Search

Masa Depan Politik dan Ekonomi Global di Era Donald Trump

Donald Trump akan segera menduduk tampuk kekuasaan di Amerika Serikat. (Istimewa)

BERIRAALTERNATIF.COM – Kembalinya Donald Trump ke tampuk kekuasaan di Amerika Serikat (AS) akan disertai dengan isolasionisme, perang dagang dengan Tiongkok, meningkatnya ketegangan dengan Iran, dan kebijakan yang berorientasi pada kesepakatan.

Eropa menginginkan otonomi keamanan, dan dukungan terhadap demokrasi global mungkin melemah. Selama periode ini, hubungan dengan NATO, Taiwan dan Timur Tengah akan menghadapi tantangan yang serius.

Masa jabatan pertama kepresidenan Trump menunjukkan bahwa ia tidak selalu mengikuti saran ahli dan keputusan logis. Dalam langkah terbarunya, Trump mengancam akan mengenakan tarif sebesar 25% pada impor dari Kanada dan Meksiko dan tambahan 10% pada impor dari Tiongkok—suatu tindakan yang dapat menimbulkan pukulan berat bagi perekonomian global dan memberikan banyak tekanan pada konsumen Amerika.

Advertisements

Menurut surat kabar Washington Post, keputusan-keputusan ini, yang berasal dari kebijakan retoris dan isolasionis Trump, menunjukkan perubahan signifikan dalam arah peran global Amerika. Dunia harus mempersiapkan diri menghadapi kondisi baru; situasi di mana posisi kepemimpinan global Amerika melemah, lebih banyak pertemuan komersial antara Washington dan sekutu tradisionalnya dan bahkan musuh-musuhnya terjadi, dan kebijakan negara tersebut cenderung lebih mengarah pada pendekatan yang berorientasi pada kesepakatan.

Para pengambil kebijakan yang dekat dengan Trump, anggota Partai Republik yang sadar akan sensitivitas perkembangan ini, dan para pemimpin asing yang berusaha mengatur hubungan mereka dengan AS harus berupaya memitigasi dampak buruk yang disebabkan oleh perubahan kondisi global.  Perkembangan ini, khususnya di Eropa, akan disertai dengan gangguan yang paling besar.

Otonomi Strategis

Pengalaman masa jabatan pertama Trump menunjukkan kepada para pemimpin Eropa bahwa mereka tidak bisa mengandalkan Amerika saja sebagai pendukung keamanan utama mereka. Permasalahan ini membuat mereka berpikir lebih jauh mengenai penguatan keamanan kolektif. Sekarang sudah jelas bahwa versi baru dari isolasionisme Trump bukanlah penyimpangan sementara, namun tampaknya telah menjadi bagian permanen dari kebijakan luar negeri Amerika, maka bijaksana bagi Eropa untuk merancang keamanan mereka dengan cara yang tidak terlalu bergantung pada dukungan Amerika.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemimpin Eropa dan NATO mencoba mempromosikan konsep “otonomi strategis” sebagai cara untuk mengurangi ketergantungan keamanan pada AS. Pada tahun 2022, sebagian besar negara anggota NATO, yang telah mencapai 32, telah meningkatkan belanja pertahanannya.

Peningkatan ini sedemikian rupa sehingga kini hanya sejumlah kecil anggota yang belum mencapai tujuan untuk mengalokasikan 2% PDB mereka untuk pertahanan.

Sementara itu, serangan militer Rusia terhadap Ukraina kembali memberikan peringatan bagi NATO dan Eropa, sehingga membawa ancaman Rusia yang revisionis ke perbatasan aliansi tersebut. Terlepas dari kondisi ini, sebagian besar langkah praktis untuk mencapai “otonomi keamanan” Eropa masih sebatas kata-kata dan janji.

Kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan dapat memberikan keseriusan pada diskusi mengenai independensi pertahanan Eropa dan menciptakan rasa urgensi baru dalam bidang ini. Trump, yang sebelumnya menyatakan keraguannya mengenai berlanjutnya dukungan finansial dan militer AS terhadap perang defensif Ukraina melawan Rusia, telah berjanji untuk mengakhiri konflik tersebut dengan cepat. Banyak yang menafsirkan janji ini sebagai pemberian konsesi teritorial kepada Rusia.

Jika Trump menghentikan bantuan militer dan keuangan ke Ukraina, negara-negara Eropa akan menghadapi tantangan serius dalam mengatasi kesenjangan ini. Anggaran pertahanan mereka berada di bawah tekanan besar, dan persediaan senjata mereka juga berkurang drastis setelah perang di Ukraina.

Konfrontasi dengan Iran

Trump telah berulang kali menunjukkan bahwa dia mendukung kebijakan ketat terhadap Iran, dan dikatakan bahwa di era baru, dia bermaksud menjatuhkan sanksi terhadap Teheran dengan cara yang lebih serius dan efektif dengan tujuan membatasi pendapatan minyak Iran.

Sementara itu, Trump diperkirakan akan memberikan kelonggaran lebih kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Netanyahu selalu menganggap Iran sebagai musuh utama Israel dan menganggap program nuklir negara ini sebagai ancaman serius bagi eksistensi Israel.

Mengingat kompleksnya jaringan sekutu dan penentang Iran di kawasan, pendekatan ini dapat menimbulkan berbagai konsekuensi. Di satu sisi, hal ini dapat menyebabkan beberapa negara di kawasan menunjukkan solidaritas terhadap Iran, dan di sisi lain, hal ini dapat memperkuat kemungkinan ketidakstabilan dan meningkatnya konflik regional.

Peningkatan Konflik

Konflik ekonomi dan politik antara AS dan Tiongkok diperkirakan akan meningkat jika Trump kembali berkuasa. Selama kampanye pemilihannya, Trump mengusulkan untuk mengenakan tarif hingga 60% pada barang-barang yang diimpor dari Tiongkok. Tentu saja, posisi ini mungkin tampak seperti upaya untuk memperkuat posisi AS dalam negosiasi perdagangan.

Dalam kondisi seperti ini, para penasihat Trump, sekutu AS, dan bahkan para pemimpin Tiongkok diharapkan mendorong Trump untuk menjalin hubungan yang konstruktif dengan Beijing, alih-alih memicu perang dagang yang merugikan.

Pada saat ketegangan meningkat, Taiwan mungkin meragukan komitmen AS untuk mendukung pulau tersebut dari kemungkinan serangan oleh Tiongkok daratan. Trump menuduh Taiwan “mencuri” industri chip komputer AS dan mengancam akan mengenakan tarif pada chip negara tersebut.

Sementara itu, para penasihat yang dekat dengan Trump yang memiliki pandangan anti-Tiongkok harus memperhatikan pentingnya memperkuat hubungan dengan negara-negara kawasan yang berupaya mengekang ketegasan Beijing.

Prioritas kebijakan luar negeri Joe Biden, yaitu mempromosikan demokrasi, kemungkinan besar akan ditinggalkan ketika Trump kembali ke Gedung Putih. Daripada berfokus pada nilai-nilai demokrasi, Trump selalu memilih pendekatan yang berorientasi pada kesepakatan dalam berinteraksi dengan para pemimpin asing.

Tentu saja, pada era Biden, promosi demokrasi dibarengi dengan pertimbangan geopolitik, dan terkadang ia mundur dari tekanan politik global.

Pengalaman masa jabatan pertama Trump menunjukkan bahwa beberapa pemimpin dunia dan bahkan penasihat senior mampu mengatur perilakunya sampai batas tertentu. (*)

Sumber: Khabarfoori.com

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA