BERITAALTERNATIF.COM – Rencana Presiden Joko Widodo memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bergerak di bidang keagamaan telah menuai beragam reaksi dan menimbulkan kontroversi.
Kebijakan ini memunculkan banyak pertanyaan mengenai arah kebijakan pemerintah dalam mengelola sektor pertambangan di Indonesia. Berikut adalah tujuh hal yang perlu diketahui mengenai kebijakan ini sebagaimana dilansir media dari Tempo.co pada Kamis (6/6/2024):
Pertama, kebijakan IUP tambang untuk ormas keagamaan. Presiden Jokowi telah menandatangani revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024. Dalam aturan baru ini, terdapat tambahan Pasal 83A yang memungkinkan ormas keagamaan untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang sebelumnya merupakan area eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
“Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan,” demikian bunyi ayat 1.
Kedua, mekanisme pemberian IUP tambang. Revisi PP Nomor 96 Tahun 2021 menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024 juga menghadirkan perubahan signifikan dalam proses pemberian izin tambang. Pemerintah menambahkan Pasal 83A yang mengatur bahwa WIUPK dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan, tanpa melalui proses lelang seperti yang diwajibkan dalam undang-undang sebelumnya.
Ketiga, kontradiksi dengan undang-undang. Kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang mengharuskan izin tambang diberikan melalui proses lelang. Pemerintah terpaksa merevisi PP untuk bisa memberikan konsesi kepada ormas tanpa lelang, yang dipandang sebagai tindakan berisiko besar.
Keempat, tujuan dan dalih kebijakan. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan adalah bentuk penghargaan atas jasa mereka dalam memerdekakan Indonesia.
Bahlil juga menyebut bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui optimalisasi organisasi keagamaan.
“Jadi, ya, mbok kita bijaksana. Kalau bukan kita yang memperhatikan organisasi gereja, Muhammadiyah, NU, terus siapa?” katanya.
Kelima, motivasi kebijakan: imbal jasa atau transaksi politik? Rencana pembagian IUP kepada ormas keagamaan ini mengundang kritik karena dianggap lebih sebagai langkah transaksional politik.
Tindakan ini dinilai sebagai cara Presiden Jokowi membayar utang politiknya kepada pihak-pihak yang mendukungnya, termasuk dalam pemilihan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang didukung oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Keenam, konflik kepentingan dan risiko lingkungan. Kebijakan ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyatakan bahwa pemberian izin usaha tambang kepada ormas yang tidak memiliki kapasitas dalam pengelolaan tambang berpotensi memperparah kerusakan lingkungan.
“Apalagi diberikan kepada institusi atau lembaga yang tidak memiliki kapasitas, interest untuk pengelolaan lingkungan dalam praktek bisnis mereka,” katanya.
Arie menegaskan bahwa kebijakan ini bisa menjadikan sumber daya alam sebagai alat transaksi untuk kepentingan politik, yang pada akhirnya akan mengutamakan profit dibanding keseimbangan lingkungan.
Ketujuh, pro dan kontra dalam pemerintah. Di dalam lingkaran pemerintah sendiri, kebijakan ini menuai pro dan kontra.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sempat menentang ide pemberian WIUPK tanpa proses lelang. Meskipun akhirnya revisi PP tetap dilakukan, perdebatan sengit terjadi antara Luhut dan Bahlil yang mendukung kebijakan ini.
“Pemberian kepada badan usaha swasta harus melalui lelang,” tulisnya. (*)
Editor: Ufqil Mubin