BERITAALTERNATIF.COM – Di zaman yang materialistis ini, adakah orang yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menuliskan nasib orang-orang yang terabaikan oleh media mainstream? Ternyata ada, dan saya bisa merasakan apa yang mendasari pilihan mereka.
Sejak tahun 2007, saya mulai membuat blog Kajian Timur Tengah (dinasulaeman.wordpress.com) dengan tujuan utama menyuarakan pembelaan kepada bangsa Palestina dan perlawanan terhadap Israel. Saya menulis berbagai konflik di Timur Tengah dan selalu berhasil menemukan bahwa ada tangan-tangan AS dan Israel di belakang semua konflik itu. Awalnya saya sering mendapati komentar berisi hinaan dari para blogger pendukung Israel. Mereka menyebut saya pendukung ‘teori konspirasi’ meskipun saya sudah memberikan data-data dalam tulisan saya. Teori konspirasi adalah ketika seseorang merajut khayalan untuk menjelaskan sebuah fenomena, tanpa memberikan data yang valid.
Ketika Suriah mulai bergolak, saya juga menulis di blog dan berbagai website, dengan perspektif yang sama, dengan alur argumen yang sama: bahwa ada tangan AS dan Israel di balik semua ini. Namun luar biasa, kali ini yang mencela saya, bahkan jauh lebih kasar dan lebih masif, justru adalah kelompok-kelompok Muslim yang dulu mengaku pro-Palestina. Mereka kini menjelma menjadi pendukung garis keras ‘mujahidin’ Suriah dan memandang konflik Suriah adalah konflik Sunni-Syiah. Akibat pembunuhan karakter yang mereka lakukan, saya dirugikan dalam banyak hal, baik moril maupun materil.
Lima tahun sudah berlalu. Tapi saya tetap menulis. Ada sesuatu dalam diri saya yang menghalangi saya untuk berhenti, yaitu keinginan untuk melawan ‘penjajahan informasi’ yang begitu masif mencengkeram ruang publik. Saya sejak 2012 telah menulis bahwa efek disinformasi soal Suriah akan berimbas amat buruk di Indonesia, dan ternyata, sayang sekali, terbukti.
Itulah sebabnya saya bisa memahami ada perempuan-perempuan seperti Eva Bartlett dan Vanessa Beeley. Ketika dunia mengabaikan Gaza, mereka datang ke Gaza dan tinggal lama di sana. Eva, jurnalis asal Kanada, tinggal di Gaza selama tiga tahun dan aktif mengabarkan kepada dunia apa yang dilakukan tentara Israel terhadap Gaza. Vanessa, jurnalis asal Inggris, juga berkali-kali datang ke Gaza. Selain untuk memberitakan nasib warga Gaza, ia juga menginisiasi berbagai program untuk anak-anak muda Gaza. Misalnya, program Gaza Without Wall yang menghubungkan para pelajar di Gaza dengan guru-guru Bahasa Inggris dan Perancis di Eropa agar anak-anak itu bisa meningkatkan kemampuan bahasa asing mereka.
Ketika media massa mainstream dengan sangat masif memberitakan bahwa rezim Assad adalah diktator yang membantai rakyatnya demi menggiring opini dunia agar menyetujui pengiriman NATO untuk menggulingkan Assad, Eva dan Vanessa pun memutuskan datang langsung ke sana. Mereka menuliskan fakta yang mereka dapati dan dimuat di media-media alternatif (antara lain ukcolumn.org, mintpressnews.com, RT.com, 21stcenturynewswire.com, globalresearch.ca) dan di blog mereka (ingaza.wordpress.com dan thewallwillfall.org).
Tulisan Eva dan Vanessa melawan narasi media mainstream. Misalnya, ketika warga Aleppo diberitakan ‘dibunuh massal oleh Assad’, mereka datang ke garis depan dan merekam testimoni warga Aleppo timur yang berhasil dievakuasi. Warga menceritakan pengalaman buruk selama tertahan di Aleppo timur dan menyatakan kelegaan karena para teroris sudah diusir dari kota mereka. Rekaman testimoni itu ada di Facebook dan tidak akan muncul di media mainstream, maupun media Islam pendukung ‘mujahidin’. Tapi orang-orang yang direkam itu adalah nyata dan rekaman ini menjadi pengimbang informasi.
Baik Eva maupun Vanessa membiayai sendiri perjalanan mereka ke Suriah. Keduanya juga diintimidasi di media sosial (dan mungkin juga di dunia nyata). Berbagai tulisan dan komentar di media sosial menyerang kredibilitas mereka.
Tapi mereka tetap menulis.
Menghadapi tuduhan bahwa ia penulis bayaran Rusia atau Assad, Eva menulis di akun Facebook-nya, sebagai berikut:
“Menulis kebenaran tidak mendatangkan uang. Situs-situs independen yang berani untuk memuat tulisan kebenaran biasanya tidak mampu memberi honor lebih dari $50 per artikel, atau tidak membayar sama sekali. Tetapi untuk mereka yang memiliki prinsip dan menulis tentang Suriah bukan untuk keuntungan, uang tidak penting”.
“Untuk datang ke Suriah berkali-kali, saya menabung pelan-pelan, atau secara terbuka melakukan penggalangan dana. Saya melakukan perjalanan dengan cara termurah, selalu dengan rute yang panjang dan tidak nyaman, sehingga biayanya jauh lebih murah daripada mereka [jurnalis] dari perusahaan media”.
“Saya menaiki taksi patungan ke Damaskus, mencari penginapan di kota tua Damaskus, membayar sendiri semua pengeluaran dalam perjalanan di dalam negeri, termasuk perjalanan mahal ke Aleppo dan biaya hidup yang mahal di kota itu”.
“Wahai jurnalis bayaran, perjalanan saya jauh lebih murah, tetapi jauh lebih berbahaya dan melelahkan dibandingkan kalian yang menulis dari rumah atau kantor kalian”.
“Banyak rekan saya yang menjalani hidup seperti saya, hidup dengan seadanya. Terkadang uang di kantongnya benar-benar habis sampai akhirnya datang honor tulisan yang dibuat selama berhari-hari atau berjam-jam. Banyak dari mereka yang terpaksa meminjam uang, sebagaimana juga saya, untuk bisa melakukan perjalanan ke Suriah, atau melakukan penggalangan dana, atau menunggu sampai tabungan honor tulisan kami mencukupi; atau menerima sumbangan dari orang-orang yang mengenali kebenaran saat mereka membaca tulisan kami”.
Sementara itu Vanessa menulis di akun Facebooknya:
“Saya pro-hukum internasional, kedaulatan bangsa Suriah, dan hak rakyatnya untuk memutuskan nasib sendiri tanpa intervensi militer proxy [pasukan kaki tangan] asing. Pemerintah kami, Inggris, melakukan langkah yang melanggar hukum dan kriminal, yang mengakibatkan penderitaan rakyat Suriah, dan saya menentangnya. Pekerjaan saya sebagai jurnalis adalah menyelidiki tuduhan-tuduhan terhadap pemerintah Suriah yang dipilih melalui pemilu. Sejauh ini yang saya temukan adalah tuduhan-tuduhan itu tidak berdasar dan direkayasa. Saya tidak ‘pro Assad’, melainkan pro-kebenaran. Saya melawan mayoritas jurnalis dari media mainstream yang dibiayai oleh industri militer dan korporasi kapitalisme global”.
Di situs penggalangan dana gofundme.com, Vanessa menulis:
“Saya 100% mendanai sendiri dan independen. Tahun ini, saya telah menghabiskan simpanan saya. Saya menjual rumah pada awal 2016 agar saya bisa mendedikasikan diri untuk menulis, memotret, dan membiayai perjalanan saya ke Suriah dan kawasan Timur Tengah lainnya, agar saya dapat melihat langsung apa yang benar-benar sedang terjadi”.
Ketika media mainstream Barat bergabung dalam agenda disinformasi demi penggulingan Assad, dan media-media terkemuka nasional hanya sebatas menerjemahkan dan memberitakan ulang berita-berita dari media mainstream, media sosial memainkan peran penting dalam pengimbangan informasi. Suara-suara perlawanan yang tidak mendapatkan tempat di media mainstream menemukan ruangnya di media sosial.
Orang-orang seperti Eva, Vanessa, Le Corf, memanfaatkan Facebook untuk menyebarluaskan reportase mereka. Nama-nama Facebooker lain yang gigih memberikan pengimbangan informasi antara lain, Tim Anderson, Patrick Henningsen, Sharmine Narwani, Maytham Al Ashkar, Sarah Abed, Donna Nassor, Barbara McKenzie, Afraa Dagher, Faris Shihabi, Felicity Arbuthnot, Rick Sterling, Mimi Al Laham, Simon Wood, Jonathan Azaziah, Hiroyuki Hamada, dan banyak lagi. Penulis yang aktif mengungkap kejahatan AS, Israel, dan koalisi mereka di Suriah, antara lain Andre Vltchek, Pepe Escobar, Gilad Atzmon, dan Michel Chossudovsky. Di Indonesia, ada beberapa nama selain saya yang aktif memanfaatkan Facebook untuk memberi pengimbangan informasi mengenai Perang Suriah, seperti Ahmad Zainul Muttaqin, Joserizal Jurnalis, Agus Nizami, para admin Fanpage Berita Harian Suriah, Taufik Attamimi, Antonius Teddy, Denny Siregar, Helmi Aditya, dan lain-lain.
Kehadiran orang-orang semacam ini menjadi antitesis dari media mapan. Masa-masa sebelum Perang Suriah, orang cenderung mengabaikan atau menganggap rendah informasi dari Facebooker. Namun, ketika media mainstream juga mengutip para ‘seleb medsos’ pro-‘mujahidin’ sebagai narasumber beritanya, para Facebooker yang konsisten dan mampu membuktikan integritasnya dalam kasus Suriah juga menjadi sumber informasi alternatif.
Mereka bisa disebut sedang ‘berjuang dalam sunyi’. Suara mereka sayup-sayup di tengah gempuran narasi versi media mainstream dan para simpatisan ‘mujahidin’. Namun, di era digital dan media sosial, kata-kata menjadi abadi. Waktulah yang akan membuka tabirnya, apakah kata-kata itu dusta atau kebenaran. Berjuang dalam diam dan kesunyian sering kali lebih bermakna ketimbang dengan hiruk-pikuk dan euforia.
Ah, saya jadi teringat dengan syair berbahasa Persia yang didendangkan oleh Esfahani dalam film berjudul Ekhrajiha. Saya sadur beberapa kutipan dari syair tersebut.
“Dunia dengan segala kebaikan dan keburukannya. Segalanya adalah ruang penjara abadi. Dengan segala hiruk-pikuknya. Dunia bukan tempat bagi sekawanan burung. Yang bersayap ringan, dan siap untuk terbang dalam diam. Mereka tak akan pernah tergoda remah-remah roti. Yang bertebaran di tengah kepulan debu dan asap duniawi. Tinggal di dunia hanyalah sebuah alasan. Kehidupan tak lebih dari permainan kekanak-kanakan. Ketika ada suara samar-samar memanggil mereka menuju Tuhan. Dengan sikap diam dalam kesunyian, mereka sampai kepada suara itu”. (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)