BERITAALTERNATIF.COM – Pengamat hukum dari Universitas Kutai Kartanegara La Ode Ali Imran mengungkap penyebab dan alasan Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kutai Kartanegara (Kukar).
Dia menjelaskan bahwa dalam sejumlah putusan, termasuk Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 dan beberapa putusan setelahnya, MK secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menjabat sebagai kepala daerah lebih dari dua kali masa jabatan.
Ia menerangkan bahwa permohonan yang diajukan oleh tim kuasa hukum Edi Damansyah bukanlah gugatan yang menyasar kasus tertentu, melainkan permohonan yang ditujukan untuk menguji norma dalam undang-undang.
Dalam permohonannya, tim kuasa hukum Edi menyertakan sejumlah pertimbangan hukum yang bertujuan membenarkan bahwa Edi belum pernah menjabat sebagai bupati selama dua periode. Namun, MK menolak secara keseluruhan dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon.
“Artinya, apa pun yang disimulasikan oleh pemohon, pak Daman sendiri, di dalam posita gugatannya itu tidak dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi,” tegas La Ode sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Alternatif Talks pada Senin (14/4/2025).
Dia menyebut penolakan terhadap permohonan tersebut menjadi dasar penerbitan Putusan MK Nomor 195/PHPU/XXIII/2025 yang secara total memutus harapan Edi untuk kembali dilantik sebagai Bupati Kukar pada periode 2024-2029. Putusan tersebut sekaligus menjadi landasan utama penyelenggaraan PSU di Kukar.
Dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 129 Tahun 2025, MK menyatakan bahwa masa jabatan yang terhitung adalah masa jabatan yang telah dijalani secara riil, nyata, dan faktual.
Menurutnya, Putusan MK Nomor 129 Tahun 2025 memberikan penegasan kepada publik bahwa Edi telah menjabat dua periode menurut norma hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam putusan terakhir, kata La Ode, MK menghitung masa jabatan Edi secara detail. Meskipun surat keputusan penunjukan resminya sebagai Plt Bupati Kukar baru terbit, MK menetapkan masa jabatan Edi dihitung sejak 10 Oktober 2017. Artinya, menurut penghitungan MK, masa jabatan Edi pada periode kedua adalah 3 tahun 4 bulan 15 hari.
Hal ini menegaskan status Edi sebagai Plt Bupati Kukar terhitung sejak SK tersebut dikeluarkan oleh Mendagri RI, bukan dihitung sejak dikukuhkan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak pada April 2018 sebagaimana ditafsirkan oleh sebagian pengamat dan pendukung Edi.
“Justru kalau menurut penghitungan MK lebih ngeri lagi; bahwa Edi menjalani jabatan itu lebih lama dari itu,” ungkapnya.
La Ode mengkritisi pernyataan mantan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, yang disampaikannya dalam persidangan sengketa Pilkada di MK. Hasyim menyatakan masa jabatan bupati sebagai Plt, Pj, dan Pjs tidak dihitung dalam kategori menjabat sebagai bupati.
Padahal, sambung La Ode, Hasyim sebelumnya dalam rapat dengar pendapat bersama DPR justru menyatakan sebaliknya. “Kita juga heran melihat konsistensi dari seorang Hasyim Asy’ari,” ujarnya.
Ia mengaku sangat menyayangkan penyelenggaraan PSU di Kukar, yang tidak hanya merugikan pasangan calon lain yang harus kembali mengeluarkan biaya. PSU juga disebutnya telah merugikan masyarakat Kukar.
La Ode menyoroti suara dari berbagai elemen masyarakat Kukar, termasuk politisi dan pengamat, yang telah mengingatkan KPU Kukar terkait keputusan mereka dalam pencalonan Edi karena telah melanggar norma dan nilai-nilai dalam Pilkada Kukar.
Apalagi, sambung dia, PSU telah menghabiskan uang negara yang digelontorkan untuk kebutuhan operasional dan pengamanan pemilu. Sebagai lembaga penyelenggara yang menjalankan tugas teknis pemungutan suara, KPU dan Bawaslu Kukar menerima anggaran yang cukup besar.
“Anggaran itu terbuang sia-sia akhirnya karena harus PSU, padahal sejak semula kita sudah ingatkan KPU,” ujarnya.
“Situasi ini sangat disayangkan, terlebih di tengah kebijakan efisiensi yang sedang diberlakukan oleh Presiden Prabowo Subianto,” lanjutnya.
Ia pun membantah berbagai tuduhan yang dilontarkan oleh sejumlah pihak, terutama simpatisan dan pendukung Edi, yang menuduhnya tidak netral, memihak, serta bersekongkol dengan salah satu pasangan calon.
La Ode menegaskan bahwa kritik yang dilontarkannya, yang berisi gugatan keras terhadap status pencalonan politisi PDI Perjuangan tersebut, merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai akademisi dan pakar hukum untuk memperbaiki kekeliruan yang terjadi dalam penegakan hukum terkait Pilkada Kukar.
“Lebih kepada pertanggungjawaban pengetahuan. Sesuatu yang salah juga harus kita berani sampaikan meskipun dengan berbagai risiko yang kita tanggung dan kebencian pihak-pihak tertentu, tapi itu adalah proses yang harus kita lewati,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ulwan Murtadho
Editor: Ufqil Mubin