Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Kata “khilafah” memang mempesona dan sulit untuk dipandang negatif, karena tertera dalam Alquran dan Hadis.
Bila memperhatikan khilafah, kita menemukan fakta-fakta sebagai berikut: pertama, arti primer khilafah adalah suksesi dan khalifah (berakar dari khalafa, yakhlufu yang berarti menyusul, melanjutkan) adalah suksesor. Arti kedua khilafah adalah kepemimpinan yang melanjutkan kepemimpinan sebelumnya.
“Donald Trump adalah ‘khalifah’ (pelanjut) Barack Obama sebagai presiden AS” secara kebahasaan adalah pernyataan yang benar.
Khilafah tidak niscaya mengandung pengertian kekuasaan/kepemimpinan yang bijak, adil dan legal. Khalifah seperti presiden, bisa baik dan bisa buruk. Banyak tiran dan raja zalim menobatkan diri sebagai khalifah dan menjadikan atribut khilafah sebagai cara mudah melegitimasi kekuasaannya.
Kedua, kata khilafah terdiri atas mafhum (konsep) dan mishdaq (fakta). Secara konseptual primer khilafah adalah suksesi atau kelanjutan. Secara faktual, khilafah diterapkan atas manusia sebagai spesies (universal, impersonal) dan diterapkan atas individu manusia (partikular, personal).
Firman Allah “انى جاعل فى الارض خليفة” bermakna “Sesungguhnya Aku ciptakan pelanjut kepemimpinan Allah atas semua makhluk di bumi”. Dengan kata lain, spesies manusia diberi tanggung jawab mengelola alam makhluk. Nabi adalah khalifah Allah. Inilah khilafah takwiniyah, bukan khilafah siyasiyah.
Alquran menegaskan bahwa manusia adalah khalifah atas semua makhluk di bumi. Para nabi terutama Nabi Muhammad adalah prototype manusia. Inilah khilafah takwiniyah yang tidak ditentukan manusia, tapi ditunjuk Allah. Ini bukan khilafah siyasiyah yang diklaim sebagian orang.
Yang pasti disepakati, khalifah itu gelar untuk spesies manusia sebagai pewaris dan pemegang mandat pengelolaan bumi. ان الارض،يرثها عبادى الصالحون
Spesies manusia sebagai khalifah Tuhan direpresentasi oleh orang-orang saleh, orang-orang yang berperilaku baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan alam.
Manusia dalam Alquran disebut khalifah. Tentu yang dimaksud bukan manusia sebagai person, tapi manusia sebagai spesies paling suprem di bumi karena akalnya.
Ketiga, khilafah adalah suksesi atau kelanjutan pemimpin sebelumnya. Khalifah adalah pelanjut kepemimpinan sebelumnya. Karena itu, Nabi SAW bukan khalifah dan kepemimpinannya bukan khilafah.
Karena Nabi SAW bukan khalifah dan kepemimpinannya bukan khilafah, maka khilafah bukan bagian dari sunnah.
Keempat, dalam sejarah diterapkan dalam beragam pola, maka khilafah bukanlah sebuah sistem tunggal kepemimpinan. Karenanya, konsep khilafah adalah ambigu.
Khalifah pertama terpilih dengan pola yang berbeda dengan pola penunjukan khalifah kedua juga khalifah-khalifah selanjutnya.
Bila khilafah adalah sistem tunggal kepemimpinan, mestinya khalifah pertama dan setelahnya terpilih dengan satu pola. Nyatanya, tidak.
Berkuasanya para tokoh sahabat dengan beragam pola sebagai khalifah-khalifah adalah bukti bahwa konsensus adalah sistem yang melampaui khilafah.
Kelima, rukun iman ditetapkan dalam Ilmu Kalam sebagai prinsip-prinsip keimanan atau keyakinan-keyakinan fundamental.
Khilafah bukan bagian rukun-rukun iman dan ushuluddin dalam semua mazhab kalam. Itu artinya ia bukanlah sesuatu yang wajib diimani dan penting untuk diperjuangkan. Menolak ini bisa dianggap sebagai pembangkangan teologis.
Keenam, sistem pemerintahan adalah sebuah konsep baku yang permanen berupa pola pengelolaan negara.
Pemerintahan para sahabat Nabi dibentuk dan diselenggarakan dengan ragam sistem dan pola penyelenggaraan yang berbeda-beda. Sedangkan pemerintah pasca 4 sahabat justru berbentuk monarki dan kerajaan dari dinasti Umayah lalu Abbasiyah hingga Utsmaniyah (Otoman).
Itu artinya, khilafah hanya suksesi atau perpindahan dari penguasa ke penguasa berikutnya tanpa sistem dan mekanisme yang baku dan tetap.
Dinasti Otoman lebih sadis lagi. Hampir 2 juta warga Kristen Armenia terbunuh. Hingga kini genosida dahsyat ini masih menyisakan trauma dan mewariskan noda bagi umat Islam.
Ketujuh, khilafah yang berbentuk dinasti demi dinasti pasca 4 khalifah telah melakukan aneksasi, invasi dan perebutan wilayah-wilayah dengan kedok penyebaran agama yang justru mengesankan ekspansi imperium dan kolonialisasi. Banyak identitas etnis, keyakinan dan budaya lokal yang dimusnahkan dengan jumlah korban yang sangat banyak atas nama penyebaran agama hingga mengundang serangan balik dan timbulnya konflik berdarah. Lepasnya Cordoba dan wilayah-wilayah Eropa serta Mediteranian adalah fakta yang menkonfirmasi itu.
Dinasti Umayah membangun apa yang disebut wilayah Islam di atas ribuan mayat.
Dinasti Abbasiyah membangun apa yang disebut “peradaban Islam” di atas derita bangsa-bangsa yang dipaksa melepas keyakinan dan identitas etniknya.
Dinasti Otoman lebih sadis lagi. Hampir 2 juta warga Kristen Armenia terbunuh. Hingga kini genosida dahsyat ini masih menyisakan trauma dan mewariskan noda bagi umat Islam.
Kedelapan, khilafah diklaim oleh banyak pakar fiqh siyasah sebagai pemerintahan yang berasaskan “syura” atau permusyawaratan.
Itu artinya, setiap pemerintahan yang dibentuk dengan kesepakatan atau kontrak sosial dan diselenggarakan dengan permusyawaratan dapat dianggap sebagai khilafah dan orang yang terpilih dengan mekanisme itu bisa diperlakukan sebagai khalifah. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)