Oleh: Dina Sulaeman*
Lelaki ini tidak bisa disebut namanya karena algoritma Facebook hari-hari terakhir ini sepertinya disetel untuk memblokir akun-akun yang menyebut namanya.
Mengapa mereka sedemikian takut pada lelaki ini, sehingga segala upaya dilakukan agar namanya hilang dari ingatan publik? Nanti saya ceritakan.
Dini hari, hari ini, tanggal 3 Januari, 2 tahun yang lalu, lelaki ini dan sahabatnya, serta para pengawal mereka, dibunuh oleh militer AS. Presiden Trump secara terbuka mengakui bahwa dia menginstruksikan pembunuhan itu. Sedemikian besarkah pengaruh si lelaki ini di Timur Tengah sehingga pembunuhan atasnya dilakukan secara “resmi” oleh AS? Apa yang sudah dilakukannya?
Jawabannya: dia telah menumbangkan “kekhalifahan” ISIS.
Tahun 2014, dia memulai merancang operasi melawan ISIS yang saat itu sedang berada di masa “kejayaan.” Negara (pemerintah) tempat ISIS bercokol untuk mendirikan kekhilafahannya, tidak sanggup sendirian melawan ISIS. ISIS terlalu kuat, saat itu. Dari mana ISIS memperoleh senjata dan logistik? Dari negara-negara kaya dan kuat, Anda pasti sudah tahu. Dari mana ISIS mendapatkan suplai pasukan? Dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Si lelaki kemudian membentuk pasukan sukarelawan di dua negara, Irak dan Suriah. Anggotanya adalah rakyat di kedua negara itu, yang mau mempertaruhkan nyawa untuk melindungi tanah air mereka, dan pasukan dari beberapa negara lain, yang didorong oleh tujuan luhur menumpas kelompok teroris terkuat dan terkaya di dunia (saat itu). Jadi saat ada netizen zsm yang suka mengata-ngatai Muslim/Islam sebagai teroris, ketahuilah, mereka yang berdiri di garis depan, yang berperang habis-habisan melawan teroris adalah kaum Muslim juga (bersama umat agama-agama lain, karena rakyat Timteng bukan cuma Muslim).
Tapi, sukarelawan + tentara nasional kedua negara itu tidak cukup. Jadi bisa dibayangkan, seberapa kuatnya ISIS, sehingga tentara nasional plus pasukan sukarelawan pun masih kurang.
Lalu, apa yang dilakukan lelaki itu? Dia datang ke istana Kremlin, menemui Vladimir Putin, seseorang yang bisa diharapkan untuk mau bergabung dalam perang ini. Di sebuah buku, diceritakan begini [saya edit sedikit menyamarkan nama]:
Sebelum Putin sampai, waktu shalat tiba. Lelaki itu pun bangkit, lalu mengumandangkan azan, dan ikamah. Suaranya terdengar di seluruh ruangan, kemudian ia pun melaksanakan shalat di sana. Semua orang memperhatikannya. Lelaki itu mengaku tidak pernah merasakan shalat senikmat itu. Di akhir shalat ia meletakkan dahinya ke tanah dan bermunajat kepada Tuhannya, “Ya Allah, inilah kemuliaan-Mu, suatu hari [dulu] di Gedung Kremlin ini disusun rencana untuk menghancurkan Islam [era Soviet], sekarang aku, datang ke sini mendirikan shalat.”
Singkat cerita, Putin bersedia bergabung. Karena dia tahu, jika ISIS tidak ditumpas, cepat atau lambat, ISIS akan angkat senjata di jalanan Moskow.
Perang pun dimulai. Rusia membombardir dari udara. Tentara nasional Irak dan Suriah, serta milisi sukarelawan di bawah koordinasi lelaki itu, bahu-membahu melakukan serangan darat. Sangat banyak yang gugur syahid.
Kata ‘syahid’ dan ‘jihad’ yang sering jadi ‘maskot’ para teroris, yang sering diklaim untuk diri mereka, kini menemukan makna yang tepat. Para tentara nasional dan milisi sukarelawan yang melepas nyawa demi membela tanah air, itulah para syuhada sejati. Itulah jihad yang sejati, jihad, bersungguh-sungguh, bekerja keras, melindungi tanah air, dengan berbagai upaya. Kalau di medan perang, ya jihadnya dengan senjata. Di negara yang damai seperti Indonesia, jihadnya adalah dengan ilmu, kejujuran, kasih sayang kepada sesama anak bangsa, dll.
Tahun 2017, kekhalifahan ISIS pun runtuh. AS mengklaimnya sebagai keberhasilan mereka. Padahal selama perang, berkali-kali AS “salah tembak”, yang dibombardir bukan ISIS; tapi justru pasukan yang sedang melawan ISIS. Ya, sejak 2014, militer AS juga datang ke Irak dengan alasan melawan ISIS, tapi peran mereka lebih sering seolah ‘angkatan udaranya ISIS.’ Ketika ISIS sudah nyaris kalah, barulah mereka ambil kesempatan, mengklaim sudah mengalahkan ISIS. Selanjutnya, muncul laporan-laporan bahwa helikopter-helikopter AS telah menerbangkan milisi ISIS ke Afghanistan.
Tapi, tentu saja rakyat dan pemerintah Suriah dan Irak tahu, siapa sebenarnya yang berperan sangat penting dalam perjuangan melindungi tanah air mereka. Pagi tanggal 3 Januari 2020, si lelaki datang lagi ke Irak, kali ini dalam status sebagai utusan negara Iran, yang diundang resmi oleh Perdana Menteri Irak. Dalam hukum internasional, ada konvensi yang melindungi para utusan diplomatik, haram hukumnya mengganggu dan melukai mereka, apalagi sampai membunuh.
Tapi hukum internasional telah dilanggar oleh AS. Tubuh si lelaki itu dan delegasi yang mengawalnya luluh-lantak dibom, bom yang dikirim oleh drone AS, atas instruksi Presiden AS (diakui oleh Trump secara terbuka).
Namun di atas semua itu, ada satu hal yang tak terduga oleh AS dan Israel: dampak kematian si lelaki ini. Ada beberapa aksi pembalasan clandestine yang sudah terjadi, namun tentu saja ditutup-tutupi oleh AS & Israel. Kubu resistensi semakin menguat, AS & Israel serta negara-negara Arab sekutu mereka sedang kelabakan mencari solusi. Terlalu panjang kalau diceritakan di sini. Yang jelas, sedang terjadi pergeseran geopolitik yang signifikan.
Lelaki itu sudah pergi dengan bahagia, tetapi musuh-musuhnya masih ketakutan. Itulah sebabnya, bahkan konten tentang dia di medsos pun diblokir. Bila akun ini pun hilang, saya sudah menyiapkan akun cadangan dengan nama Dina Y Sulaeman-2. (*Pengamat Timur Tengah)