Beritaalternatif.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) mengaku telah menerima surat aduan dari Syamsu Arjaman atau Tikong, warga Desa Sungai Payang, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Pengaduan yang disampaikan pada 28 Oktober 2021 itu pada pokoknya berbentuk permintaan dari Tikong yang meminta perlindungan hukum sehubungan dengan dugaan kriminalisasi yang dialaminya. Kriminalisasi itu sebagai dampak permasalahan lahan dengan PT Multi Harapan Utama (MHU).
Dalam keterangannya kepada Komnas HAM RI, Tikong menyampaikan kronologi kasus yang dialaminya. Ia memiliki sebidang tanah seluas 34.300 meter persegi di Dusun Sentuk, Desa Sungai Payang.
Tikong memperoleh lahan tersebut berdasarkan pelimpahan hak atas tanah dari Asmuni pada 25 Januari 2008. Sementara Asmuni telah menguasai lahan itu secara mandiri sejak 1986.
Pada Maret 2021, PT MHU melakukan land clearing di atas lahan milik Tikong untuk kepentingan aktivitas pertambangan. Atas dasar itu, ia melayangkan somasi pada 29 Maret 2021 kepada PT MHU.
Somasi yang dilayangkannya tak mendapatkan respons dari perusahaan pertambangan tersebut. PT MHU justru kembali melakukan land clearing pada 6 April 2021 di atas lahan Tikong.
Akibatnya, tak hanya lahan yang rusak, tapi juga tanam tumbuh di atasnya, yang antara lain sengon sebanyak 400 pohon serta buah-buahan seperti kuini dan jeruk bali.
Karena somasi yang dilayangkannya tidak ditanggapi oleh manajemen PT MHU, sementara land clearing terus berlangsung di atas lahan tersebut, Tikong berupaya mempertahankan hak atas tanahnya dengan menghentikan kegiatan land clearing.
“Akibatnya, pengadu didatangi oleh Kanit Intel Polsek Loa Kulu dan preman/ormas yang dibayar oleh PT MHU maupun anggota TNI yang ada di lokasi,” bunyi surat Komnas HAM RI sebagaimana dikutip beritaalternatif.com pada Rabu (25/5/2022) pagi.
Jadi Tersangka tanpa Pemeriksaan
Dalam surat yang ditandatangani Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI M. Choirul Anam itu diterangkan bahwa pada 25 April 2021, Tikong dan 2 orang anggota keluarganya bermaksud bermalam di lahan miliknya. Namun, pada pukul 17.30 Wita, ia didatangi oleh Kanit Intel Polsek Loa Kulu beserta Cip Security dan Security PT MKI.
Mereka meminta Tikong mengeluarkan alat berat yang “terkurung” di atas lahannya. Kemudian, Tikong mengaku akan mengeluarkan alat berat tersebut apabila ada pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lahan dan tanamannya.
Keesokan harinya, yakni pada 26 April 2021, Tikong kembali didatangi oleh sekelompok anggota Ormas yang meminta alat berat di lahannya dikeluarkan. Setelah terjadi perdebatan yang alot, anggota Ormas itu kemudian membubarkan diri.
Tak berselang lama, Tikong didatangi anggota Polres Kukar serta Kabag Ops Polres Kukar yang intinya memintanya mengeluarkan alat berat dari lahannya serta tidak menghalangi kegiatan perusahaan maupun aktivitas pertambangan.
Saat itu, Kabag Ops Polres Kukar juga mengajak Tikong untuk datang ke Polres Kukar guna melaporkan peristiwa yang dialaminya.
Sesampai di Polres Kukar, Tikong justru mendapat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) berdasarkan laporan PT MHU. Sementara sejak laporan tersebut dilayangkan, Tikong tidak pernah mendapatkan pemanggilan dari Polres Kukar.
Saat ini, Tikong berstatus sebagai tersangka. Padahal, ia menilai bahwa tindakannya merupakan upaya mempertahankan hak atas lahannya dari tindakan land clearing PT MHU, yang mengakibatkan kerusakan lahan beserta tanam tumbuh di atasnya.
Karena itu, Komnas HAM menduga tindakan tersebut telah melanggar Pasal 135, 136, dan 137 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Enam Permintaan kepada Polda Kaltim
Menanggapi laporan Tikong, sesuai tugas dan kewenangan pemantauan yang diatur dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM RI melayangkan sejumlah permintaan kepada Polda Kaltim.
Pertama, memberikan keterangan dan dokumen pendukung terkait peristiwa yang dialami Tikong, termasuk proses hukum yang tengah dijalaninya di Polres Kukar.
Kedua, memberikan keterangan dan dokumen pendukung terkait kelengkapan administrasi penyelidikan/penyidikan terhadap Tikong. Pasalnya, awalnya ia diminta datang ke Polres Kukar untuk membuat laporan. Namun, kenyataannya dia langsung di-BAP dan ditetapkan sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu dilakukan pemanggilan dan/atau pemeriksaan.
Ketiga, Polda diminta melakukan pengawasan terhadap penanganan kasus tersebut, sehingga berjalan secara obyektif, imparsial serta bebas dari intervensi, keberpihakan maupun memfasilitasi impunitas terhadap PT MHU, yang diduga merampas dan/atau merusak lahan Tikong, termasuk memastikannya mendapatkan akses keadilan dengan tidak ditolak/didiamkan laporannya (undue delay).
Keempat, melakukan pemeriksaan terhadap oknum anggota Polres Kukar maupun Polsek Loa Kulu yang mendatangi Tikong pada 25-26 April 2021. Pemeriksaan ini bertujuan memastikan tidak ada pelanggaran kode etik dan/atau disiplin yang dilakukan anggota kepolisian tersebut, khususnya yang berkaitan dengan dugaan mengamankan aksi-aksi perampasan lahan.
“Dalam hal ini terjadi dugaan pelanggaran kode etik dan/atau disiplin untuk segera dilakukan tindakan dan pembinaan sesuai ketentuan yang berlaku,” pinta Komnas HAM.
Kelima, memastikan mekanisme pencegahan kriminalisasi, kekerasan maupun intimidasi bagi masyarakat yang terdampak aktivitas pertambangan PT MHU.
“Kepolisian diharapkan melihat kasus tidak hanya diletakkan dalam perspektif yuridis normatif semata, tetapi aspek sosiologis yang merupakan variabel terdampak tidak boleh dikesampingkan,” tulis Komnas HAM.
Keenam, memberikan informasi perkembangkan atas situasi maupun upaya penanganan yang dilakukan secara berkala kepada Komnas HAM RI sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas polisi dalam menangani kasus tersebut.
“Keterangan tersebut diperlukan sebagai tindak lanjut aduan ini dalam rangka penegakan dan perlindungan HAM. Untuk itu, kami meminta keterangan tersebut disampaikan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat ini dengan mencantumkan nomor surat ini dan nomor agenda: 139345,” pinta Komnas HAM.
Komnas HAM RI menegaskan, kriminalisasi tergolong sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM dan hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan keamanan pribadi; tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang; tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
“Jaminan perlindungan kepada tiap warga negara telah diatur dalam UUD 1945 yang kemudian dipertegas lagi dalam UU No. 39 Tahun 1999,” tegas Komnas HAM. (*)