BERITAALTERNATIF.COM – Literasi dan pendidikan kerap tak dipahami dengan baik karena sebagian orang tak dapat membedakannya. Karena itu, pada bagian ini pendiri Gerakan Literasi Kutai (GLK) Erwan Riyadi menjelaskan perbedaan antara kedua hal tersebut.
Selain itu, dia juga menjelaskan secara detail aspek-aspek dan ruang lingkup literasi, antara lain literasi bahasa, numerasi, sains, keuangan, kewarganegaraan dan budaya, serta literasi digital.
Apa perbedaan serta batasan-batasan antara literasi dan pendidikan?
Sederhana. Literasi itu kan diartikan sebagai seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh siapa pun untuk bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidupnya dan untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik.
Seperangkat kemampuan ini bisa dipahami sebagai kapasitas atau kompetensi. Semakin bagus literasinya, berarti semakin bagus kemampuannya. Kalau semakin bagus kemampuannya, berarti kualitas sumber daya manusianya semakin naik. Gambaran gampangnya kayak gitu.
Lantas, edukasi itu apa? Ini pemahamanku. Edukasi itu adalah transfer of knowledge. Transfer skills. Delivery. Cara kita memberikan, menyampaikan, dan membuatnya jadi. Ketika dia jadi, itu namanya literasi. Proses menghantarkannya disebut sebagai pendidikan. Proses belajar mengajar itu pendidikan. Tujuannya apa? Meningkatkan kompetensi. Kompetensi itulah literasi.
Jadi, dalam hal ini, literasi itu adalah output, sekaligus hasil dari pendidikan. Berarti kan jelas. Kalau kita mau meningkatkan literasi, sistem pendidikannya harus bagus. Kalau sistem pendidikannya bermasalah, pasti literasinya pun akan bermasalah.
Itulah kenapa belakangan ini aku sudah mulai melebar. Aku masuk ke area pendidikan. Kan harus sampai di situ. Literasi tidak akan terbangun tanpa adanya edukasi. Edukasi adalah cara untuk membangun generasi yang baik.
Apa saja ruang lingkup literasi?
Literasi ini harus dipahami ruang lingkupnya. Sejauh ini kan yang disampaikan oleh pemerintah itu tentang enam literasi dasar. Enam literasi dasar ini kan enam kemampuan dasar yang harus dimiliki supaya orang bisa bertahan hidup dan terus berkembang.
Enam literasi dasar itu antara lain, pertama, literasi bahasa. Di dalamnya itu ada baca dan tulis. Itulah kenapa ketika kita sekolah di SD kita diajarkan tentang dasar. Bisa dibayangkan ketika orang tidak bisa baca dan tulis. Pasti dia akan bermasalah dengan hidupnya. Kecuali dia tinggal di hutan.
Kedua, literasi numerasi. Numerasi ini kaitannya dengan angka dan perhitungan atau matematika. Ini kan dasar. Kita sekolah di SD, kelas satu sudah diajarkan itu. Berhitung. Dasar. Harus punya. Kalau kita enggak punya pengetahuan ini, kita susah mengarungi kehidupan. Kita enggak bisa hitung-hitungan, enggak tahu 2+2 berapa, kan jadi masalah. Ini juga dasar.
Ketiga, literasi sains. Sains itu ilmu pengetahuan. Bisa pengetahuan umum, alam, sosial, atau apa pun, itu sains. Cakupannya banyak. Dan itu bisa dipilih karena enggak mungkin semuanya kita kuasai.
Di SD kan sudah diajarkan tentang itu. Ada ilmu pengetahuan alam, sosial, budaya, dan lain-lain. Ini dasar. Harus dikuasai oleh kita kalau kita ingin membuat hidup lebih baik.
Logikanya kan sederhana saja. Makin paham kita tentang itu, maka peluang kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik akan semakin besar. Gampang kita bangunnya. Itu memang dasar.
Keempat, literasi keuangan. Ini relatif baru. Tapi di era sekarang, ini sesuatu yang sangat diperlukan. Bisa dibayangkan kalau kita enggak ngerti keuangan. Enggak bisa jualan dan enggak bisa kerja di mana-mana. Enggak ngerti nilai uang dan seterusnya. Itulah kenapa dia diletakkan sebagai literasi dasar yang orang harus punya.
Sekarang kan literasi keuangan berkembang sedemikian rupa. Literasi dasar bicara tentang dasar-dasarnya saja dulu. Ini harus dipunyai sebagai sebuah dasar. Pengembangan itu hal yang lain.
Kelima, literasi kewarganegaraan dan budaya. Nah, ini juga hal penting. Literasi kewarganegaraan itu berkaitan dengan kewajiban kita sebagai warga negara. Harus tahu dong. Kita ini kan bagian dari sebuah bangsa. Warga negara. Harus paham apa hak dan kewajiban itu. Ini juga literasi dasar. Kalau kita tidak paham itu, kita enggak akan paham apa pun berkaitan dengan negara. Harus diajarkan. Harus diberi tahu. Orang-orang harus punya kemampuan itu.
Terus, kebudayaan. Ini kan kaitannya dengan identitas kita sebagai sebuah bangsa. Kita ini kan orang Indonesia. Budaya itulah yang memberikan identitas tentang bedanya Indonesia dengan yang lain-lain. Ya, kalau kita enggak paham kalau kita ini orang Indonesia dengan budayanya, itu masalah. Kita akan dengan mudah terombang-ambing dan tergerus oleh budaya dari luar. Dan itu kejadian kan sekarang karena pemahaman kebudayaan kita yang lemah. Kita akan dengan mudah terkikis oleh budaya-budaya lain. Jadi, itulah pentingnya literasi kewarganegaraan. Sejauh ini literasi kebudayaan kita belum kuat.
Terakhir, ini merespons kondisi kekinian. Tentang literasi media. Yang belakangan sering disebut sebagai literasi digital. Karena media sekarang kebanyakan digital. Literasi digital ini kan berkaitan dengan kemampuan orang untuk menerima dan menyerap informasi yang dia terima melalui media. Kemudian, mengolah dan mengeluarkannya sebagai sebuah bentuk informasi. Ini penting.
Anak-anak SMP dan SMA yang enggak paham tentang itu kan bisa sembarangan menerima sesuatu yang enggak jelas. Karena dia tidak punya bekal pengetahuan dasar tentang literasi media. Ketika dapat informasi dari media, langsung diterima begitu saja. Enggak dikunyah dulu. Langsung direspons. Kejadiannya gitu. Banyak itu.
Apakah ini berakibat buruk bagi generasi bangsa ini?
Tentu saja. Sekarang netizen kita itu di satu sisi bisa bikin bangga, tapi di sisi lain bisa bikin miris. Kan kebanyakan itu usia muda. Kadang SMA atau SMP. Sejauh mana isi kepala mereka ketika merespons sesuatu?
Literasi media kan kaitannya dengan orang harus paham dulu sesuatunya itu apa. Dikunyah dan dicerna baik-baik. Lalu, dia merespons. Yang terjadi kan mereka enggak punya sesuatu yang cukup untuk dikunyah, tiba-tiba sudah melontarkan sesuatu. Itu jadi masalah.
Lihatlah misalnya di website. Dulu aku sering ngecek. Di website misalnya yang memuat sesuatu. Yang rentan itu opini tentang keagamaan. Itu miris sekali melihat mereka. Itu kan kadang terbelah antara pro dan kontra. Bahasa mereka itu bahasa yang enggak terdidik. Penggunaan kata-kata kebun binatang itu terjadi. Sampai sekarang masih itu di web. Di web sudah berkurang. Yang sering sekarang di YouTube. Makanya sering dimatikan komentar untuk menghindari itu.
Itu artinya apa? Mereka tidak siap dengan literasi media. Mereka enggak siap melontarkan itu di dunia publik. Mereka enggak paham bahwa ini dibaca oleh orang. Lebih karena mereka itu akun anonim sehingga mereka merasa enggak dikenal. Jadi, enggak masalah komentar macam-macam. Tapi kan orang tahu itu dari Indonesia. Ini masalah. (*)