Search
Search
Close this search box.

Keunikan Wisata Kampung Kuliner Tradisional di Gang Tujuh Kampung Baru

Suasana kampung kuliner tradisional di Gang 7, Kelurahan Baru, Kecamatan Tenggarong. (Berita Alternatif/Ulwan Murtadho)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Wisatawan masih memadati kegiatan Wisata Kampung Kuliner Tradisional yang diselenggarakan di Gang 7, Kelurahan Baru, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).

Saat memasuki gang, sejauh mata memandang, terlihat ratusan lampu menggantung di langit-langit. Sejak awal, wisatawan yang melintas mendapat teman setia berupa kerlipan lampu yang menggantung sepanjang jalan.

Kala menelusuri lebih dalam, puluhan pedagang dan lapak UMK ramai bermunculan. Para pedagang menjejerkan jualan mereka dengan cukup rapi. Seperti namanya, Kampung Kuliner, beraneka makanan serta minuman terpampang untuk memikat hati para pengunjung yang berlalu-lalang melintasi gang.

Advertisements

Sebagian besar kuliner yang tersaji merupakan makanan yang biasa disantap oleh masyarakat Kukar sehari-hari, seperti lumpia, mihun, bakwan, dan aneka macam gorengan. Seolah-seolah segala jenis makanan yang dirasa familiar terkumpul di satu titik.

Berbagai pernak-pernik, kerajinan tangan, dan cinderamata ciri khas Kota Raja juga menanti untuk dibawa pulang oleh para pengunjung.

Suasana gang kian hidup karena diwarnai ajang pentas seni. Hal ini memancing para wisatawan untuk membawa kerabat bahkan kekasih-kekasih mereka.

Sejumlah anak kecil yang datang bersama orang tua mereka saling berinteraksi sambil memegang sebotol pop ice di tangan mereka.

Pada dasarnya, konsep wisata yang berlangsung selama sepekan ini mengusung tema tradisional. Namun, saat diamati secara lebih dekat, nuansa “urban” ala gang-gang di perkotaan masih sangat melekat. Hal itu ditunjukkan dengan teknik penyajian kuliner yang serupa dengan tema streetfood.

Perpaduan itu menawarkan daya tarik tersendiri. Persis di tengah-tengah gang terdapat sebuah panggung yang sengaja disiapkan secara khusus oleh para pelaku seni.

Dengan susunan bangku dan meja yang berjejer di pusat jalan, berakibat pada terpotongnya akses jalan menjadi dua haluan, diniatkan agar para pengunjung lebih “khusyuk” menyantap kuliner.

Saat waktu menunjukkan pukul 20.00 Wita, sebagian wisatawan yang hadir dengan spontan berkerumun menghadap ke arah panggung. Terdengar beberapa dari mereka berbisik dan bertanya penasaran, “Kira-kira kesenian apa yang akan dipentaskan malam ini?”

Sesaat setelah master of ceremony (MC) memperkenalkan diri dan sepatah dua patah kata pemantik rasa antusias pengunjung, ternyata pihak penyelenggara mengundang tiga orang penari dari UKM Sosial Budaya Unikarta untuk tampil sebagai pembuka acara.

Situasi kampung yang masih padat wisatawan dimanfaatkan dengan baik oleh tiga orang pemudi yang mendapat kesempatan mewakili UKM USB Unikarta. Mereka pun tak menyia-nyiakan momen ini untuk berpentas ria dengan menampilkan tarian tradisional khas Dayak.

Keanggunan dan keeleganan para pemudi yang membawakan tarian khas Dayak berkarakter mendayu ini dalam sekejap membuat mata para pengunjung berbinar saat menyaksikannya, baik secara langsung atau melalui perantara teras serta kaca rumah mereka masing-masing.

Sebelum dipentaskan, MC seakan-akan mengajak para penonton untuk lebih dalam menghayati setiap untaian tarian yang akan dibawakan pemudi-pemudi USB dengan cara menceritakan kembali asal usul, latar belakang, beserta maknanya.

Konon, seni tarian Dayak yang ditampilkan ialah tari hasil kreasi mereka yang bertajuk “lemak sekai”. Tarian yang memadukan gerakan tangan lembut serta kelincahan tubuh ini menyiratkan makna yang menggambarkan kemegahan serta keanekaragaman suku Dayak.

Pentas seni juga diramaikan oleh pemuda-pemudi yang terhimpun dari berbagai sanggar kesenian serta tampil mewakili sekolah mereka. Beberapa orang dari mereka terlihat menarikan tari daerah. Kemudian diiringi lantunan musik tingkilan khas Borneo.

Pesan-pesan kental tersampaikan di balik alunan musik tingkilan serta ayunan tangan para penari membuat suasana terasa begitu “proporsional”.

Fenomena ini menyuguhkan kesan yang mendalam sehingga menjadikan kegiatan wisata tersebut lebih istimewa dan berbeda dari sekadar “pasar malam”. (*)

Penulis: Ulwan Murtadho

Editor: Ufqil Mubin

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA