Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Lebih dari 2 tahun Lebanon tanpa presiden karena Koalisi Hizbullah dan Amal juga sejumlah politisi Maronit mencalonkan Sulaiman Franjieh, sedangkan kubu lawan mencalonkan Mayjen Jozef Oun yang didukung AS, Perancis dan Saudi.
Hizbullah yang berkorban dengan bertempur dengan Israel sejak 8 Oktober 2023 demi membela Gaza, yang kemudian berubah menjadi perang skala penuh pada 23 September, dan mempersembahkan 4.068 martir dan 16.000 orang yang terluka, termasuk sejumlah besar anak-anak dan wanita, juga dari pengungsian sekitar 1,4 juta warga Lebanom selatan dan wilayah selatan Beirut justru menghadapi tekanan politik dalam negeri dari rival-rival politik.
Sejak perang dan gugurnya SHN juga jatuhnya Asad, situasi geopolitik regional berubah dan berimplikasi terhadap posisi politik domestik Hizbullah. Suara untuk Oun menguat dan suara untuk Franjieh melemah akibat tekanan intensif AS, Saudi dan Perancis.
Terjadi polemik sengit antara kubu pendukung calon tunggal Josef Oun yang didukung AS, Barat dan Saudi dan kubu yang menganggap pemilihan ini sebagai produk intervensi asing yang menguntungkan Israel seraya menganggap mekanisme bertentangan undang-undang negara.
Pada pemilihan putaran pertama Josef Aoun tak mendapatkan suara mutlak. Sidang diskors 2 jam oleh Ketua Parlemen, Nabih Berri.
Dalam jeda 2 jam duo Syiah (Hizbullah dan Amal) mengajukan sejumah jaminan sebagai imbalan suara penuh untuk Oun, antara lain adalan Mikati menjadi Perdana Menteri. Aoun memberikan respon positif.
Setelah jeda 2 jam dan dilakukan pemilihan melalui voting pada putaran kedua suara untuk Aoun melonjak ke 99 suara. Hizbullah dan Amal yang merupakan duel Syiah tampaknya mengubah pandangan pada detik-detik terakhir. Parlemen melantik Aoun sebagai presiden setelah vakum selama 2 tahun.
Tidak menunggu lama, berkat tekanan AS, Saudi dan Perancis ke mayoritas kubu politik Sunni dan Kristen kontra Hizbullah, tiba-tiba nama Nawaf Salam mencuat dan menguat sebagai kandidat Perdana Menteri dan suara Mikati meredup. Tentu saja kubu Hizbullah dan Amal kecewa dan merasa dikhianati.
Setelah pertemuan dengan Presiden terpilih Joseph Aoun, Anggota Parlemen Mohammad Raad menyampaikan kekecawaan faksi Hizbullah atas apa yang ia gambarkan sebagai “upaya untuk mencoreng citra konsensus pada era tersebut,” menuduh beberapa partai internal berusaha untuk “disintegrasi, perpecahan, pengucilan, dan kedengkian.”
Raad menyinggung adanya “kesepakatan awal” yang dibuat sebelum pengesahan pemilihan presiden, yang mengatur persetujuan nama perdana menteri, dengan mengatakan, “Kami mengambil langkah positif ketika presiden terpilih, dan kami berharap bertemu dengan respon positif namun ditelikung.”
Ia menekankan bahwa bloknya menuntut pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, dan menekankan bahwa “pemerintahan apa pun yang bertentangan dengan koeksistensi tidak memiliki legitimasi.”
Dalam konteks ini, blok Hizbullah, bersama sekutunya, blok Gerakan Amal, abstain dari pemungutan suara untuk kandidat mana pun selama konsultasi parlemen. Posisi ini menimbulkan kekhawatiran akan memburuknya krisis politik di Lebanon dan kemungkinan meletusnya krisis pemerintahan baru.
Kurang dari seminggu setelah ditugaskan membentuk pemerintahan oleh Presiden terpilih Joseph Aoun, Salam akhirnya bertemu dengan anggota parlemen Hizbullah Mohammed Raad, kepala Blok Loyalitas, setelah duo Syiah Hizbullah dan Amal menolak bertemu Salam dalam konsultasi parlemen.
Pertemuan yang cepat dan intensif ini dapat mengarah pada pembentukan pemerintahan dalam beberapa hari, dan bahkan sebelum tanggal penarikan pasukan pendudukan dari selatan pada tanggal 27 Januari.
Pihak yang mengetahui kontak dan pertemuan Salam mengindikasikan bahwa ia berusaha menghilangkan hambatan dengan memperluas jangkauan kontaknya, mengingat adanya konsensus blok politik mengenai perlunya mempercepat misinya dan bekerja sama dengannya.
Namun hal ini tidak meniadakan adanya kendala yang tidak hanya terbatas pada negosiasi dengan duo Syiah, dengan munculnya Rams terkait representasi Sunni, belum lagi kendala yang akan menghambat pembagian portofolio Kristen dengan apa yang dikatakan tentang partai “Pasukan Lebanon” yang anti Hzblh menuntut portofolio luar negeri dan energi yang dimiliki oleh Gerakan Patriotik Bebas yang pernah menjadi mitra Hizbullah.
Kedua belah pihak mengatasi masalah yang menyertai pencalonan dalam konsultasi parlemen dan menegaskan kesiapan mereka untuk bekerja sama, dan Salam menegaskan bahwa dia bukan kandidat yang menantang siapa pun, dan bahwa perwakilanlah yang mencalonkannya, dan dia juga menerima Representasi Syiah dari duo tersebut dan ketidakmungkinanan untuk mengabaikannya.
Informasi yang bocor menunjukkan bahwa pemerintah akan memasukkan perwakilan dari duo Hizbullah-Amal (5 portofolio, termasuk portofolio keuangan), Pasukan Lebanon (4 portofolio), Gerakan Patriotik Bebas (2 portofolio), Gerakan Marada (1 portofolio), Partai Kataeb (1 portofolio), dan pembelot dari Gerakan Patriotik Bebas (1 portofolio), Tashnag (satu portofolio), dan Partai Sosialis (2 portofolio).
Laporan media Lebanon juga mengindikasikan bahwa pemerintahan akan terdiri dari 24 menteri, dan pembagian jabatan menteri akan mencakup beberapa portofolio penting yang secara langsung memengaruhi situasi politik dan sosial di negara tersebut.
Konsultasi Perdana Menteri terpilih, Nawaf Salam, terus berlanjut tanpa gangguan dengan berbagai komponen politik di Lebanon, untuk membentuk pemerintahan barunya, di tengah suasana positif bagi kelahiran pemerintahan ini yang akan segera terjadi, setelah menghilangkan hambatan yang terkait dengan partisipasi duo Syiah di pemerintahan.
Dinamika politik Lebanon di atas justru menunjukkan bahwa Hizbullah meski mengalami pukulan-pukulan sangat berat secara militer, tetap kuat secara politik dan sosial.
***
Pengorbanan agung Hizbullah, Ansarallah Yaman dan milisi-milisi pro muqawamah Irak yang bermazhab Syiah untuk Gaza tidak sia-sia. Setelah hampir 2 tahun menggempur Gaza dan membantai ribuan bayi, perempuan dan warga sipil, Israel yang didukung total AS dan Barat menerima fakta ketakberdayaannya dan menerima gencatan senjata.
Hizbullah menilai bahwa tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza “dengan memberlakukan syarat-syarat perlawanan dan tanpa mengorbankan hak-hak rakyat Palestina, merupakan kemenangan politik yang ditambah dengan pencapaian militer.”
Pada Minggu pagi, gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku setelah genosida yang dilakukan oleh Israel dengan dukungan Amerika di Gaza selama sekitar 16 bulan.
Partai tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan yang diterima pada hari Senin, “Perjanjian Gaza menunjukkan bahwa pendudukan tidak dapat mencapai tujuannya dengan kekerasan atau mematahkan tekad dan keteguhan rakyat Palestina.”
Partai tersebut mengucapkan selamat kepada “rakyat Palestina yang hebat dan perlawanan mereka yang gagah berani, semua kekuatan perlawanan yang mendukung Gaza, negara Arab dan Islam, dan orang-orang bebas di dunia atas kemenangan besar ini,” menurut pernyataan yang sama.
Ia menilai bahwa “kemenangan ini merupakan puncak dari keteguhan legendaris dan bersejarah selama lebih dari 15 bulan sejak dimulainya tragedi Banjir Al-Aqsa, yang merupakan contoh yang harus diikuti dalam menghadapi agresi Zionis-Amerika terhadap negara kita dan wilayah kami,” menurut pernyataan itu.
Hizbullah menilai bahwa “kemenangan bersejarah ini menegaskan sekali lagi bahwa pilihan perlawanan adalah satu-satunya pilihan yang mampu menghalangi pendudukan dan mengalahkan rencana agresifnya, dan merupakan kekalahan strategis baru bagi musuh Zionis dan para pendukungnya.”
Ia juga menekankan bahwa “masa pemaksaan perintah sudah berakhir, dan keinginan rakyat bebas tidak dapat dipatahkan dan lebih kuat daripada semua mesin perang dan terorisme Zionis dan Amerika,” menurut pernyataannya.
Partai tersebut menilai bahwa “perlawanan Palestina terbukti selama pertempuran ini bahwa mereka kuat dan mampu mematahkan arogansi dan tirani musuh Zionis, terlepas dari semua kejahatan dan agresi brutalnya.”
Menurut Hizbullah, perlawanan ini menegaskan bahwa “entitas sementara ini (Israel) adalah entitas rapuh yang tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berlanjut, dan tidak akan menikmati keamanan atau stabilitas selama mereka terus melakukan agresi terhadap rakyat kami, tanah kami, dan “kesuciannya.”
Sementara itu, Brigade Qassam, sayap militer Hamas, melalui jubirnya Abu Obeida, memberikan penghormatan kepada Iran atas dukungan dan keterlibatannya yang konstan dan berkelanjutan dalam pertempuran bersejarah di Palestina.
Pria yang selalu menyembunyikan wajahnya ini mengatakan pada hari Minggu, “Rakyat Palestina telah melakukan pengorbanan yang belum pernah terjadi sebelumnya demi kebebasan mereka selama 471 hari, selama Pertempuran Banjir Al-Aqsa yang bersejarah, yang menancapkan paku terakhir ke dalam peti mati pendudukan, yang tidak diragukan lagi sedang menghilang.”
Dalam pidato yang direkam dalam video setelah gencatan senjata di Gaza, Abu Obeida menekankan bahwa “pengorbanan besar dan darah yang ditumpahkan oleh rakyat kita tidak akan sia-sia,” dan bahwa “setiap tetes darah yang ditumpahkan di tanah ini adalah untuk membebaskan tanah dan tempat suci ini.”
Terkait pertempuran “Topan Al-Aqsa”, Abu Obeida mengemukakan bahwa “pertempuran ini dimulai di pinggiran Gaza, namun mengubah wajah wilayah tersebut dan memperkenalkan persamaan baru dalam konflik dengan entitas pendudukan,” menekankan bahwa hal ini menyebabkan untuk pembukaan medan pertempuran baru dan penerapan blokade laut terhadapnya, dan memaksa entitas tersebut untuk menggunakan…kekuatan internasional mendukungnya, dan mengirim pesan kepada dunia bahwa pendudukan ini adalah kebohongan besar dan akan berdampak besar pada wilayah tersebut.
Dia menekankan bahwa “para pejuang Qassam bertempur dengan saudara-saudara mereka di semua faksi perlawanan sebagai satu garis di setiap tempat di Jalur Gaza, dan bersama-sama kami mengarahkan pukulan-pukulan mematikan kepada musuh, dengan keberanian dan keteguhan hati yang besar sampai jam-jam terakhir pertempuran,” dan bahwa para pejuang perlawanan telah bertempur sejak awal pertempuran “dalam keadaan yang tampaknya mustahil dalam perhitungan militer”.
Abu Obeida menyapa seluruh warga Gaza dengan berkata: “Salam untuk kalian yang telah menciptakan kisah epik yang akan dicatat sebagai titik balik dalam sejarah bangsa kita.”
Ia berjanji untuk membangun kembali Jalur Gaza, dengan mengatakan: “Rakyat kita, kita akan bersama-sama membangun kembali apa yang telah dihancurkan oleh pendudukan.”
Juru bicara Qassam memberikan penghormatan kepada Jenin di Tepi Barat, yang ia gambarkan sebagai “saudara perempuan Gaza dalam hal perlawanan dan keteguhan,” seraya menekankan bahwa tanggung jawab rakyat Tepi Barat semakin besar saat ini.
Selain itu, ia menyampaikan salam kepada “saudara-saudara kebenaran di Yaman,” “saudara-saudara seperjuangan dan kawan-kawan seperjuangan Perlawanan Islam di Lebanon dan di belakang mereka rakyat Lebanon yang merdeka,” dan kepada “saudara-saudara di Iran yang berada di bawah naungannya. Dukungan dan keterlibatan mereka yang konstan dan berkelanjutan dalam pertempuran bersejarah ini,” dan kepada “Perlawanan bebas Irak dan para pejuang perlawanan Yordania yang berpartisipasi dalam pertempuran tersebut.”
Ia juga menyampaikan salam dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka yang turut serta dalam melawan ketidakadilan dan tirani. Ia memberikan penghormatan kepada seluruh rakyat bebas di dunia yang telah berdemonstrasi dalam jumlah jutaan orang di seluruh dunia, menyatakan dukungan mereka terhadap model perlawanan dan keteguhan hati.
Secara umum, bagi Hizbullah, persetujuan Israel atas gencatan senjata adalah kemenangan agung bagi rakyat Gaza dan seluruh pendukung Poros Perlawanan. Situasi ini menggenjot semangat sekaligus mengembalikan kepercayaan dirinya setelah mengalami upaya-upaya pengucilan dan skenario “blame the victim” untuk terus konsisten dengan perlawanan sebagai pilihan logis dan tunggal. (*Cendekiawan Muslim)