Oleh M. Dudi Hari Saputra, MA*
Keterlambatan transfer dana perimbangan dari pusat ke daerah, ditengarai karena adanya perubahan neraca pendapatan dari sektor migas karena harga minyak dunia yang terus menurun. Kabupaten/kota yang mengeluh tentu adalah daerah kawasan penghasil minyak bumi seperti Riau, dan tentunya Kaltim (antara lain Kabupaten Kutai Kartanegara).
Keterlambatan bahkan tidak terpenuhinya target pemasukan kas negara, menyebabkan terjadinya defisit pada beberapa daerah, sehingga mengakibatkan kendala proyek belanja daerah, terutama proyek pembangunan infrastruktur yang menghabiskan dana besar untuk biaya produksi dan pembayaran kepada kontraktor rekanan pemerintah.
Pandangan ini senada dengan pendapat Husni Fahruddin (Kaukus Ketahanan Energi dan Keadilan Fiskal atau disingkat K2EKF), bahwa Perubahan itu terjadi karena terdapat perubahan asumsi makro, khususnya DBH Migas (harga minyak dunia yang turun dari asumsi awal US$ 105/barel menjadi US$ 50/ barel. Dan untuk diketahui sampai dengan bulan Desember 2016 masih menyentuh di angka + US$ 40 s/d 50/barel) untuk alokasi 2016. Dari perubahan tersebut alokasi yang ada pada Peraturan Presiden 162 Tahun 2014 ke Peraturan Presiden 36 Tahun 2015 turun sebesar 63,47%, sehingga mempengaruhi struktur APBD Kabupaten Kukar yang tergantung transfer dari Pemerintah Pusat dan Provinsi (Husni: 2016).
Apalagi mengingat DBH untuk daerah penghasil migas hanya mendapatkan porsi 15.5%, yang kemudian mesti mendapat Pola pembagian DBH Migas dalam UU No.33/2004 dan PP No 55/2005, bahwa DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan minyak bumi dari wilayah Kab/Kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan rincian 3,1% untuk provinsi bersangkutan, 6,2% untuk Kab/Kota penghasil, dan 6,2% dibagikan untuk seluruh kab/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Sebenarnya dampak kepada APBN tidak signifikan, karena asumsinya sebagai negara net importir minyak, ketika pemasukan menurun begitu juga dengan pengeluaran. Dampaknya hanya terkena pada APBD penghasil minyak, seperti Riau dan Kaltim. Solusi jangka panjang memang harus ada pengurangan ketergantungan pada sektor minyak bumi sebagai pendapatan fiskal utama, diversivikasi produk dagang mesti dilakukan. Dan menjadi catatan tambahan penting bagi birokrat pemerintah daerah dan pusat untuk menetapkan RAPBN dan RAPBD harus sinergis dan selalu mampu mengantisipasi dan mengikuti tren ekonomi global yang selalu bergerak dinamis, agar rancangan anggaran belanja sesuai dengan kas negara.
Karena itu pembangunan IKN, industrialisasi – hilirisasi dan penguatan sektor jasa serta diversifikasi produk andalan harus diperkuat bagi daerah seperti Kalimantan Timur untuk melepaskan ketergantungannya dengan pendapatan dari sektor migas.
*)Penulis adalah Pendiri dan Peneliti Konsultan Riset Nusantara.