BERITAALTERNATIF.COM – Museum Mulawarman merupakan obyek wisata terfavorit yang kerap kali dikunjungi para wisatawan lokal maupun mancanegara ketika mendapat kesempatan untuk menyambangi Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Selain sebagai obyek wisata, museum ini menjadi pusat studi bagi para turis asing maupun pelajar dari berbagai daerah.
Peninggalan bersejarah banyak tersimpan di museum tersebut. Pasalnya, Museum Mulawarman menjadi wadah strategis untuk melakukan berbagai macam penelitian tentang sejarah Kutai.
Obyek wisata yang menjadi salah satu primadona Kota Tenggarong ini ternyata memiliki sejarah yang jarang diketahui sejak awal didirikan hingga saat ini.
Bangunan megah bergaya Eropa klasik ini dulu merupakan bekas keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935. Kemudian diserahkan ke pihak Kesultanan Kutai 3 tahun setelah pendiriannya.
Kasran, seorang pemandu wisata Museum Mulawarman, menyebut bangunan tersebut didirikan Pemerintah Hindia Belanda untuk menggantikan rumah Sultan Kutai yang terbakar.
Pendirian keraton tersebut, sambung dia, merupakan strategi dari Pemerintah Hindia Belanda untuk merebut hati Sultan Aji Muhammad Parikesit agar diberi izin melakukan eksploitasi sumber daya alam di wilayah Kutai—dulu membentang dari wilayah Kukar, Kutai Timur, Kutai Barat, Mahakam Ulu, Samarinda, dan Bontang.
“Kalau dulu Belanda menjajah bukan secara fisik tapi secara ekonomi. Lalu, (keraton) ini dibangunkan dan diserahkan ke Sultan agar Belanda bisa menggarap batu bara dan mengambil minyak yang ada di Kalimantan Timur,” terangnya, Senin (3/6/2024).
Pemerintah Hindia Belanda juga bersedia untuk membagi persenan hasil pengerukan bahan galian tersebut ke pihak Kesultanan Kutai. Siasat tersebut berhasil meluluhkan hati sang Sultan.
Bangunan megah itu selama bertahun-tahun menjadi tempat tinggal Sultan beserta keluarganya bahkan hingga Sultan ke-19 Kutai tersebut menduduki posisi sebagai kepala daerah. Kala itu, bangunan megah tersebut belum diserahkan ke pemerintah daerah.
Kasran melanjutkan, saat Sultan Aji Muhammad Parikesit menyelesaikan tugasnya sebagai kepala daerah, barulah dia menghibahkan kraton tersebut kepada Gubernur Provinsi Kalimantan Timur.
“Ada bukti hitam di atas putih. Bukti penyerahan keraton ini yang ditandatangani secara langsung oleh Sultan dan Gubernur,” jelasnya.
Berstatus sebagai satu-satunya bangunan mewah di Kukar dan ketidaksukaan beberapa elemen masyarakat Kukar kepada pihak kesultanan membuat istana ini mendapat banyak teror dan tekanan dari berbagai pihak.
Hal ini juga yang memantik inisiatif Sultan Kutai ke-19 itu untuk sesegera mungkin mengubah status keraton dari milik pribadi menjadi milik pemerintah daerah, sehingga pada November 1971 eks keraton ini resmi berubah fungsi menjadi museum.
Kasran menyebut pemindahtanganan aset bersejarah tersebut menjadi milik publik merupakan langkah yang tepat. Pasalnya, bangunan sebesar ini membutuhkan partisipasi kolektif dari semua pihak agar bangunan itu tetap terawat dengan baik.
Dia berharap pemerintah daerah dan masyarakat Kukar saling bahu-membahu menjaga eksistensi Museum Mulawarman.
Hal ini dapat dimulai dari antusiasme semua pihak untuk mempelajari sejarah pendirian museum tersebut. “Agar dapat diceritakan ke anak cucu kita kelak,” harapnya. (*)
Penulis: Ulwan Murtadho
Editor: Ufqil Mubin