Search
Search
Close this search box.

Karier, Prestasi, dan Kontroversi Ahok di Jagat Politik Indonesia

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Basuki Tjahaja Purnama, lebih dikenal dengan panggilan Ahok atau BTP, adalah pengusaha dan politikus keturunan Tionghoa-Indonesia yang menjabat Komisaris Utama PT Pertamina sejak 25 November 2019. Ia merupakan kakak kandung dari Basuri Tjahaja Purnama (Bupati Belitung Timur periode 2010-2015). Di dunia politik, ia tergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang terdaftar sebagai anggota sejak 8 Februari 2019.

Basuki memulai karier politiknya dengan bergabung dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru pada 2003, lalu mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan berhasil memenangkan kursi.

Pada Pilkada Belitung Timur 2005, ia diusung sebagai calon Bupati Belitung Timur didampingi oleh Khairul Effendi dan berhasil memenangkan pemilihan dengan perolehan suara 37,13%. Karier politiknya cukup gemilang hingga kemudian maju sebagai calon Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dengan dukungan penuh dari mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid. Namun, sayangnya ia kalah telak dari pasangan calon Eko Maulana Ali-Syamsuddin Basari.

Advertisements

Partai Golongan Karya (Golkar) menjadi wadah politik baru bagi Basuki untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk daerah pemilihan Kepulauan Bangka Belitung pada Pemilu Legislatif 2009. Alhasil, ia memperoleh 119.232 suara, sehingga dapat menduduki kursi legislatif dan duduk sebagai anggota Komisi II.

Pada Pilgub DKI Jakarta 2012, ia digandeng oleh Joko Widodo (Wali Kota Surakarta) untuk menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dengan diusung oleh PDI-P dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Ketika pencalonannya, ia berpindah partai ke Partai Gerindra. Tak disangka-sangka, perjuangannya tersebut membuahkan hasil dengan persentase 53,82% suara dan dilantik secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Oktober 2012.

Pada 1 Juni 2014, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengambil cuti panjang untuk menjadi calon presiden dalam Pemilu Presiden 2014, maka Basuki resmi diangkat menjadi Pelaksana Tugas Gubernur. Setelah terpilih dalam Pemilu Presiden 2014, Joko Widodo resmi mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober 2014. Secara otomatis, ia menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta.

Nama Basuki mulai dikenal luas oleh masyarakat setelah dirinya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dilantik pada 19 November 2014 di Istana Negara berdasarkan hasil rapat paripurna istimewa di Gedung DPRD DKI Jakarta yang dilaksanakan pada 14 November 2014 setelah diangkat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur sejak 16 Oktober 2014 hingga 19 November 2014 menggantikan Joko Widodo yang menjadi Presiden Indonesia.

Dengan demikian, ia menjadi warga negara Indonesia dari etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen Protestan pertama yang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta pernah dijabat oleh pemeluk agama Katolik, yaitu Henk Ngantung (Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965).

Pada 10 September 2014, Basuki memutuskan keluar dari Partai Gerindra karena perbedaan pendapat pada RUU Pilkada. Partai Gerindra mendukung RUU Pilkada, sedangkan Basuki dan beberapa kepala daerah lain memilih untuk menolak RUU Pilkada karena terkesan “membunuh” sistem demokrasi di Indonesia. Hal ini membuat dirinya kehilangan dukungan dari Partai Gerindra.

Selanjutnya, ia secara otomatis menjadi politikus independen. Bahkan untuk kembali maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 sempat berencana mencalonkan diri sebagai calon independen, akan tetapi pada akhirnya ia memutuskan maju dengan koalisi partai politik.

Ia mencalonkan diri sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dengan didampingi oleh Djarot Saiful Hidayat dari  PDI-P. Tak hanya PDI-P, pasangan calon tersebut diusung pula oleh Golkar, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), serta didukung oleh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Pada putaran kedua, ia bertambah dukungan setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bergabung dalam koalisi. Usai melewati pertarungan yang ketat, sayangnya Basuki-Djarot dikalahkan oleh pasangan calon Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan selisih persentase 15,92% suara.

Pasca mengalami kekalahan dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, ia justru mengalami nasib yang kurang beruntung. Seiring dengan pernyataannya terkait kasus “penodaan agama” yang menuai kontroversial hingga dilakukan Aksi Bela Islam yang dinakhodai oleh Front Pembela Islam pimpinan Muhammad Rizieq Shihab.

Pada 9 Mei 2017, ia divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada 24 Januari 2019, ia telah dibebaskan dari penjara.

Pada 22 November 2019, Basuki resmi ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina.

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Ahok adalah putra pertama dari almarhum Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan Buniarti Ningsih (Boen Nen Tjauw). Ia lahir di Belitung Timur, Bangka Belitung pada 29 Juni 1966. Basuki memiliki empat orang adik, yaitu Basuri Tjahaja Purnama (dokter PNS dan mantan Bupati di Kabupaten Belitung Timur), Fifi Lety Indra (praktisi hukum), Harry Basuki (praktisi dan konsultan bidang pariwisata dan perhotelan), dan Basu Panca Fransetio yang meninggal dunia di usia remaja. Keluarganya adalah keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka (Kejia).

Masa kecil Basuki lebih banyak dihabiskan di Desa Gantung, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, hingga selesai menamatkan pendidikan sekolah menengah tingkat pertama. Setamat dari sekolah menengah pertama, ia melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Di Jakarta, Basuki menimba ilmu di Universitas Trisakti dengan jurusan Teknik Geologi di Fakultas Teknik Mineral. Selama menempuh pendidikan di Jakarta, Ahok diurus oleh seorang wanita Bugis beragama Islam yang bernama Misribu Andi Baso Amier binti Acca. Setelah lulus dengan gelar Insinyur Geologi, Basuki kembali ke Belitung dan mendirikan CV Panda yang bergerak di bidang kontraktor pertambangan PT Timah pada tahun 1989.

Basuki menikah dengan Veronica Tan, kelahiran Medan, Sumatera Utara, dan dikaruniai 3 orang putra-putri bernama Nicholas Sean Purnama, Nathania Berniece Zhong, dan Daud Albeenner Purnama. Basuki menceraikannya pada tahun 2018, ia mendapatkan hak asuh anak kedua dan ketiga.

Pasca bercerai dari Veronica, Basuki menikah dengan mantan ajudan Veronica Tan, yakni Puput Nastiti Devi pada tahun 2019. Pasangan ini dikaruniai seorang putra bernama Yosafat Abimanyu Purnama yang lahir pada 6 Januari 2020.

Nama panggilan “Ahok” berasal dari ayahnya. Mendiang Indra Tjahaja Purnama ingin Basuki menjadi seseorang yang sukses dan memberikan panggilan khusus baginya, yakni “Banhok”. Kata “Ban” sendiri berarti puluhan ribu, sementara “Hok” memiliki arti belajar. Bila digabungkan, keduanya bermakna “belajar di segala bidang.” Lama kelamaan, panggilan Banhok berubah menjadi Ahok.

Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, Basuki melanjutkan studinya di jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Trisakti dan mendapatkan gelar Insinyur pada tahun 1990. Basuki menyelesaikan pendidikan magister pada tahun 1994 dengan gelar Master Manajemen di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya.

Karier Bisnis dan Politik

Pada tahun 1992 Basuki mengawali kiprahnya di dunia bisnis sebagai Direktur PT Nurindra Ekapersada sebagai persiapan membangun pabrik Gravel Pack Sand (GPS) pada tahun 1995. Pada tahun 1995, Basuki memutuskan berhenti bekerja di PT Simaxindo Primadaya. Ia kemudian mendirikan pabrik di Dusun Burung Mandi, Desa Mengkubang, Kecamatan Manggar, Belitung Timur. Pabrik pengolahan pasir kuarsa tersebut adalah yang pertama dibangun di Pulau Belitung, dan memanfaatkan teknologi Amerika dan Jerman. Lokasi pembangunan pabrik ini adalah cikal bakal tumbuhnya kawasan industri dan pelabuhan samudra, dengan nama Kawasan Industri Air Kelik (KIAK).

Pada akhir tahun 2004, seorang investor Korea berhasil diyakinkan untuk membangun Tin Smelter (pengolahan dan pemurnian bijih timah) di KIAK. Investor asing tersebut tertarik dengan konsep yang disepakati untuk menyediakan fasilitas kompleks pabrik maupun pergudangan lengkap dengan pelabuhan bertaraf internasional di KIAK.

Pada tahun 2004 Basuki terjun ke dunia politik dan bergabung di bawah bendera Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB) sebagai ketua DPC Partai PIB Kabupaten Belitung Timur. Pada pemilu 2004 ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009. Partai PIB adalah partai politik yang didirikan oleh Alm. Sjahrir.

Pada Pilkada Kabupaten Belitung Timur tahun 2005, Basuki berpasangan dengan Khairul Effendi dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), ikut sebagai calon Bupati-Wakil Bupati Belitung Timur periode 2005-2010. Dengan mengantongi suara 37,13 persen, pasangan ini terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Belitung Timur definitif pertama. Pasangan Basuki-Khairul ini unggul di Kabupaten Belitung Timur yang menjadi lumbung suara Partai Bulan Bintang (PBB) pada pemilu legislatif tahun 2004.

Basuki kemudian mengajukan pengunduran dirinya pada 11 Desember 2006 untuk maju dalam Pilgub Bangka Belitung 2007. Pada 22 Desember 2006, ia resmi menyerahkan jabatannya kepada wakilnya, Khairul Effendi.

Di Pilkada Gubernur Bangka Belitung tahun 2007, Basuki mengambil bagian menjadi kandidat calon Gubernur. Presiden RI Ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung Basuki untuk menjadi Gubernur Bangka Belitung dan ikut berkampanye untuknya. Gus Dur menyatakan bahwa “Ahok sudah melaksanakan program terbaik ketika memimpin Kabupaten Belitung Timur dengan membebaskan biaya kesehatan kepada seluruh warganya”. Namun dalam pemilihan tersebut ia dikalahkan oleh rivalnya, Eko Maulana Ali. Pada 2008, ia menulis buku biografi berjudul “Mengubah Indonesia“.

Pada tahun 2009, Basuki mencalonkan diri dan terpilih menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Bangka Belitung mewakili Partai Golongan Karya. Ia sukses meraup 119.232 suara dan duduk di Komisi II.

Pada tahun 2011, ia membuat kontroversi setelah menyuarakan laporan dan keluhan masyarakat Bangka Belitung yang ditemuinya secara pribadi dalam masa reses. Laporan ini mengenai bahaya pencemaran lingkungan yang ditimbulkan kapal hisap dalam eksploitasi timah. Basuki dianggap menghina pengusaha dari Belitung dan dilaporkan ke Badan Kehormatan DPR oleh Front Pemuda Bangka Belitung (FPB). Ia menyayangkan aksi pelaporan ini karena tidak substansial dengan masalah yang ia bicarakan, yaitu pencemaran lingkungan. Dia juga termasuk salah satu anggota Komisi II sewaktu DPR membahas megaproyek E-KTP yang dikorupsi triliunan rupiah, namun hanya beberapa anggota DPR yang ditetapkan sebagai terdakwa untuk kasus ini.

Pada tahun 2010, ia telah menyuarakan pentingnya laporan kekayaan dan pembuktian terbalik bagi calon kepala daerah yang akan mengikuti proses Pilkada.

Basuki sesungguhnya telah berniat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta sejak tahun 2011 melalui jalur independen. Ia sempat berusaha mengumpulkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk bisa memenuhi persyaratan maju menjadi calon independen. Namun pada awal tahun 2012, ia mengaku pesimistis akan memenuhi syarat dukungan dan berpikir untuk menggunakan jalur melalui partai politik.

Pada akhirnya Basuki mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Joko Widodo dalam Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2012. Pasangan Jokowi-Basuki ini mendapat 1.847.157 (42,60%) suara pada putaran pertama, dan 2.472.130 (53,82%) suara pada putaran kedua, mengalahkan pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.

Selama kampanye Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014, Jokowi meletakkan posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Untuk mengisi posisi ini, Basuki mengisi posisi Pejabat (Plt) Gubernur hingga akhirnya Jokowi dilantik sebagai Presiden RI, yang mengharuskannya mundur dan Basuki resmi diangkat sebagai Gubernur sesuai Perpu Pilkada Nomor 1 Tahun 2014 pada 14 November 2014.

Pada pemilihan presiden tersebut, walaupun Ahok adalah Plt Gubernur dari Jokowi, namun ia mendukung Prabowo Subianto yang merupakan calon presiden lawan dari Jokowi. Bahkan, jika Prabowo menang dalam pemilihan tersebut, Ahok dijanjikan akan dijadikan Menteri Dalam Negeri Indonesia agar dia dapat melakukan reformasi anggaran di semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Selama menjadi Plt Gubernur, ia mewajibkan Gerakan Pungut Sampah Setiap Jumat Pagi, yang meminta 72 ribu PNS DKI di lingkungan Pemprov DKI, anak-anak sekolah di Jakarta, serta pegawai BUMD DKI untuk memungut sampah pada waktu yang ditentukan. Kebijakan ini rencananya bakal tertuang dalam Instruksi Gubernur. Ia juga mengubah sikapnya yang dengan keras menolak pemberian uang kerahiman bagi penyerobot lahan negara yang dulunya diatur dalam SK Gubernur yang telah dicabut, menjadi akan memberikan pemberian uang kerahiman sesuai dengan Perda yang akan diterbitkan. Basuki beralasan pemberian uang kerahiman akan mempermudah proses pemindahan penghuni lahan ilegal ke tempat yang lebih layak. Uang ini diberikan dengan syarat hanya bagi warga yang telah lama menghuni. Besar uang kerahiman ini adalah 25 persen dari NJOP.

Pada 14 November 2014, DPRD DKI Jakarta mengumumkan Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang telah menjadi Presiden Republik Indonesia. Setelah pengumuman ini, DPRD DKI Jakarta mengirimkan surat ke Kementerian Dalam Negeri agar Basuki dilantik menjadi Gubernur. Pengumuman ini dilakukan setelah mendapatkan berbagai tentangan, antara lain dari FPI dan sebagian anggota DPRD DKI Jakarta dari partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. FPI menolak pengangkatan Basuki dengan tiga dasar: (1) Basuki tidak beragama Islam, (2) perilaku Basuki dianggap arogan, kasar, dan tidak bermoral, (3) penolakan umat Islam Jakarta terhadap kepemimpinan Ahok.

Penolakan FPI terhadap Basuki telah berlangsung selama beberapa bulan dan berujung pada bentrokan yang terjadi pada 3 Oktober 2014. Saat itu, 200 orang massa FPI bentrok dengan petugas kepolisian di depan gedung Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Massa FPI melempar batu seukuran kepalan tangan ke arah polisi yang berjaga di sana, akibatnya 16 polisi terluka—dua di antaranya memar di bagian kepala dan dilarikan ke rumah sakit—dan empat pegawai DKI terkena lemparan batu. Massa FPI juga masuk ke dalam gedung DPRD dan mendorong barisan polisi yang dalam kondisi tidak siap dan tidak menggunakan peralatannya. Setelah berhasil dihalau oleh petugas kepolisian, massa FPI pindah ke depan Balai Kota di Jalan Merdeka Selatan.

Menanggapi demonstrasi yang diwarnai aksi pelemparan batu tersebut, Basuki mengirimkan surat rekomendasi pembubaran FPI kepada Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Dalam Negeri RI. Basuki meminta kepada kepolisian untuk menemukan dalang intelektual yang membuat massa bertindak anarkistis dalam unjuk rasa pada 3 Oktober 2014. Basuki berpendapatan bahwa meskipun berorganisasi merupakan hak setiap warga negara, FPI menyalahi undang-undang dengan berlaku anarkistis saat berdemonstrasi. Basuki memperkirakan bahwa aksi anarkistis tersebut direncanakan sebab ditemukan batu dan kotoran sapi yang sulit ditemui di tempat kejadian. Di pihak lain, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Muhamad Taufik memandang unjuk rasa yang berakhir ricuh terjadi karena kesalahan Basuki yang menjadi akar permasalahan utama kekesalan FPI.

Penolakan juga datang dari anggota DPRD DKI dari Koalisi Merah Putih. Beberapa anggota DPRD DKI dari KMP, yaitu Muhamad Taufik dari Fraksi Gerindra, Lulung Lunggana dari Fraksi PPP, Nasrullah dari Fraksi PKS, dan Maman Firmansyah dari Fraksi PPP, bahkan turut serta turun ke jalan dan berorasi bersama FPI dan meneriakkan seruan untuk melengserkan Ahok, meskipun beberapa hari sebelumnya FPI melakukan tindakan kekerasan terhadap anggota Kepolisian Republik Indonesia. Puncaknya, seluruh anggota DPRD DKI Jakarta dari Koalisi Merah Putih tidak menghadiri rapat paripurna istimewa DPRD tentang pengumuman Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 14 November 2014. Basuki akhirnya resmi dilantik sebagai Gubernur DKI oleh Presiden Jokowi pada 19 November 2014 di Istana Negara.

Pada 2015, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapati korupsi pembelian lahan 4,6 hektare RS Sumber Waras yang merugikan negara hingga Rp 170 miliar. Namun KPK enggan mendalami karena mengklaim belum menemukan “niat jahat”. Hal serupa terjadi dalam pembelian lahan di Cengkareng, Jakarta Barat, yang masih menjadi aset Pemprov DKI sendiri, yang diperkirakan menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp 600 miliar.

Sebagai gubernur, ia mewariskan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, Layanan Kesehatan Ketuk Pintu Layani dengan Hati, Pembenahan Trotoar, Pembangunan Rumah Sakit Umum Kecamatan tipe D, Jembatan Pedistrian Manggarai, Lenggang Jakarta, Penertiban Kalijodo, dan Relokasi Kampung Pulo.

Penghargaan dan Kontroversi

Basuki memperoleh penghargaan sebagai Tokoh Anti Korupsi dari unsur penyelenggara negara dari Gerakan Tiga Pilar Kemitraan, yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, KADIN dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, pada 1 Februari 2007. Ia dinilai berhasil menekan semangat korupsi pejabat pemerintah daerah, antara lain dengan tindakannya mengalihkan tunjangan bagi pejabat pemerintah untuk kepentingan rakyat, yaitu untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi masyarakat Belitung Timur. Ia juga terpilih menjadi salah seorang dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia, yang dipilih oleh Tempo.

Basuki kembali mendapat penghargaan anti korupsi dari Bung Hatta Anti Corruption Award, yang diterimanya pada 16 Oktober 2013. Ia mendapat penghargaan ini karena usahanya membuka laporan mata anggaran DKI Jakarta untuk dikaji ulang. Anugerah Seputar Indonesia (ASI) 2013 memberikannya gelar Tokoh Kontroversial.

Dalam kariernya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Basuki telah memicu berbagai macam kontroversi yang kebanyakan disebabkan oleh pernyataannya. Beberapa di antaranya adalah kontroversi lahan Rumah Sakit Sumber Waras, penertiban Kalijodo, tuduhan mencap warga sebagai “komunis”, penggunaan kata-kata kasar, dan pernyataannya terkait dengan “dibohongi pake surah Al-Maidah 51”, atau juga kasus “penodaan agama”, yang memicu tanggapan keras berupa rangkaian Aksi Bela Islam.

Kasus penodaan agama ini bermula dari sebuah potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada September 2016 yang tersebar di dunia maya. Ahok berkunjung ke Kepulauan Seribu untuk menyosialisasikan program budi daya ikan kerapu. Ahok menyitir ayat Alquran surat Al-Maidah ayat 51. Dari 40 menit durasi pidato Ahok, potongan video sepanjang 13 detik ini kemudian diperdebatkan.

Pada 9 Mei 2017, Basuki divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dipimpin oleh ketua majelis hakim, Dwiarso Budi Santiarto atas kasus penodaan agama.

Vonis atas Ahok ini mengundang keprihatinan sejumlah organisasi dunia atas kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Amnesti Internasional menyatakan bahwa putusan itu bisa merusak reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara toleran. Dewan HAM PBB untuk Kawasan Asia menyatakan prihatin atas hukuman penjara terhadap dugaan penistaan agama Islam. Dewan HAM ini juga menyerukan kepada Indonesia untuk mengkaji ulang pasal penistaan agama dalam UU Hukum Pidana. Delegasi Uni Eropa (UE) untuk Indonesia menyerukan pada pemerintah dan rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan tradisi toleransi dan pluralisme yang selama ini dikagumi dunia.

Kementerian Luar Negeri Amerika menyatakan meskipun menghormati institusi demokrasi Indonesia, Amerika menentang undang-undang penistaan agama di mana pun karena membahayakan kebebasan fundamental termasuk kebebasan beragama dan mengemukakan pendapat. Parlemen Belanda menyatakan hukuman terhadap Basuki sebagai ‘serangan langsung terhadap kebebasan’ dan upaya pembebasan Ahok diangkat dalam debat bersama Menteri Luar Negeri Bert Koenders.

Putusan majelis hakim yang menghukum Basuki mendapat reaksi simpatik dari hampir seluruh Indonesia, bahkan warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri seperti Belanda dan Kanada. Aksi tersebut antara lain dalam bentuk ribuan karangan bunga yang dikirimkan kepada Ahok dan ditempatkan di area parkir Balai Kota DKI Jakarta, aubade atau nyanyian pagi yang dipimpin oleh musikus Addie MS dengan menyanyikan lagu-lagu nasional di halaman Balai Kota DKI Jakarta, dan penyalaan seribu lilin yang dilakukan oleh simpatisan Ahok di berbagai kota di Indonesia, disertai dengan pengumpulan KTP sebagai dukungan untuk mengajukan penangguhan penahanan terhadap Ahok. Para simpatisan yang mengumpulkan KTP tersebut, termasuk Djarot Saiful Hidayat, bersedia menjamin, apabila Ahok dibebaskan, tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya, supaya Ahok dapat menyusun memori banding dan tetap dapat melaksanakan sisa tugasnya sebagai Gubernur DKI. (Sumber: Wikipedia)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA