Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Seorang wanita Iran, Mahsa Amini, mengalami serangan jantung saat mendapatkan penyuluhan dan bimbingan petugas penegak hukum terkait peraturan negara tentang kewajiban memakai jilbab. Banyak media mainstream secara tendensius mem-blow up berita itu dan melukiskan kematian tersebut sebagai akibat kekerasan dan pemaksaan aparat Iran terhadap perempuan.
Banyak orang, terutama para aktivis pembela hak perempuan, mengkritik Pemerintah Iran karena dianggap membatasi hak sipil dan mengekang kebebasan perempuan terkait peraturan wajib memakai jilbab.
Mungkin kritik itu didasarkan pada presumsi pemaksaan hukum agama. Karena itu, ada baiknya mengintip posisi hukum agama dan hukum negara dalam konteks konstitusi Republik Islam Iran, termasuk posisi pemakaian jilbab.
Hukum agama kewajiban atas muslimah mengenakan jilbab bisa diterapkan sebagai peraturan yang mengikat bila didasarkan atas asas kontrak sosial atau kesepakatan melalui referendum maupun mekanisme lainnya yang menjustifikasi otorisasi kepada pihak tertentu dalam institusi pemerintahan atau perusahaan. Bila warga wanita atau karyawati melanggar peraturan pemerintah atau perusahaan yang diterimanya tentang kewajiban memakai jilbab, maka pihak pemegang otoritas selaku pelaksana peraturan dalam negara atau perusahaan berhak bahkan wajib menindak dan menjatuhkan sanksi sesuai peraturan yang ditetapkan.
Bila kewajiban memakai jilbab ditetapkan sebagai peraturan sebuah pemerintahan, yang diterima sebagai konsekuensi kontrak sosial, maka setiap warga, muslimah maupun non-muslimah wajib mematuhinya. Bila kewajiban memakai jilbab ditetapkan sebagai peraturan sebuah perusahaan, sebagai konsekuensi syarat penerimaan, maka setiap karyawati, muslimah maupun non-muslimah wajib mematuhinya.
Di Iran, yang menganut sistem teodemokrasi sebagai produk referendum, tidak memakai jilbab secara utuh dan tidak memakai jilbab sama sekali bukan lagi pelanggaran terhadap hukum agama, tapi pelanggaran terhadap hukum negara. Memakai jilbab bagi wanita yang berada dalam wilayah Iran, termasuk menteri luar negeri perempuan negara asing yang berkunjung ke Iran tak berbeda kewajiban mempunyai SIM bagi pengendara mobil atau sepeda motor, warga negara maupun turis asing yang berada di wilayah Indonesia.
Dari pengalaman empiris berada Tehran selama 5 hari beberapa pekan lalu, terlihat peraturan wajib berjilbab bagi perempuan tidak diterapkan secara ketat. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah mulai merespons tuntutan pelonggaran dalam penerapan peraturan itu.
Terlepas dari kontroversi ini, jilbab telah dimainkan sebagai isu politik demi menciptakan destabilisasi domestik melengkapi isu hegemoni Persia untuk dunia Arab, isu ekspansi Syiah untuk dunia Islam dan isu senjata nuklir untuk dunia internasional. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)