Oleh: Yusuf*
Tulisan ini kami maksudkan untuk membahas kemunculan peristiwa hukum yang menjadi obyek sengketa karena media sosial, khususnya pemberitaan. Pada tulisan sebelumnya kami membahas tentang peradilan narasi yang mana opini publik bisa melampaui fakta dalam suatu peristiwa hukum. Pada kesempatan ini, kami mencoba mengurai dampak lain pemanfaatan media sosial.
Kata pengemis merupakan turunan dari kata kamis/kemis yang diasosiasikan dengan kegiatan sedekah Paku Buwono X tahun 1893-1939 yang merupakan upacara adat yang diadakan pada hari Kamis.
Fenomena pencari keadilan bagaikan kegiatan mengemis ketika hadir di media sosial saat para pencari keadilan mempresentasikan diri sebagai kaum papa atau fakir keadilan dan ruang keadilan telah ditutup darinya.
Ketika para pencari keadilan telah menyampaikan dan berharap mendapatkan keadilan kepada publik, ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Ruang keadilan menjadi terbuka bagi dirinya dan mendapatkan kemudahan dalam peradilan.
Opini terbentuk di ruang media sosial layaknya polling suara siapa yang paling benar tanpa fakta di ruang peradilan. Ini merupakan perang moral yang memperebutkan simpati publik.
Hal ini memiliki dua sisi yang mempunyai keutamaan dan peluang kemunculan misinformasi alih-alih manipulasi opini. Setiap berita pasti akan ditanggapi secara berlebih di luar fakta hukum demi mendapat minat baca atau penonton dalam ruang pemberitaan media sosial. Meski demikian, pemberitaan juga dapat dijadikan alat bukti dalam peradilan umum.
Pertarungan pembenaran secara naratif dalam pemberitaan menjadi ruang baru dalam mendapatkan keadilan. Muncul fenomena pengemis keadilan. Tidak masalah apabila ruang keadilan benar-benar tertutup bagi para pencari keadilan untuk membeberkan masalah hukumnya serta menjadi perhatian publik agar bisa terselesaikan dengan cepat dan tepat.
Hal ini berbeada apabila sarana pemberitaan menjadi ajang penggalangan suara untuk mempengaruhi proses hukum atau peradilan bagi para pencari keadilan tersebut, yang memiliki itikad tidak baik. Fenomena ini bahkan menjadi sarana saling mendiskreditkan antara seseorang atau kelompok terhadap yang lain.
Itikad baik para pencari keadilan dalam melakukan pemberitaan terlepas dari tendensi kepentingan pribadi tersebut semata-mata dilakukan untuk menggugah kesadaran moral publik agar tidak abai terhadap peristiwa hukum yang terjadi bagi pencari keadilan.
Upaya memanipulasi opini publik melalui pemberitaan masih ada. Agar tidak salah memahami, saya persilakan pembaca membaca opini kami yang berjudul Efek Kejut Ghibah Online yang diterbitkan di beritaalternatif.com.
Penggalangan opini publik untuk mempengaruhi suatu peradilan bukanlah hal baru, apalagi negara yang peradilannya berasaskan common law system (Anglo Saxon), yang paling terkenal adalah putusan menggunakan suara juri, bukan hakim seperti kaidah peradilan di Amerika Serikat.
Kami tidak akan banyak berkutat pada masalah di atas. Hanya saja, Prof. Mahfud MD dalam sebuah kuliah umum mengatakan, Indonesia bukanlah penganut hukum common law (Anglo-Saxon) maupun civil law (Eropa Continental) tetapi negara hukum prismatik, di mana negara berlandaskan pada cita hukum Indonesia. Keberadaan dua sistem ini hanya sebagai “penyeimbang”. Pengadopsiannya tidak bersifat mutlak, masih ada proses penyaringan di dalamnya.
Manipulasi pendapat publik terjadi karena ekses pemberitaan yang tidak berimbang atau berita tersebut menarik perhatian pembaca yang lebih banyak, yang mendatangkan nilai ekonomi bagi pembuat dan penyebar berita.
Para pihak menggunakan media sosial untuk menggaet perhatian publik bahkan dalam bentuk penggalangan dana. Perhatian publik menjadi pembentuk opini di tengah masyarakat sehingga menarik perhatian pejabat negara terkhusus stakeholder terkait—bahkan para penggembira yang disebut pansos.
Pemanfaatan pencari keadilan bisa disalahgunakan untuk kepentingan tertentu dari para pihak. Para avonturir dan atau pramagtik akan melihat celah untuk mengeksposur bahkan mungkin pencari keadilan yang menjadi pengemis keadilan memanfaatkan kondisi yang memberi keuntungan atau kerugian bagi diri sendiri dan atau orang lain atau kelompok.
Kami ingin mengajak para pembaca untuk berfikir kritis dan tidak tergiring opini melainkan hasil dari analisa dan keyakinan hati nurani. Ada para manipulator dan predator untuk mencari keadilan.
Kami sangat berharap pencari keadilan mendapat akses keadilan dengan pemberitaan yang tepat di media sosial. Banyak hal yang terungkap dengan cepat melalui kekuatan perhatian publik. Ketepatan publik untuk menilai baik dan buruk tak lepas dari literasi masyarakat. Hal itu bisa dicapai dengan pemberitaan yang berimbang.
Setiap pencari keadilan tidak kehilangan keinginan baik di tengah persoalan hukum yang menimpanya. Hal itu dicapai dengan kesabaran yang sungguh-sungguh. Sabar bukan berarti pasrah dengan keadaan tanpa berbuat sesuatu tetapi tetap menyiapkan langkah yang perlu diambil meski hal tersebut tidak mudah.
Oknum dalam institusi penegakan keadilan adalah musuh bersama yang perlu dipahami kepentingan strategisnya—semua terikat dengan peraturan yang memiliki celah aturan. Kita berharap keinginan orang banyak terselesaikan. Pendapat ini tidak tepat menyangkut kepentingan orang banyak mendahului yang sedikit. Bukankah tatanan masyarakat diatur oleh elit?
Kesadaran kritis kolektif muncul dari perasaan bersama terhadap suatu kepentingan bersama, yang dimulai dari berfikir kritis bahwa yang terjadi memiliki dampak luas. Literasi hukum muncul tidak hanya ketika seseorang tersandung masalah hukum. Semua itu harus dimulai dari keinginan masyarakat agar tidak termarjinalisasi lewat hukum yang digunakan sebagai alat menakut-nakuti. (*LBH Jembatan Keadilan Nusantara)