BERITAALTERNATIF.COM – Organisiasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Pendiri HMI bernama Lafran Pane. HMI menjadi salah satu organisasi yang kadernya banyak berkiprah dan terkenal dalam roda pemerintahan Indonesia.
HMI tidak bisa dilepaskan dari Lafran Pane. Pasalnya, Lafran merupakan pendiri organisasi tersebut.
Ia lahir di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibual-Bual, 38 kilometer ke arah utara dari Padang Sidempuan, Ibu kota kabupaten Tapanuli Selatan. Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan tanggal 5 Februari 1922.
Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923.
Sebelum tamat dari STI Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 Desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP).
Dalam sejarah UGM, Lafran termasuk dalam mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu tanggal 26 januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.
Mengenai Lafran, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor: 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan: “Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.
Semasa di STI inilah Lafran mendirikan HMI pada hari Rabu Pon, 14 Rabiul Awal 1366 H/5 Februari 1947 pukul 16.00. HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar.
Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.
Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan.
Dengan kata lain, Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya. Dalam rangka menyosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya, Lafran menyampaikan hal itu pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Jogjakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan intelegensia seluruh Indonesia.
Pemikiran Lafran
Lafran menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.
Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat Islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam, yaitu mereka yang mengamalkan ajaran Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan. Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama Islam dipraktikkan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).
Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama itu benar-benar dapat dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Lafran sendiri meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menyelaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat di mana pun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain, maka kebudayaan Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.
Guru Besar UNY
Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukkan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, hal disampaikannya pada pidato pengukuhan Lafran sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), kamis 16 Juli 1970.
Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang Pancasila.
Lafran mengatakan dalam pidatonya: “Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai Pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah Pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai Pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukkan kemampuan Pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) megara”.
Dari tulisan di atas tampak Lafran sangat terbuka terhadap beragam interpretasi terhadap Pancasila, termasuk pada Islam. Islam bertumpu pada ajarannya memiliki semangat dan wawasan modern, baik dalam politik, ekonomi, hukum, demokrasi, moral, etika, sosial maupun egalitarianisme.
Egalitarianisme ini adalah faktor yang paling fundamental dalam Islam, semua manusia sama tanpa membedakan warna kulit, ras, status sosial-ekonomi. Wajah Islam yang seperti ini selazimnya dapat dibingkai dalam wadah keindonesiaan. Wawasan keislaman dalam wadah keindonesiaan akan sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Untuk kepentingan manusia kontemporer di seluruh jagat raya ini sebagai rahmatan lil alamin.
Pada 25 Januari 1991, Lafran meninggal dunia. Sepeninggalnya, HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa terbesar mampu melahirkan tokoh-tokoh terbaik bangsa di negeri ini, seperti Dahlan Ranuwiharjo, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi Maarif, Kuntowijoyo, Endang Syaifuddin Anshori, Chumaidy Syarif Romas, Agussalim Sitompul, Dawam Rahardjo, Immaduddin Abdurrahim, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Ichlasul Amal, Azyumardi Azra, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dll.
Terdapat juga tokoh-tokoh sosial-ekonomi-politik seperti HMS Mintaredja, M. Sanusi, Bintoro Cokro Aminoto, Ahmad Tirtosudiro, Amir Radjab Batubara, Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Ismail Hasan Metareum, Hamzah Haz, Bachtiar Hamzah, Ridwan Saidi, Jusuf Kalla, Amien Rais, Akbar Tanjung, Fahmi Idris, Mahadi Sinambela, Ferry Mursyidan Baldan, Hidayat Nur Wahid, Marwah Daud Ibrahim, Munir SH, Adyaksa Dault, Abdullah Hemahua, Yusril Ihza Mahendra, Syaifullah Yusuf, Bursah Jarnubi, Hamid Awwaluddin, Jimlie Asshiddiqi, Anas Urbaningrum, dan masih banyak lagi. (*)