Search

Kolonialisme Para Pemukim di Tanah Palestina Dibangun Melalui Mitos

BERITAALTERNATIF.COM – Israel mengklaim bahwa mereka tidak melakukan kolonialisme terhadap Palestina. Mereka menganggap perampasan atas tanah Palestina sebagai gerakan pembebasan nasional liberal.

Usaha membangun citra bahwa gerakan tersebut bukan kolonialisme tentu saja beralasan. Apabila Israel mengakui perampasan tanah Palestina sebagai bagian dari penjajahan, maka perlawanan rakyat Palestina akan dinilai sah karena melawan penjajah.

Namun, ketika mereka mengklaim perampasan tanah itu sebagai gerakan liberal, maka orang-orang Palestina yang sedang berjuang mempertahankan hak-hak mereka akan disebut sebagai teroris.

Advertisements

Akademisi dari Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi menjelaskan, Israel sejatinya melakukan kolonialisme para pemukim (settler colonialism).

Settler colonialism merupakan bentuk kolonialisme yang berlangsung ketika suatu kelompok mencari wilayah baru untuk bermukim, yang disertai dengan berbagai usaha pengusiran terhadap penduduk yang tinggal terlebih dahulu di wilayah tersebut.

Kolonialisme para pemukim sejatinya sudah banyak terjadi dalam sejarah dunia. Salah satu bentuk penjajahan ini berlangsung di Amerika Serikat (AS), Australia, New Zealand, Afrika Selatan, dan Palestina.

Ia menyebutkan, settler colonialism di Palestina sudah terjadi sejak 1948. Hal ini justru menimpa Palestina saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dibentuk, di mana negara-negara diharuskan membangun komunikasi dan hubungan yang bermartabat, modern, serta beradab.

Kolonialisme para pemukim, lanjut dia, bertujuan mencari tanah air setelah mereka tidak diakui keberadaannya di negara sebelumnya. Penjajahan dalam bentuk ini sering kali dilakukan disertai pengusiran terhadap “warga asli”.

Dalam settler colonialism, mereka membentuk tanah air baru yang terpisah dengan negara induknya. Kemudian, mereka membangun negara baru dengan cara menghancurkan dan mengusir pemukim yang telah lama berdiam di negara tersebut.

Mereka melakukan pengusiran disertai pembentukan stigma bahwa pemukim asli tidak manusiawi dibandingkan warga yang menjadi pelaku settler colonialism.

Dalam kasus Israel-Palestina, tokoh-tokoh Zionis menilai bangsa Palestina sebagai bangsa yang malas, kurang beradab, dan tidak bisa mengelola tanah Palestina dengan baik dibandingkan pemukim Zionis.

“Melalui logika-logika seperti itulah settler colonialism itu bekerja,” jelas Airlangga sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari kanal YouTube Dina Sulaeman, Jumat (10/6/2022) siang.

Pembentukan mitos-mitos terkait Palestina, seperti bangsa pemalas dan tidak beradab, merupakan hegemoni dan ideologisasi agar masyarakat dunia menganggap sah keberadaan Israel di tanah Palestina.

Klaim berupa bangsa Palestina tidak mampu mengelola negaranya secara mandiri juga kerap didengungkan para pemimpin negara-negara yang menjadi pendukung Israel. “Sehingga mereka dianggap tidak pantas memiliki tanah air Palestina,” jelasnya.

Padahal, bila dilihat dari sejarah yang ditulis oleh para sejarawan dunia, bangunan kebangsaan Palestina telah dibangun sejak abad ke-19. Mereka mampu membangun persatuan di antara banyak perbedaan di Palestina.

Negosiasi antara Inggris dan tokoh-tokoh Palestina pada 1930 pun menunjukkan hal tersebut. Perundingan saat pembagian wilayah yang dihadiri para elite itu memperlihatkan bahwa bangunan kebangsaan yang beradab telah terbentuk di Palestina.

“Jadi, itu sudah terbantahkan dengan sendirinya bahwa konsep Palestina itu tidak memiliki bangsa ketika Inggris itu melakukan komunikasi dan deal dengan komunitas dan elit-elit Palestina, yang mana mereka mendiskusikan masa depan Palestina,” tegasnya. (*)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA