Search
Search
Close this search box.

KIKA Kaltim: Komersialisasi Perguruan Tinggi Negeri Cekik Mahasiswa dan Dosen

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Kalimantan Timur menggelar diskusi virtual dengan tema Kampus dalam Kepungan Komersialisasi Pendidikan PTNBH dan BLU: Status BLU, PTNBH, dan Dampaknya terhadap Kita pada Selasa (7/3/2023) siang.

Kegiatan tersebut menghadirkan beberapa narasumber dari kalangan dosen dan aktivis di berbagai kampus. Mereka mendiskusikan secara virtual tentang persoalan yang fundamental dalam dunia pendidikan, yakni PTN-BH dan PTN-BLU.

PTNBH merupakan perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah dengan status berbadan hukum yang otonom atau otonomi kampus yang diberikan seluas-luasnya oleh negara.

Advertisements

Beberapa pengamat pendidikan melihat perguruan tinggi atau kampus yang masuk PTNBH rentan menuai problem di dalamnya, seperti kenaikan biaya kampus yang berdampak pada masa depan mahasiswa.

Hal itu disebabkan PTNBH adalah otonomi penuh atau otonomi secara akademi dan keuangan. Sehingga kampus harus mencari keuangan sendiri di luar APBN, sebab subsidi dipotong melalui kerja sama dan pemanfaatan aset.

Nasrullah, salah satu dosen Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, yang menjadi narasumber pada acara tersebut mengemukakan pandangan ekonomi dan politiknya tentang perkembangan kampus di Indonesia.

Selain itu, ia juga membahas bagaimana komersialisasi dan buruhnisasi serta mitos-mitos perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Nasrullah menjelaskan tema yang diangkatnya dilatarbelakangi oleh mahasiswa yang tidak bisa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Negeri Yogyakarta dan satu mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar yang melakukan aksi seorang diri dan membentangkan poster bertuliskan, “Saya anak nelayan tidak mampu bayar UKT”.

Nasrullah mengibaratkan kampus yang sudah menjadi PTNBH rentan terjadi komersialisasi seperti cendawan di musim hujan. Sebab akan memanfaatkan aset yang menghasilkan uang untuk menutupi biaya yang ditanggung kampus. Sehingga, kata dia, cara paling mudah adalah mengincar kantong orang tua mahasiswa melalui UKT.

Nasrullah menyebutkan, mitos pertama adalah tentang otonomi dan kemandirian seperti keuangan dan akademik. Hal tersebut berbeda jauh dengan yang terjadi di lapangan, justru yang muncul adalah bisnis pendidikan seperti mcdonaldisasi dan alfamartisasi pendidikan tinggi.

“Biasanya mcdonal itu tidak sampai ke daerah-daerah, tapi alfamartisasi dan indomaretisasi buka cabang di mana-mana,” ucapnya.

Selanjutnya, mitos kedua adalah tentang dana riset yang lebih besar dan berkualitas, namun lebih mengutamakan laporan dibanding kualitasnya. Hal tersebut juga disebabkan oleh orientasi riset yang diarahkan harus bersinergi atau link and match dengan dunia industri.

“Jadi, risetnya bukan untuk kebangsaan, bukan untuk kenegaraan, tapi riset itu untuk menghasilkan duit buat universitas,” ucap Nasrullah.

Mitos selanjutnya adalah alumni yang disebutkan siap untuk bekerja padahal ada upaya pengarbitan mahasiswa atau buruhnisasi sarjana.

Nasrullah membeberkan, para mahasiswa diarahkan untuk segera menyelesaikan studi. Bahkan, kata dia, ada rapat khusus percepatan kelulusan mahasiswa.

“Intinya, ini adalah untuk menciptakan buruh baru yang cepat, sarjana baru dengan upah murah, alumni karbitan, kualitas rendah, fresh graduate low wage. Ini hal yang terjadi yang saya temukan lima tahun terakhir sejak menjadi dosen,” ujarnya.

Kemudian, kesejahteraan dosen dan tenaga pendidikan yang meningkat adalah mitos selanjutnya. Sebab, yang terjadi justru kesejahteraan menurun karena kinerja tidak dibayar dan pemasukan kampus yang terbatas.

Selain itu, tekanan kerja makin tinggi disertai angka dosen mati muda semakin tinggi, dosen kontrak rentan diberhentikan, dan kebebasan akademiknya tersandera putusun kontrak dan pembungkaman struktural.

Mitos kelima yakni menuju perguruan tinggi berkelas dunia atau word class university dan corporate university. Hal yang paling sering didengar Nasrullah adalah menuju kampus dunia, namun mengarah ke korporat, padahal seharusnya bermental korporat, tapi semakin birokrat karena banyak laporan.

Dampaknya bagi mahasiswa adalah terjadinya komersialisasi. Hal tersebut bisa dikatakan logis sebab ketika kampus tidak bisa memenuhi anggaran untuk pembiayaan maka cara paling mudah adalah menaikkan UKT.

“Upah dosen kontrak akan rendah atau turun kalau kampus tidak bisa menghasilkan uang. Kalau menghasilkan uang berarti fokusnya cari uang bukan lagi mendidik mahasiswa apalagi mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Nasrullah.

Ia juga menjelaskan dampak lainnya adalah adanya kultur akademik yang berubah menjadi kultur ekonomi yang memaksa kampus untuk tidak lagi berdiskusi mengenai hasil riset yang baik, tetapi bagaimana riset tersebut bisa menghasilkan uang.

Dampak lainnya adalah diskriminasi akan dilakukan oleh kampus kepada mahasiswa yang menolak kebijakan. Selain merekrut satpam-satpam yang berlagak preman, fakultas juga akan melakukan skorsing mahasiswa yang menolak komersialisasi pendidikan.

“Kampus-kampus yang penolakan mahasiswanya tinggi akan terjadi kekerasan akademik bahkan represif. Represif kampus biasanya merekrut satpam-satpam berlaga preman yang kerjanya suka berkelahi,” pungkasnya. (*)

Penulis: Arif Rahmansyah

Editor: Ufqil Mubin

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA