Search
Search
Close this search box.

Para Selebriti Medsos dari Aleppo

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Kehebohan Aleppo tidak lepas dari kiprah beberapa selebriti (seleb) medsos dari Aleppo, antara lain Lina Shamy, Mr. Alhamdo, si cilik Bana Al Abed, dan Bilal Abdul Karem.

Setelah Aleppo timur berhasil dibebaskan oleh tentara Suriah dan Rusia, media-media arus utama secara masif menyebarkan ulang video-video amatiran para seleb ini yang bertema ‘final goodbye’ (video selamat tinggal). Fanpage BBC adalah di antara media yang mempublikasikan video itu. Saat artikel ini ditulis, video itu sudah dilihat 3,6 juta kali dan di-share 41.300 kali.

Isi video itu adalah rekaman kesedihan dan ketakutan para seleb. “Kepada siapa saja yang bisa mendengarkan saya, kami saat ini terancam genosida di kota yang sedang terkepung, Aleppo,” kata Lina Shamy.

Advertisements

Ucapan dalam video-video lainnya tidak jauh berbeda. Semua berkata (dengan ekspresi seolah sedih) ‘ini mungkin menjadi pesan terakhir saya’. Keesokan harinya, mereka dalam kondisi segar bugar menjadi narasumber di televisi-televisi terkemuka dunia untuk memberitakan kondisi terakhir di Aleppo.

Lebih aneh lagi, Carla Ortiz, artis dan produser film dokumenter yang berada di Aleppo selama berbulan-bulan menjelang pembebasan Aleppo, bersaksi bahwa Aleppo timur tidak ada listrik dan internet. Ortiz dan beberapa jurnalis saat itu sama sekali tidak bisa mengirim twitter. Lalu bagaimana para seleb medsos itu dengan sangat aktif mencuit setiap hari?

Hasil Deteksi Drone Emprit

Dalam sebuah forum diskusi di masjid Salman, Bandung, seorang pakar IT bernama Ismail Fahmi mempresentasikan hasil penelitiannya yang menggunakan software khusus bernama ‘drone emprit’ terhadap percakapan twitter terkait Save Aleppo Desember 2016. Ia menemukan, tingginya cuitan ‘Save Aleppo’ di Indonesia bersamaan dengan tingginya cuitan ‘Save Aleppo’ di dunia.

Dengan kata lain, buzzer-buzzer di Indonesia untuk isu ini bergerak bersama buzzer-buzzer di Timur Tengah. Ketika para buzzer di Timur Tengah diam, pembicaraan tentang Aleppo pun mereda di Indonesia.

Selain itu, drone emprit mendeteksi bahwa tweet tentang Aleppo pada Desember 2016 berawal dari beberapa akun tertentu, yang tak lain adalah para seleb medsos dari Aleppo, seperti Bana Al Abed, Bilal Abdul Kareem, Lina Shamy, dan lain-lain. Cuitan mereka kemudian di-retweet oleh media-media mainstream, lalu berita dari media mainstream di-retweet kembali oleh para seleb ini dan para followers-nya.

Artinya apa? Sumber berita tentang Aleppo pada Desember 2016 bukan dari jurnalis, melainkan dari seleb medsos Aleppo. Ini sangat bersesuaian dengan pernyataan Robert Fisk, “Penggunaan media sosial dalam memberitakan pertempuran di timur Aleppo menjadi luar biasa, aneh, berbahaya, dan bahkan mematikan, ketika tidak ada satu pun jurnalis Barat yang melaporkannya dari tangan pertama, dari lapangan. …Kita [masyarakat Barat] menyerahkan jurnalisme kepada media sosial, dan kepada milisi bersenjata yang mengontrol wilayah itu”.

Siapa Sebenarnya Mereka?

Sebagaimana kasus Bana Al Abed, para seleb medsos ini dengan mudah dilacak jejak digitalnya yang membuktikan bahwa mereka bagian dari jaringan teroris. Misalnya, di akun Facebook Lina Shamy terlihat dia mem-posting foto-foto ‘mujahidin’. Bahkan ia pernah menggunakan foto mayat komandan milisi Jaish al Islam (berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin), Zahran Alloush, dengan tulisan “salam wahai rembulan jihad”.

Jaish al Islam tak berbeda dengan milisi-milisi lainnya, menggunakan cara-cara barbar dalam aksinya. Zahran sangat dikenal karena pernah menaruh tentara Suriah beserta keluarga mereka dalam ratusan kerangkeng besi dan diarak di daerah Ghouta dan menyerukan ‘wahai kalian kaum Rafidhi, rasakan kesakitan di sini sebelum kalian merasakannya di akhirat’.

Kembali kepada asas dan kaidah jurnalistik, menyandarkan diri pada satu sisi cerita adalah kesalahan. Sungguh ironis hal ini dilakukan oleh media-media papan atas seperti BBC, Aljazeera, dan lain-lain.

Selain itu, ketika hoaks demi hoaks terungkap, tentu layak kita bertanya kepada para simpatisan ‘mujahidin’: apakah upaya menegakkan Islam boleh dilakukan dengan menggunakan kebohongan?

Lalu, secara sekilas saja kita bisa memperkirakan bahwa semua proyek hoaks ini (baik amatiran maupun hoaks rumit) butuh dana yang sangat besar. Siapa yang memodali dan apa balik modal yang diinginkannya? Jawabannya bisa dibaca di artikel berikutnya: Perang demi Apa? (Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA