakak perempuan Abu satu-satunya yang bernama Maemunah berkata kepada saya, “Setiap Abu kamu berkunjung ke rumah saya, saya sering diberikan uang. Abu juga sering membawakan saya bawang dan pisang.”
Ia melanjutkan, “Selama hidupnya, saya tidak pernah menemukan kecacatan dan keburukan dalam dirinya. Sejak remaja, Abu sudah bekerja keras untuk kami. Dia melayani kami, mencari makan dan bertani serta berladang untuk kami dan orang tua kami.”
Barangkali, karena kesederhanaan yang dipadukan dengan kedermawanan itulah, saat Abu sakit, kakak perempuannya itu hilir mudik ke rumah sakit untuk mengunjungi dan menunggu adiknya selama berhari-hari di rumah sakit meski usianya sudah senja. Dia bahkan pergi sendiri ke rumah sakit karena tak ingin melewatkan hari-hari sulit yang tengah dilewati laki-laki kelahirkan 1951 tersebut.
Mungkin karena itu pula seorang perempuan paruh baya berkata kepada Abu saat berada di rumah sakit, “Abu harus sehat kembali. Jika Abu meninggal dunia, kami semua akan menjadi yatim.” (*Redaktur Berita Alternatif)