Oleh: Erlita Budiarti*
Publikasi internasional berperan meningkatkan mutu di suatu negara dalam bentuk diplomasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua didukung dengan mutu pendidikan yang baik dalam mengintervensi publikasi internasional yang tinggi.
Situs olahan pemeringkatan publikasi ilmiah SCImago Lab melaporkan jumlah penelitian dari tahun ke tahun berdasarkan data dari Scopus.
Portal tersebut memperlihatkan hasil publikasi 239 negara. Indonesia berada di urutan ke-61 dengan jumlah publikasi 25.481. Indonesia kalah jauh dari negara tetangga ASEAN seperti Malaysia yang menempati urutan ke-37 dengan jumlah publikasi 171.037 dan Thailand pada peringkat ke-43 dengan jumlah publikasi 95.690.
Dari rangking publikasi internasional bisa dilihat bahwa jumlah publikasi Indonesia bereputasi rendah. Hal ini tentu menarik untuk melihat akar permasalahan yang menyebabkan Indonesia memiliki rangking publikasi ilmiah internasional lebih rendah, termasuk dari beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Wapres Ma’ruf Amin mengatakan jumlah peneliti yang sedikit ini masih sangat memprihatinkan. Merujuk pada data UNESCO Institue for Statistics tahun 2016-2018, jumlah peneliti setara penuh waktu per satu juta penduduk di Indonesia hanya sebanyak 216 dalam dua tahun terakhir (Pidato Seminar Nasional Indonesia Economic Outlook).
Menurut Darmalaksana (2017), riset Indonesia berbasis outcome merupakan jalinan terintegrasi antara input, output, outcome, benefit, dan impact. Integrasi ini diorientasikan dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas penelitian.
Dalam konteks Indonesia, riset berbasis outcome merupakan kebijakan yang memiliki dua sisi yaitu substansi dan administrasi. Penyelenggaraan penelitian mesti melibatkan banyak pihak agar mutu untuk tujuan meningkatkan kualitas penelitian tercapai.
Secara sentral, kebijakan-kebijakan penelitian di Indonesia mengarahkan segenap institusi perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu dan kualitas penelitian secara administrasi dan substansi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2014) mengungkapkan, dahulu riset yang akan dijadikan publikasi ilmiah menjadi sistem cetak berupa buku kumpulan riset, sekarang beralih menjadi media online baik secara sistem maupun publikasi.
Peralihan sistem cetak kepada sistem online membutuhkan keterampilan khusus dan keandalan dalam menerapkan sistem jurnal berbasis online. Tentu hal ini tidak dapat dihindari.
Tim jurnal penulis dan ilmuwan harus peka terhadap apa yang mereka lakukan. Kolaborasi antar dosen dan mahasiswa harus memahami suntingan editor dan reviewer.
Selanjutnya ialah penerbit terbitan berkala di Indonesia harus memahami perubahan paradigma dari terbitan berkala ilmiah cetak menjadi elektronik (e-journal). Melalui e-journal suatu hasil karya ilmiah dapat segera diketahui dan dikenal masyarakat baik nasional maupun internasional.
Artinya, penguatan dan pembinaan dalam publikasi secara online harus ditingkatkan dan dikenalkan khususnya para ilmuwan muda, mahasiswa, dan dosen.
Faktor-Faktor Penyebab
Ada beberapa faktor menurut Subekti (2015) yang menyebabkan riset di Indonesia masih rendah:
Pertama, penghargaan atas publikasi karya ilmiah belum sepenuhnya menjadi aset yang dipikirkan oleh beberapa perguruan tinggi. Seharusnya perguruan tinggi menjadi sumber primer bisa menghasilkan riset yang dikembangkan antara dosen dan mahasiswa. Dari riset tersebut dipublikasikan dalam portal jurnal nasional maupun internasional.
Penghargaan yang minim terhadap peneliti yang mampu lolos publikasi internasional menjadi salah satu penyebabnya. Untuk mengirimkan sebuah artikel ke dalam jurnal internasional tidaklah mudah. Semua harus diseleksi dengan ketat. Hal ini tentu memakan biaya yang tidak murah, baik bentuk materi maupun non-materi. Semakin tinggi reputasi suatu jurnal, maka akan memiliki dampak (impact) tertentu. Maka proses seleksi yang dilakukan juga semakin ketat.
Kedua, keterbatasan sumber daya dan dana. Untuk menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas tentu membutuhkan referensi yang bermutu. Biaya berlangganan jurnal internasional yang mahal menjadi salah satu penyebab ketertinggalan peneliti Indonesia dengan IPTEK. Tidak semua perguruan tinggi di Indonesia memiliki kemampuan finansial untuk berlangganan jurnal internasional.
Ketiga, lingkungan kerja. Banyak perguruan tinggi di Indonesia yang belum mampu menyediakan ruang kerja representatif bagi dosen maupun peneliti.
Ruang kerja untuk dosen sebaiknya dilengkapi dengan fasilitas kerja yang memadai seperti sarana dan prasarana yang mendukung. Selain fasilitas fisik pendukung kinerja dosen, lingkungan kampus dan akademis dengan budaya meneliti sebagaimana tri dharma perguruan tinggi, akan memberikan pengaruh besar untuk para peneliti bergairah dalam menulis.
Keempat, gaji yang belum memadai. Belum semua perguruan tinggi di Indonesia berfokus dalam publikasi ilmiah sehingga produktivitas karya ilmiah masih rendah.
Kelima, kemampuan bahasa Inggris. Kualitas bahasa Inggris yang baik menjadi faktor penting dalam reputasi penelitian internasional. Dari sini kita melihat kemampuan bahasa Inggris yang berkualitas masih menjadi kendala bagi sebagian besar para akademisi atau peneliti Indonesia.
Solusi Pengembangan Riset di Indonesia
Pertama, para akademisi Indonesia bisa melakukan riset berkolaborasi dengan mahasiswa dalam jenjang tugas akhir maupun pengembangan penelitian di ranah perguruan tinggi.
Kedua, peneliti muda diberikan wadah agar memiliki keleluasaan meneliti ataupun menulis sehingga perguruan tinggi memiliki insan muda berkualitas sebagai penyumbang publikasi ilmiah dan riset Indonesia.
Ketiga, memberikan ruang mempelajari bahasa asing untuk menyumbang riset publikasi internasional. Dari sini, kualitas penelitian yang baik akan disajikan dengan bahasa yang baik pula. (*Wartawan Berita Alternatif)