Jakarta, beritaalternatif.com – Amerika Serikat (AS) disebut akan memainkan banyak isu untuk mengganggu pertumbuhan ekonomi China. Negara ini khawatir dengan perkembangan China yang akan merongrong dominasinya dalam politik dan pertahanan dunia.
Pengamat politik internasional, Ali Nurdin mengatakan, AS khawatir dengan China, yang dalam 20 tahun terakhir telah tumbuh menjadi salah satu negara maju dengan skala ekonomi kedua terbesar di dunia setelah AS.
Jika China sudah menjadi raksasa ekonomi dunia, Beijing akan semakin memainkan peran politik dan pertahanannya secara internasional. Kondisi ini jelas akan merongrong dominasi AS. “Karena itulah USA melalui berbagai cara berusaha menghambat pertumbuhan ekonomi China,” kata Ali, dalam siaran pers, Jumat (10/9/2021).
Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran ini mengatakan, dengan posisi seperti itu, sangat mungkin AS berada di balik isu yang kerap memojokkan China, termasuk memainkan isu asal muasal virus corona dari Wuhan, Hubei, yang kembali ramai itu.
Pertumbuhan ekonomi China, menurut Ali, rata-rata di atas 6% per tahun, sedangkan AS hanya berkisar 2 persen. Sehingga ada prediksi skala ekonomi China akan melampaui AS pada 2028. Melihat berbagai indikator yang ada, sangat mungkin terjadi posisi Amerika bakal tergeser dengan dominasi ekonomi Beijing tersebut.
“Kekhawatiran Amerika itu sangat jelas. Jika dengan dominasi ekonominya itu China sampai memainkan peran politik, dan pertahanan, yang memang secara geopolitik sangat mungkin terjadi. Karena itulah berbagai cara dimainkan untuk menghambat ekonomi China,” kata Ali, yang juga dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten itu.
Perang dagang antara AS dan China, menurut Ali, antara lain dipicu oleh defisit neraca perdagangan Amerika, yang jumlahnya fantastis, yaitu minus 418 miliar dolar AS pada 2018, 344 miliar dolar AS pada 2019 dan 310 miliar dolar AS pada 2020.
Reaksi atas kekalahan itu, kata Ali, AS kemudian melakukan berbagai tindakan untuk mengurangi komoditas China masuk ke negaranya. Mulai dari pengenaan tarif, mengeluarkan daftar hitam perusahaan China, sampai menggagas undang-undang yang melarang impor produk dari Xinjiang China.
Meski jumlah defisit perdagangan AS terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun angka defisitnya masih cukup besar. Menurut Ali, defisitnya mencapai 187 miliar dolar AS pada Januari-Juli 2021.
“Ekspor China ke AS rata-rata mencapai 450 miliar dolar AS per tahun, sedangkan impor China hanya berkisar sepertiganya,” papar dia.
Hal yang selama ini jarang disebut, menurut Ali, adalah adanya investasi langsung dari AS di China. Jumlahnya terus naik dalam tiga tahun terakhir, hingga mencapai 124 miliar dolar AS pada 2020. Selain itu, terdapat ratusan ribu warga Amerika bekerja di perusahaan-perusahaan China. Sedangkan China menanamkan investasi 40 miliar dolar AS pada 2020.
“Jadi, sebetulnya kedua negara saling membutuhkan dalam konteks perdagangan dan investasi,” ungkap Ali.
Tetapi, lanjut dia, China tidak bisa menyembunyikan kemarahannya setelah Negeri Paman Sam cenderung terus mengusiknya. Hal yang paling mutakhir, soal isu Wuhan, Hubei, yang kembali muncul berkaitan dengan pandemi virus Corona. World Health Organization (WHO) didukung Amerika berusaha membuka kembali penyelidikan dengan alasan untuk mengusut asal muasal virus SARS-CoV-2 itu.
China tak tinggal diam dalam kasus ini. Menurut Ali, Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) mendesak penelusuran terkait asal virus corona yang menyebabkan pandemi Covid-19 itu diperluas ke berbagai negara, termasuk AS.
Menurut Ali, ini merupakan respons atas laporan intelijen AS yang dianggap tidak meyakinkan. Lembaga ini menyatakan, AS telah memobilisasi aparat intelijennya, bukannya lembaga profesional, untuk menyelidiki asal-usul virus corona baru. (Republika/ln)