Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Barat modern telah memilih materialisme sebagai pandangan dunia dan kapitalisme sebagai ideologi serta pragmatisme sebagai sistem nilai, positivisme dan saintisme sebagai paradigma epistemologi dan pedagogi.
Karena itu, Barat memberlakukan sistem pendidikan modern yang berbasis positivisme dan empirisme yang disebut sains yang menghasilkan teknologi.
Karena menganggap modernitas sebagai simbol kemajuan, dan masyarakat Barat sebagai masyarakat maju berkat sains dan teknologi, masyarakat Timur memandang dunia Barat sentra peradaban modern.
Karena menganggap Barat sebagai sentra peradaban yang berhasil menciptakan masyarakat sejahtera dan maju berkat sistem pendidikan modern, masyarakat Timur berlomba menirunya demi memenuhi mendapatkan pengakuannya.
Atas dasar itu, dirikankah banyak institusi penyelenggara pendidikan berdasarkan paradigma dan sistem pendidikan Barat modern di dunia Timur.
Dalam sistem pendidikan akademik modern yang berkiblat ke Barat setiap peserta didik agar dinyatakan lulus dan sah menjadi sarjana diwajibkan mengikuti prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh otoritas pendidikan.
Salah satu syarat memperoleh sertifikat kompetensi adalah menulis tulisan yang disebut karya ilmiah yang akan diterima bila telah dinilai sesuai standar dan kriteria ilmiah.
Mahasiswa dijejali doktrin bahwa karya ilmiah adalah pandangan-pandangan di dalamnya didukung atau bersandar pada pandangan lain yang dianggap ilmiah yang telah dikemukakan oleh tokoh ternama.
Skripsi, tesis dan disertasi yang padat dengan referensi lebih mudah diluluskan dan mendapatkan predikat sangat memuaskan. Syarat ini juga berlaku atas artikel yang akan dimuat dalam jurnal ilmiah terkemuka sebagai penyempurna syarat kelulusan seorang doktor berdasarkan ketentuan rezim akademi moder
Dengan kata lain, sebuah pandangan hanya bisa diterima bila punya sandaran pandangan lain yang bermuara kepada pemikiran Barat. Tanpa ragam rujukan yang dianggap kredibel dan nama tokoh yang dikenal luas sebagai pakar di ekor setiap paragraf, ratusan halaman yang boleh jadi memuat pandangan-pandangan orisinal tak akan dianggap sebagai karya ilmiah oleh rezim sains dan pendidikan.
Doktrin ini bermasalah karena beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, ilmiah adalah frasa yang sudah dimonopoli oleh sains dan ilmu empiris dan positif. Ilmiah dalam konteks ini adalah sesuatu yang bersifat saintifik. Padahal sesuatu dianggap ilmiah belum tentu ilmiah secara empiris, dan sesuatu yang ilmiah secara empiris belum ilmiah secara rasional (dalam pengertian luas).
Kedua, bila sesuatu baru dianggap ilmiah karena didasarkan pada pandangan lain sebelumnya, maka ketentuan yang sama berlaku atas pandangan yang dijadikan rujukan itu. Itu artinya, parameter validitas dan kebenarannya bukan akurasi pandangan yang dikemukakan, juga bukan pandangan yang jadi rujukannya.
Ketiga, pandangan lain dijadikan sandaran bagi sebuah pandangan didasarkan pada dua kemungkinan, a) subjek pandangannya, b) ketokohan nama di balik pandangannya. Bila dijadikan sandaran karena pandangannya, keilmiahannya ditentukan oleh pandangan sebelumnya, yang juga didasarkan pada pandangan sebelumnya dan begitulah seterusnya dalam regresi. Bila dijadikan sandaran karena penyampainya, maka ia justru tidak ilmiah sama sekali karena tidak didukung atau tidak disandarkan pandangan lain. Bila setiap pandangan harus didasarkan pada pandangan lain yang mendukungnya, maka peluang melahirkan pandangan orisinal tertutup karena tak memenuhi standar ilmiah rezim sain dan akademi.
Keempat, pada dasarnya yang kerap disebut ilmiah (baca: empiris) tidak benar-benar empiris dan tetap memerlukan justifikasi rasional murni (yang dianggap tidak ilmiah), karena ia sebuah teori hanya bisa dipastikan empiris bagi yang mengalami atau melakukan percobaan terhadapnya.
Kelima, dalam logika deduktif, kebenaran (keilmiahan) sebuah premis (pandangan, teori) ditentukan oleh koherensi dan korespondensi, bukan ditentukan adanya pandangan lain yang menjadi referensinya atau tokoh terkemuka yang menjustifikasinya.
Keenam, dalam filsafat metafisika Hikmah Mutaaliyah Sadra dan IIsyraqiyah Suhrawardi, kebenaran ditentukan oleh eksistensinya yang bersemayam di balik setiap pikiran. Bila tak lagi bersandar dan tak punya mengapa, apa dasarnya, maka itulah dasarnya. Pengetahuan biang adalah dasar dan juri tunggal kebenaran. Bila sebuah pandangan meski tanpa rujukan pandangan bisa divalidasi secara langsung pada materi dan forma proposisi, maka ia valid meski tak dianggap ilmiah oleh rezim footnote.
Ketujuh, akibat ketentuan harus mengutip pandangan lain sebagai rujukan dan pendukung, kreasi intelektual dengan pikiran-pikiran organik terhambat dan plagiarsi eksplisit dan implisit kerap terjadi yang justru menyuburkan tumbuhnya ilmuwan intektual dan akademisi palsu.
Kedelapan, dominasi saintisme dan positivisme sejak Renaissance dan Aufklarung telah mematikan epistemologi rasional murni yang secara tidak langsung mengeluarkan filsafat dari lingkaran ilmu dan meringkus matematika murni dalam penjara apa yang dulu disebut ilmu eksakta dan fisika dengan calculus probabilty yang ternyata lebih heboh dengan ramalan-ramalan ketimbang fakta-fakta empiris.
Kesembilan, sebagai dampak dari penjajahan metodologi ini, filsafat sebagai pengetahuan universal dan integral yang semula merupakan polar tandingan sains, dibonsai dan dimutilasi menjadi batangan-batangan bidang partikular yang harus “ilmiah” seperti filsafat hukum, filsafat politik dan mungkin kelak akan lahir filsafat kimia, peternakan dan sebagainya.
Kesepuluh, nasib yang lebih tragis menimpa ilmu-ilmu agama yang, karena latah dengan modernisasi pendidikan tradisional dan fomalisasi seminari, dimasukkan secara paksa dalam humaniora dan rumpun ilmu sosial yang positivistik.
Akhirnya, transfer pengetahuan dan alih teknologi hanyalah jargon omong kosong. Yang justru terjadi adalah kolonialisasi pandangan dunia materialisme atas nama sains, ideologi kapitalisme atas nama pasar bebas, paradigma eksistensialisme atas nama free will, sistem nilai pragmatisme dan gaya hidup borjuisme dan individualisme yang menghambat kreasi intelektual dan kemandirian bangsa-bangsa di dunia Timur yang mayoritasnya beragama Islam dalam pelbagai bidang. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)