Oleh: Arif Sofyandi*
Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai pembebasan bersyarat terhadap 23 orang narapidana korupsi oleh Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) sangat intens di media-media nasional dan daerah. Bagaimana tidak, orang-orang yang melakukan kejahatan luar biasa diberikan kesempatan dengan mudah untuk bebas dengan dalih “pembebasan bersyarat”. Hal ini merupakan bukti bahwa terpidana korupsi di Indonesia sangat mudah untuk bebas dari penjara.
Sementara, praktek korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Pasalnya, praktek korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan terencana, sistematis, terorganisir dan merampok hak rakyat.
Drumble menyebutkan, “Is conduct—planned, systematized, and organized—that targets large numbers of individuals based on their actual or perceived membership in a particular group that has become selected as a target on discriminatory grounds.” Oleh karenanya, korupsi tidak boleh dianggap biasa, melainkan kejahatan yang sangat luar biasa.
Selain itu, United Nation on Trans National Organized Crime juga menyebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Secara yurudis, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi yang mendasari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi juga menyatakan demikian. Kenapa seakan semua itu tidak berarti? Padahal kesemuanya merupakan dalil yang sagat kuat, namun dilemahkan lagi dengan dalih pembebasan bersyarat.
Sementara itu, banyak sekali pidana biasa yang tidak diberikan pembebasan bersyarat oleh pemerintah. Sebagai contoh misalnya, ada seorang terpidana biasa pada tahun 2021 di salah satu Lembaga Permasayarakatan di Nusa Tenggara Barat yang pernah bercerita kepada saya bahwa ia telah divonis menjalani masa tahanan satu tahun, tetapi ketika ia meminta remisi dan atau pembebasan bersyarat, pemerintah tidak memberikannya.
Keadilah Publik Tergadai
Apakah karena mereka memiliki nama-nama yang begitu mentereng, menjadi seorang pejabat dan dekat dengan partai politik tertentu, kemudian diberikan kesempatan yang berbeda dengan warga negara yang lain? Mestinya tidak demikian. Sebab, hukum di Indonesia menyatakan bahwa semua orang harus sama di mata hukum. Mereka yang melakukan kejahatan luar biasa dengan cara mengambil hak orang lain, maka mereka harus diberikan hukuman yang seadil-adilnya.
Dalam konteks ini, bukan karena dalih amarah, kebencian dan lain sebagainya, melainkan karena memang harus berlaku adil dan berada di posisi yang benar. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah: 8 yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Oleh karena itu, kita tidak ingin rasa keadilan publik di negeri ini tergadai atas kemudahan dan kelonggaran yang dilakukan oleh pemerintah di era Jokowi hari ini. Apakah ini juga merupakan tanda bahwa keadilan di negeri ini ke depan akan semakin buram di tengah polemik yang dihadapi oleh bangsa ini yang kian hari kian pelik?
Keadilan dari Nabi Muhammad
Mulai dari kasus kematian-kematian aktivis HAM Munir, pembunuhan Brigadir Joshua, kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola hari ini, semua itu menandakan terdapat kegagapan dan potret buram rezim ini dalam mewujudkan keadilan di negeri ini.
Saya teringat dengan kisah seorang wanita bangsawan dari suku Bani Makhzoom yang melakukan pencurian dan hendak melakukan lobi kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi ia dengan tegas menolak lobi yang dilakukan Usaamah tersebut. Ia juga mengucapkan kata-kata yang sangat tajam kepada pelaku lobi tersebut.
“Sesungguhnya umat sebelum kalian celaka karena jika yang mencuri dari kalangan bangsawan mereka membiarkannya. Namun, jika yang mencuri dari golongan masyarakat biasa mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, jika seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku pun akan memotong tangannya”. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dari kisah dan keteladanan Nabi Muhammad SAW tersebut, sesungguhnya membuat orang-orang yang memiliki kuasa, termasuk presiden, menteri dan siapa pun, termasuk kita semua, untuk senantiasa berlaku adil dalam memberikan keputusan bahkan kepada orang yang sangat dekat sekalipun. Tanpa ada tebang pilih. Selain atas nama keadilan, kita juga harus memahami bahwa setiap gerak kita tidak akan pernah terlepas dari pantauan-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Qaaf: 6, “ Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (*Penulis adalah dosen Universitas Pendidikan Mandalika Mataram)