Oleh Dr. Muhsin Labib
Dia duduk menghadap huma kecil berbatas dinding kusam, mendongak mengamati gugusan mega bergerai lirih lalu menyebar menyingkap angkasa gulita.
Dia punya cukup waktu untuk membayangkan diri sekilat terlontar dari kursi itu ke atas menembus selaput atmosfer lalu sirna tertelan dan menyejarah dalam misteri.
Dia melakukan kelana mengemudikan sanubari memasuki kisi-kisi langit mencari dan mengais aksara-aksara batin untuk menandai rintih yang terhempas dalam sepi.
Raganya lemah. Jiwanya lelah. Tapi benaknya terus menarikan pena pikiran di atas kanvas raksasa itu merangkai sajak tentang absurditas dan ironi silih berganti.
Dunia terlalu besar untuk dirinya yang tak punya jiwa demi berbagi dan telinga untuk mendengar. Dia hanya terdiam menyaksikan semuanya meranggas luruh dalam tragedi.