Search
Search
Close this search box.

Kuasa Hukum Derek Loupatty Beberkan Sejumlah Kelemahan Sistem Proporsional Tertutup

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Kuasa hukum Derek Loupatty, pihak terkait dalam permohonan uji materi sistem Pemilu, menegaskan sistem proporsional terbuka atau coblos Caleg tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pihak Derek juga menyebut tidak ada kerugian atas berlakunya sistem proporsional terbuka.

Hal itu disampaikan pihak Derek dalam sidang lanjutan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Derek dalam hal ini sebagai pihak terkait dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu.

Ada sejumlah alasan pihak Derek mendukung sistem coblos Caleg. Pertama, ada keinginan pemilih untuk memilih Caleg yang diajukan oleh partai politik.

Advertisements

Kedua, dalam sistem proporsional terbuka dapat terwujud pula harapan agar wakil yang terpilih tersebut tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik.

“Tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilihan,” ujar pihak Derek dalam sidang lanjutan yang disiarkan langsung melalui YouTube MK, Rabu (8/3/2023).

Ketiga, menurut pihak Derek, dengan sistem proporsional terbuka, pemilih dapat bebas memilih Caleg. Selain itu, menurutnya, kemenangan Caleg juga tidak lagi digantungkan terhadap partai politik, melainkan pada besarnya dukungan suara pemilih.

Keempat, hasil dalam sistem proporsional terbuka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak dipilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.

Pihak Derek juga menilai pemohon perkara ini sejatinya diuntungkan dengan sistem coblos Caleg jika kelak kembali mencalonkan diri. Dengan sistem tersebut, pemohon disebutnya berpeluang untuk kembali maju dan tidak bergantung pada nomor urut yang ditentukan partai.

Sebagai informasi, ada enam orang yang mengajukan permohonan uji materi sistem Pemilu ini, yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.

Kata Derek, mencermati permasalahan yang dihadapi para pemohon, hal tersebut sejatinya bukanlah persoalan konstitusional, tetapi lebih kepada persoalan implementasi norma yang salah satu di antaranya adalah tentang curahan hati yang dialami pemohon atas persoalan pencalonan di internal partai yang tidak mendapatkan prioritas.

“Hal mana tidak ada sangkut pautnya dengan soal keterpilihan melalui sistem proporsional terbuka,” papar pihak Derek.

Pihak Derek juga menepis argumentasi mengenai kandidat populer dan yang memiliki uang. Hal itu menurutnya tidak bisa dijadikan argumen pembenar untuk meminta perubahan sistem Pemilu.

Apalagi, kata Derek, tidak ada jaminan bagi diri para pemohon manakala sistem pemilihan dikembalikan dengan proporsional tertutup dipastikan mendapat nomor urut dari partainya dan tidak ada jaminan kemudahan untuk menjadi anggota legislatif terpilih.

Oleh karena itu, sambung Derek, kekhawatiran bahwa dengan sistem proporsional terbuka peluang untuk duduk sebagai wakil rakyat semakin kecil karena faktor besarnya praktek politik uang oleh kompetitor yang lebih mampu adalah argumentasi yang tidak beralasan hukum.

Dengan begitu, pihak Derek meminta hakim MK untuk menolak permohonan pemohon untuk mengubah sistem coblos Caleg. Sebab, menurut dia, sistem Pemilu yang berlaku saat ini lahir sebagai produk lintasan sejarah yang cukup panjang yang merefleksikan evaluasi atas trauma penerapan sistem Pemilu pada masa lalu.

Sistem ini juga termasuk sebagai kelemahan proporsional tertutup: partai berkuasa penuh menjadi penentu siapa-siapa yang duduk di kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi.

Selain itu, menurut Derek, memberlakukan sistem coblos partai sama saja memasung hak suara rakyat untuk memilih Caleg. Juga mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Menurut dia, tidak ada yang dapat menjamin dengan pengembalian sistem pemilihan dengan cara tertutup akan bebas politik uang. Permasalahan serupa dalam sistem proporsional tertutup juga dapat terjadi, persaingan yang jauh lebih tidak sehat dan dapat terjadi praktek politik uang dalam perebutan nomor urut.

Pengalaman di masa lalu, khususnya pada masa Orde Baru, sudah cukup jadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia. “Sehingga kenapa harus bermimpi untuk kembali menggunakan sistem proporsional tertutup,” papar dia. (*)

Sumber: Sidang Mahkamah Konstitusi Via Detik

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA