Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Dulu nama Lebanon identik dengan keindahan alam dan kecantikan wanita-wanitanya. Kini negara multi agama dan aliran itu identik dengan resistensi karena Hizbullah. Kalau Brazil dikenal dunia karena sepakbola dan figur Pele, Lebanon dikenal dunia karena muqamawah Hizbullah dan figur Sayyid Hasan Nasrallah (SHN).
Pada 1948, Israel baru saja dilepas sebagai wilayah di bawah protektorat Inggris resmi berdiri sebagai negara. Namun, dilansir Reuters, berdirinya Negeri Zionis ini malah menjadi nestapa bagi warga Palestina.
Saat itu, sekitar 100 ribu warga Palestina terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya sendiri. Sebab, Israel yang baru saja berdiri menjadi negara berdaulat mencoba menganeksasi wilayah Palestina secara sengaja untuk memperluas wilayahnya.
Merespons tindakan tersebut, Lebanon sebagai negara pendukung kemerdekaan Palestina tidak mau tinggal diam. Bersama negara-negara jazirah Arab lainnya mencoba melakukan perlawanan terhadap Israel yang mencoba mengambil alih wilayah Palestina tanpa izin. Dari sinilah perang antara Lebanon dan Israel dimulai. Namun, perang antara Lebanon dan Israel ini pun mereda setahun setelahnya setelah sepakat melakukan gencatan senjata pada 1949.
Perang antara Israel dan Lebanon kembali meletus pada 1968. Saat itu, militer Israel menyerang selusin pesawat penumpang yang ada di Bandara Beirut. Tindakan ini dilakukan sebagai balasan atas serangan terhadap pesawat Israel oleh kelompok pejuang Palestina yang berbasis di Lebanon.
Israel kembali berulah pada 1973. Saat itu, pasukan khusus Israel menyamar untuk menembak mati tiga pemimpin kelompok pejuang Palestina yang ada di Beirut. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya balas dendam Israel atas pembunuhan atlet Israel oleh pejuang Palestina di Olimpiade Munich pada 1972. Imbas kejadian tersebut, Organisasi Pembela Palestina (PLO) yang berbasis di Yordania harus pindah markas ke Lebanon.
Serangan Israel terhadap kelompok pejuang Palestina yang mengungsi di Lebanon ini membuat ketegangan antara Israel dan Lebanon kian intens.
Pada 1978 Israel mulai menginvasi Lebanon selatan dengan tujuan menyerang operasi kelompok pejuang Palestina yang berbasis di daerah tersebut. Tidak hanya itu, Israel juga mencoba menggoyahkan kekuatan Lebanon. Negeri Zionis itu mencoba memecah belah kekuatan militer Lebanon dengan mendukung tentara Kristen setempat yang disebut Tentara Lebanon Selatan (SLA).
Pada 1982 Israel menyerang ibu kota Beirut dengan menembakkan belasan rudal dan mengepungnya selama 10 minggu.
Imbas kejadian ini, ribuan pejuang Palestina di daerah tersebut dievakuasi lewat jalur laut. Sementara itu, ratusan lainnya ada yang terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Nasib pengungsi di kamp pengungsian di Beirut kian suram setelah pasukan Lebanon Selatan (SLA) yang mendapat dukungan dari militer Israel menyerbu masuk dan mencoba menyerang kamp pengungsian tersebut. Israel juga membunuh Presiden Lebanon yang baru saja terpilih dengan mengebom mobil dinasnya.
Merespons hal ini, Lebanon langsung membuat langkah perlawanan. Mereka yang didukung oleh Iran mendirikan kelompok milisi Islam Syiah bernama Hizbullah. Pendirian milisi itu bertujuan untuk membalas serangan-serangan Israel ke Lebanon.
Setahun setelah invasi besar-besaran ke Beirut, tepatnya pada 1983, Israel memutuskan mundur dari Lebanon. Namun, Negeri Zionis dengan bantuan tentara sekutunya, tetap mempertahankan pasukan militernya di wilayah Lebanon selatan.
Merespons hal ini, Lebanon tidak mau tinggal diam. Tentara Lebanon bersama milisi Hizbullah yang baru berdiri pada 1982 mencoba balas dendam kepada Israel dengan melancarkan serangan pada 1985, seperti dikutip Reuters. Dari sinilah perang Hizbullah dan Israel seperti yang saat ini sedang terjadi dimulai.
Serangan Hizbullah ke Israel ini terus dilakukan hingga 1996. Imbasnya, saat itu, militer Israel melakukan operasi militer bernama Grape of Wrath.
Operasi Grape of Wrath ini dilakukan selama 17 hari. Operasi ini menewaskan lebih dari 200 orang di Lebanon. Dari jumlah tersebut, sebanyak 102 orang yang tewas ketika Israel menembaki pangkalan PBB di dekat Desa Qana, Lebanon selatan.
Pada tahun 2000 organisasi ini berhasil memukul mundur Israel setelah bercokol kurang lebih 22 tahun.
***
Sejak didirikan, organisasi ini telah berkembang. Di bawah SHN yang melanjutkan Sekjen Sayyid Abbas Musawi yang gugur dalam mobil bersama keluarganya, Hizbullah membesar dan melakukan reformasi paradigma politik dari mindset politik sektarian yang eksklusif ke ide politik partisipatif yang inklusif. Hizbullah pun menjadi organisasi yang bercampur ke dalam strukur sosial Lebanon melalui pelayanan sosial dan partisipasi aktif dalam politik yang dinamis dan elastis, termasuk berkoalisi dengan faksi Kristen Maronit progresif sambil tetap melancarkan serangan perjuangan internasional dan operasi-operasi militer regional dengan misi perlawanan terhadap Israel.
Pada tahun 2006, pejuang Hizbullah menyergap patroli Israel dan menyandera dua tentara Israel dalam serangan lintas perbatasan. Hal itu memicu perang selama sebulan antara Hizbullah dan Israel yang berakhir seri, tetapi pemboman Israel mengakibatkan kerusakan luas di Lebanon selatan.
Pada akhirnya, pertempuran ini pun dimenangkan oleh Hizbullah. Dalam peristiwa pertempuran itu setidaknya sebanyak 1.200 orang di Lebanon, 158 warga Israel, dan sebagian besar tentara dari kedua belah pihak dinyatakan tewas.
Konflik senjata Israel vs Hizbullah kerap terjadi, karena beberapa wilayah Lebanon di perbatasan masih diduduki.
7 Oktober 2023: Pejuang Hamas melancarkan serangan besar-besaran di wilayah selatan Palestina yang diduduki, menembakkan roket yang menyasar pemukiman di aea perbatasan, lebih dari 240 orang ditawan.
Pada hari yang sama, Pasukan Pendudukan Israel (IDF) melancarkan serangan udara yang menargetkan warga sipil, sekolah, dan rumah sakit di Jalur Gaza.
8 Oktober 2023: Hizbullah menyerang dengan sejumlah drone ke beberapa kota Israel sebagai dukungan atas “Badai Aqsa” yang dilakukan Hamas sehari sebelumnya. Israel mulai kewalahan melindungi warga pendudukan dari serangan-serangan rutin itu.
11 Oktober 2023: Pimpinan Pendudukan Israel berjanji untuk membongkar kemampuan militer Hamas sebagai tanggapan atas serangan Badai Al-Aqsa tersebut.
13 Oktober 2023: Perintah evakuasi dikeluarkan kepada lebih dari 1 juta penduduk di Gaza utara, mendesak mereka untuk pindah ke selatan menjelang operasi militer yang intensif, ke apa yang disebut zona aman.
18 Oktober 2023: 11 hari setelah agresi, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya dari empat resolusi, yang menyerukan gencatan senjata segera untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
19 Oktober 2023: Sebuah kapal perang Angkatan Laut AS mencegat rudal dan pesawat nirawak yang ditembakkan dari Yaman melalui Laut Merah menuju wilayah Palestina yang diduduki. Kelompok Ansarallah di Yaman terus melancarkan serangan jarak jauh sporadis terhadap pendudukan Israel dan pengiriman barang di Laut Merah.
27 Oktober 2023: Pasukan pendudukan Israel memulai invasi darat ke Gaza, terlibat dalam pertempuran langsung dengan Hamas.
Pada 4 Desember, IDF melancarkan serangan darat pertamanya yang menargetkan wilayah selatan Gaza, memperluas operasi militernya.
Ketegangan di kawasan itu meningkat ketika kompleks kedutaan Iran di Damaskus diserang dalam serangan udara Israel pada tanggal 1 April, yang mengakibatkan tewasnya beberapa perwira, termasuk seorang jenderal terkemuka. Iran membalas dua minggu kemudian dengan meluncurkan ratusan rudal dan pesawat nirawak ke wilayah pendudukan Palestina.
Inisiatif Hizbullah untuk membuka front support Gaza dengan melakukan serangan-serangan dengan drone pembom dan rudal-rudal ke sejumlah kota dan pemukiman Israel dekat perbatasan dengan Lebanon sehari setelah serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober 2023 silam memperluas ketegangan geopolitik di kawasan.
Ketegangan ini ditandai dengan terbentuknya kesatuan Front Resistensi yang terdiri atas Hamas sendiri dengan faksi-faksi bersenjatanya di Gaza dan sebagian Tepi Barat seperti Jenin, Hizbullah di Lebanon, Ansarallah di Yaman yang menyasar kapal-kapal yang melintas laut merah dari dan ke Israel juga menembakkan drone-drone pembom dan rudal-rudal hypersonic ke Israel, termasuk Tel Aviv, milisi-milisi pro muqawamah di Irak (yang terpisah dari Hashd Shabi setelah diintegrasikan ke institusi militer resmi Irak) yang rajin menembakkan drone-drone pembom ke dataran tinggi Golan di Suriah yang diduduki Israel, dan Iran sebagai episentrum yang menjadi magma gerakan militer terpadu ini.
Israel yang gagal menaklukkan Gaza selama setahun dan membebaskan para tentara Israel yang ditawan Hamas karena ketangguhan milisi-milisi bersenjata dan pecahnya konsentrasi akibat serangan militer dari tiga arah, Lebanan, Yaman, Irak dan Iran yang sempat menghujani Israel dengan lusinan rudal jarak jauh, mengurangi tekanan militer ke Gaza dan mengumumkan Lebanon selatan sebagai target utama operasi militer.
Organisasi ini mengalami pukulan berat ketika 17 September 2024: ribuan perangkat komunikasi, yang sebagian besar digunakan oleh para anggotanya, meledak di berbagai wilayah Lebanon, menewaskan 39 orang dan melukai hampir 3.000 orang, banyak di antaranya warga sipil. Serangan itu belakangan diakui Israel.
28 September 2024: Serangan ratusan rudal menghantam gedung markaz Hizbullah dan menewaskan SHN, bersama dengan para pemimpin senior Hizbullah.
Pada Rabu, 27 November 2024 Israel dan Hizbullah Lebanon mulai menerapkan gencatan senjata sebagai bagian dari kesepakatan yang diusulkan AS untuk gencatan senjata selama 60 hari guna mengakhiri permusuhan yang telah berlangsung selama lebih dari satu tahun. Sebagai bagian dari gencatan senjata, tentara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian akan dikerahkan di Lebanon selatan saat tentara Israel menarik diri selama periode 60 hari, yang akan berakhir pada Januari 2025.
Sejak gencatan senjata diumumkan pada tanggal 27 November, tentara Israel telah melakukan total 325 pelanggaran, yang mengakibatkan 33 kematian dan 37 cedera. Israel meluncurkan serangan menargetkan wilayah Baalbek di timur Lebanon. Lebanon menyebut hal itu sebagai pelanggaran gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah.
***
Pada 8 Desember 2024 kelompok bersenjata yang semula merupakan bagian dari ISIS dukungan Qatar, Turki dan restu AS bernama Tahrir Al-Sham melakukan penyerangan terhadap Suriah dekat wilayah perbatasan dengan Turki. Serangan mendadak ini berujung pada jatuhnya Damaskus dan mengakhiri kekuasaan dinasti Assad yang dimulai pada masa kepresidenan Hafez al-Assad pada tahun 1977.
Al-Jolani mengeluarkan komunike melalui platform media sosial yang mengumumkan berakhirnya apa yang mereka sebut sebagai “era kegelapan” dan menjanjikan “Suriah baru” di mana “semua orang hidup dalam damai dan keadilan”.
Keruntuhan rezim tersebut diakibatkan oleh beberapa fakta, antara lain:
1) Melemahnya posisi politik dan militer Bashar akibat
A. Penarikan sejumlah penasehat militeritik dan militer Bashar akibat penarikan sejumlah penasehat militer Iran atas permohonan Bashar yang mulai terlihat terpengaruh oleh rayuan Saudi dan UEA untuk menjaga jarak dengan Iran demi memperoleh dukungan Liga Arab, terutama negara-negara Teluk dan pencabutan sanksi ekonomi AS.
B. Penarikan sebagian penasehat militer dan persenjataan utama Rusia karena sedang menghadapi Ukraina yang mendapatkan pasokan senjata mutakhir AS dan NATO.
C. Penarikan hampir seluruh personil Hizbullah yang sedang fokus melakukan perlawanan militer terhadap Israel sebagai dukungan atas Gaza.
2) Kondisi ekonomi Suriah yang buruk, dengan sekitar 90 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan banyak yang tinggal di kamp pengungsian, berkontribusi terhadap terkikisnya dukungan terhadap Assad.
3) Perubahan kebijakan diplomatik dan sikap Pemerintah Iran di bawah Pezeshkiyan, presiden baru dari kubu reformis terhadap dinamika geopolitik yang berimplikasi terhadap berkurangnya dukungan politik dan finansial untuk Bashar karena ingin memulai negosiasi seputar program nuklir sebagai upaya membebaskan diri dari embargo, sanksi multidimensi AS dan Barat demi mengatasi krisis ekonomi dalam negeri yang kian tajam dan dikhawatirkan menimbulkan gejolak politik.
Jatuhnya Bashar dan berkuasa mantan kelompok takfiri yang sadis di Suriah membuat Iran kehilangan sekutu kuatnya sekaligus kehilangan jalur suplai militer dan finansial ke Hizbullah.
Terputusnya suplai senjata dan dana Iran dianggap oleh banyak analis sebagai melemahnya posisi militer Hizbullah yang seakan berperang sendirian tanpa dukungan tentara reguler Lebanon di bawah Jenderal Joseph Oun dan tanpa dukungan militer dan finansial dari dunia kecuali Ansarallah dan faksi-faksi perlawanan di Irak melawan AS dan Barat yang diwakili oleh rezim Israel.
Perubahan ini juga berimplikasi rerhadap penerimaan Hizbullah secara pasif melalui Nebih Berri, ketua Amal yang menjadi Ketua Parlemen, terhadap proposal gencatan senjata yang diajukan AS dan Prancis, dianggap oleh banyak pengamat sebagai indikatornya.
Sejak gencatan senjata diumumkan pada tanggal 27 November, tentara Israel telah melakukan total 325 pelanggaran, yang mengakibatkan 33 kematian dan 37 cedera. Israel meluncurkan serangan menargetkan wilayah Baalbek di timur Lebanon. Lebanon menyebut hal itu sebagai pelanggaran gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)