BERITAALTERNATIF.COM – Setelah selesai salat kami menemukan bahwa banjir telah menenggelamkan kota. Air menggenang hingga mencapai halaman masjid meski tingginya hanya setengah meter dari permukaan tanah. Saya berteriak meminta agar orang-orang bersiap untuk menghadapi bencana. Mula-mula, saya meminta mereka agar menggulung karpet masjid dan meletakkannya di tempat yang tinggi agar air tidak merusaknya. Kemudian saya meminta mereka agar bersikap waspada untuk melindungi anak-anak dan kaum wanita. Arus deras berlanjut selama dua atau tiga jam. Selama itu kami mendengar suara rumah runtuh satu demi satu, sampai saya khawatir masjid akan hancur. Semuanya terjadi dengan mengerikan. Kegelapan akibat pemadaman listrik, aliran banjir yang deras, rumah yang runtuh, dan orang-orang yang meminta bantuan.
Dalam situasi kritis yang menakutkan, pikiran seseorang akan mengembara mencari cara apa pun untuk menghadapi situasi tersebut. Ingatan saya masih menyimpan apa yang pernah saya dengar yang maksudnya adalah bahwa turbah Sayyid Al Syuhada Husein bin Ali as dapat dijadikan tawasul—insyaallah—untuk menangkal bahaya yang akan segera terjadi. Saya mengeluarkan dari sapu saya sepotong yang saya simpan dari turbah yang dimuliakan Allah dengan rahmat Rasulullah saw. Lalu saya bertawakal kepada Allah dan melemparkan potongan turbah itu ke tengah aliran banjir yang deras. Tidak lama kemudian, banjir itu terhenti atas rahmat dan anugerah Allah Swt.
Setelah banjir berhenti, saya berinisiatif membentuk panitia untuk membantu korban. Tidak mungkin melakukan aktivitas penting pada malam itu, sehingga menangguhkan urusan itu keesokan paginya. Saya pergi ke rumah, dan rumah itu terdiri dari dua rumah dengan satu pintu bersama di antara keduanya. Saya dan Syekh Rasyid tinggal di salah satunya, sementara rumah yang satu lagi ditinggali oleh Sayyid Rahimi dan Sayyid Musawi Syali (dan mereka juga diasingkan ke Iransyahr sebulan setelah Syekh Rasyid. Sayyid Rahimi menjadi syahid setelah kemenangan Revolusi Islam ketika dia menjabat sebagai wakil di Dewan Syura Islam). Saya menemukan rumah itu selamat, air tidak masuk ke dalamnya. Air hanya sampai di dekatnya.
Tersebar berita di kota itu bahwa rumah orang-orang buangan tidak dimasuki air banjir, dan mereka menganggap hal itu karena kami memiliki karamah. Namun saya mengklarifikasi masalah ini kepada orang-orang dan mengatakan kepada mereka, “Air banjir tidak masuk ke dalam rumah kami karena posisinya di tempat yang tinggi sehingga tidak terjangkau oleh air banjir, bukan karena kami memiliki karamah.”
Pusat Bantuan
Keesokan paginya, saya bersama Rahimi dan Rasyid pergi ke luar kota untuk melihat rumah-rumah yang tersapu oleh banjir di lembah kota. Rumah-rumah itu memiliki andil paling besar terhadap terjadinya bencana tersebut, karena kota ini secara historis rentan terhadap hujan. Air hujan mengalir melalui lembah dan melintasi kota, dan kota ini tetap aman selama berabad-abad. Oleh karena itu, setiap bangunan di jalur “aliran” ini dilarang karena akan menyumbat aliran air dan membelokkannya ke dalam kota. Namun, sekelompok orang yang mencari tanah gratis mengambil risiko dengan membangun rumah mereka di lembah dan sebagian mereka masih melakukan hal tersebut di beberapa kota tanpa menyadari bahwa dia tidak hanya membahayakan dirinya sendiri melainkan membahayakan seluruh kota.
Kami pergi ke lembah dan menemukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di sana telah menjadi puing-puing. Saat kami berdiri di sana, kami melihat di kejauhan sebuah keluarga Baluch tiba, yang terdiri dari perempuan, laki-laki, dan anak-anak. Di pangkuan laki-laki itu ada seorang anak yang sedang tidur, sementara beberapa perempuan menangis dan meratap. Ketika mereka mendekat, kami tahu bahwa anak yang digendong oleh laki-laki itu sudah meninggal. Pemandangan ini menyentuh batin saya, dan saya mulai menangis tersedu-sedu.
Saya sangat sensitif terhadap anak-anak dan perempuan. Saya benar-benar tidak tega melihat keburukan yang menimpa anak-anak atau perempuan. Saya pernah berkata berkali-kali kepada teman-teman, “Saya tidak cocok untuk mengadili kasus antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, karena saya tentu akan berpihak pada perempuan.” Demikian pula anak-anak, saya tidak sanggup melihat bencana menimpa mereka bahkan dalam adegan akting film, sehingga saya merasa sangat sedih ketika melihat anak yang meninggal dalam bencana di lembah itu, dan saya mulai menangis dengan keras. Keluarga itu memahami tangisan dan kesedihan saya, dan Rasyid berkata kepada saya, “Mereka terkejut saat melihat Anda lebih menderita daripada mereka.” Lalu berita tentang tangisan saya tersebar di antara orang-orang Baluch.
Kami kembali ke kota. Panitia bantuan yang kami bentuk memberitahu kami bahwa 80 persen rumah di kota itu telah ambruk dan rumah-rumah yang tidak ambruk pun, seluruh bagian dalamnya terendam banjir. Sebagian besar rumah di Iran adalah satu lantai.
Tiba-tiba terpikir oleh saya bahwa orang-orang di kota ini belum makan sejak siang kemarin, dan mereka pasti lapar. Saya melihat para pemilik toko roti telah menutup toko mereka karena banjir. Air telah memasuki toko dan gudang dan kondisi ini akan bertahan selama berhari-hari, sehingga warga kota ini terancam kelaparan. Saya berkata kepada teman-teman, “Mari kita sebarkan slogan: ‘Selamatkan Kota dari Kelaparan,’ dan hendaklah kita mengumpulkan makanan dengan cara apa pun yang kita bisa.”
Saya melihat orang-orang tersebar di jalan-jalan tercengang dan terpana. Bencana telah membuat mereka lupa terhadap rasa lapar. Di sisi jalan, saya melihat sebuah toko kelontong yang berhasil lolos dari terjangan banjir karena posisinya yang tinggi dan pemiliknya berdiri di depan pintunya, melihat ke kiri dan ke kanan, tidak tahu harus berbuat apa. Saya datang kepadanya dan berkata, “Apakah ada sesuatu di tempat Anda yang bisa dimakan?” Dia menjawab, “Hanya biskuit.” Saya berkata, “Keluarkan semua yang Anda miliki!” Saya membeli semua kotak biskuit darinya, dan tidak banyak. Saya membagikannya di tempat yang sama kepada para korban banjir yang kehilangan tempat tinggal. Ini sekedar pertolongan pertama saja, bukan penanggulangan kelaparan bagi warga kota.
Saya pergi ke kantor pos dan menelepon Syekh Kaf’ami, seperti yang sudah saya sebut di Zahedan, dan dia adalah ulama besar yang dikenal di seluruh provinsi Baluchistan. Saya memberitahu dia tentang dimensi bencana tersebut dan mengatakan kepadanya, “Kami membutuhkan roti dan kurma dan jika mungkin, keju secepat mungkin.” Saya memintanya untuk menghubungi Syekh Shaduqi di Yazd, dan untuk menelepon ke Masyhad dan Tehran serta memberitahu semua orang bahwa kami membutuhkan makanan. Saya mengulangi beberapa kali dengan suara nyaring, “Katakan kepada semua orang bahwa saya tidak sabar menunggu roti dan kurma.”
Ketika saya meletakkan gagang telepon, saya melihat orang-orang di belakang saya mendengarkan dengan takjub upaya saya untuk meminta bantuan dan besarnya perhatian saya. Mereka saling pandang satu sama lain dengan kekaguman dan keheranan. Wajar jika berita tentang kegiatan saya kemudian tersebar di kota dalam waktu kurang dari satu jam. Hati para warga menaruh perhatian pada upaya saya ini, karena mereka sadar akan ketidakmampuan ulama mereka dan para aparat berwenang untuk memberikan bantuan segera. Para ulama tidak mampu dan para aparat tidak memberikan perhatian. Mereka tidak berdaya.
Saya pergi ke Masjid Al Al-Rasul untuk mempersiapkannya sebagai pusat bantuan. Semua mata tertuju ke masjid itu. Hanya dua atau tiga jam berselang, datanglah sebuah truk berisi roti, kurma, semangka dan keju. Kami memasang pelantang suara di masjid untuk memutar lantunan Alquran. Kemudian kami mau mengumumkan bahwa masjid telah menjadi pusat dukungan dan bantuan bagi warga dengan makanan untuk menyelamatkan mereka. Saya berkata kepada teman-teman, “Berikan makanan kepada siapa saja yang datang kepada Anda dan jika ada yang berkata, ‘Ini sedikit,’ beri dia lebih banyak. Dan jika dia datang lagi kepadamu, berilah dia dan jangan katakan padanya, ‘Kamu sudah mengambilnya,’ untuk menghindari timbulnya keinginan dari yang lain.” Tentu saja saya diyakinkan bahwa teman-teman di kota-kota lain akan mendukung kami. Demikianlah kami memulai proses bantuan.
Saya sendiri membagi pekerjaan dengan cermat di antara teman-teman, dan kami memiliki organisasi yang serius. Saya memanfaatkan pengalaman saya sebelumnya di Firdaus pada tahun 1388 H/1968 M. Aksi itu berlangsung selama 50 hari. Dalam masa itu, kami mengunjungi para warga di rumah-rumah, tempat-tempat penampungan, dan tenda-tenda, dan kami mendata jumlah anggota keluarga. Angka yang diberikan kepada kami terkadang tidak akurat, tetapi kami menganggapnya sahih dan tidak memeriksanya. Kami masuk ke kedalaman perasaan warga ini.
Kami membuat pembagian sesuai data yang telah kami catat, dan membuat kartu jatah, setiap keluarga menerima bagiannya sesuai kartunya. Selama periode ini, kami membagikan banyak lentera, selimut, perkakas, perabot dan kebutuhan hidup sederhana lainnya selain bahan makanan yang didistribusikan dari waktu ke waktu. Ada beberapa orang yang memalsukan kartu distribusi dan memalsukan tanda tangan saya di atasnya, tetapi tanda tangan saya, meskipun di permukaannya sederhana, memiliki simbol yang hanya saya yang mengetahuinya. Saya tahu bahwa tanda tangan itu palsu, tetapi saya tidak memberitahu mereka.
Pada hari-hari itu (hari-hari penyaluran bantuan), Syekh Hujjati datang dari Sanandaj ke Iransyahr. Dia jatuh sakit di pengasingan kedua (Sanandaj) dan meminta izin untuk datang ke Kerman, sehingga mereka mengizinkannya dan dari sana dia datang ke Iransyahr untuk mengunjungi kami. Kedatangannya adalah kesempatan bagi kami untuk memperbarui pertemuan dan kami begadang hingga pagi. Pada pagi hari, saya mengajaknya untuk pergi ke kota dan berkeliling dengan mobil saya. Saya mempersilakan dia duduk di samping saya dan mengemudikan mobil. Dia terheran-heran ketika melihat orang-orang, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, melambaikan tangan mereka kepada kami untuk memberikan salam ketika mereka melihat mobil kami. Dia heran dan berkata, “Apakah Anda ingat bahwa orang-orang pada awalnya bersikap skeptis kepada kita dan bahkan tidak mau memberi salam?” Saya menjawab, “Ya, saya ingat. Tetapi beginilah posisi seseorang di hati masyarakat ketika dia berbagi dengan mereka dalam suka dan duka mereka.”
Pada akhir dari lima puluh hari penyaluran bantuan dan dampak banjir telah terlampaui, kami mengadakan pesta besar di situ, saya menyampaikan pidato. Rekaman pidato serta foto-foto perayaan itu masih ada. (*)
Sumber: Buku Memoar Imam Ali Khamenei, Catatan di Balik Penjara