Search
Search
Close this search box.

Memaknai Spirit Pengorbanan Imam Husain di Karbala (1)

Ustadz Ali Khirid saat menyampaikan ceramah di Yayasan Abu Dzar Al-Ghifari Kukar. (Istimewa)
Listen to this article

Oleh: Ustadz Ali Khirid*

Dalam tragedi Karbala, Imam Husain dikenal sebagai sosok yang tidak hanya berjuang, tetapi juga berkurban. Para pengikut Ahlulbait meyakini bahwa sosok al-Husain ini adalah simbol dari sebuah perjuangan dan pengorbanan. Ia merupakan pribadi yang telah memberikan spirit bagi setiap perjuangan dan gerakan-gerakan anti kezaliman.

Namun, ada hal yang perlu diperhatikan di sini: mengapa Imam Husain mau bangkit dan berkurban, bahkan sampai rela mempertaruhkan nyawanya? Mengapa Imam Husain sampai rela “mencelakakan dirinya”, bahkan kita ketahui bukan hanya dirinya, tapi dia juga mempertaruhkan keselamatan keluarganya?

Advertisements

Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 195, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dengan tanganmu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini berbicara kepada kita tentang larangan bagi siapa saja untuk mencelakakan dirinya atau menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan.

Apakah Imam Husain tidak memperhatikan ayat ini sehingga ia harus mengorbankan dirinya bahkan mencelakakan dirinya dengan tangannya sendiri? Apakah Imam Husain tidak memahami ayat ini? Atau Imam Husain memahami ayat ini tetapi tidak mengamalkannya sehingga ia mencelakakan dirinya?

Apakah ada hal-hal lain atau tujuan lain yang ingin dicapai oleh al-Husain? Ataukah ada tawaran dari pihak musuh atau kebangkitannya untuk dirinya sendiri? Apakah dengan melawan Yazid, beliau akan mendapatkan kedudukan? Apakah ini yang ingin dicapai dan diingini oleh Imam Husain?

Ketika kita merujuk pada ayat tersebut, kita akan mendapati bahwa ayat ini mengandung empat makna dalam memahami dan menafsirkannya.

Makna pertama, perintah bagi seseorang untuk berinfak. Karena seseorang yang tidak mau berinfak, sama saja dirinya telah menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan. Karena ayat ini secara tegas meminta kita untuk berinfak, dan konsekuensi dari seseorang yang tidak mau berinfak, bersedekah, berzakat, dan membayar humus itu adalah berujung pada kebinasaan. Mengapa? Baitulmal akan kosong. Ketika kosong maka musuh-musuh Islam akan mudah menguasai dan mengalahkan kita. Jadi, kita wajib berinfak. Apabila kita tidak mau berinfak maka kita akan binasa dengan tangan kita sendiri karena pemimpin-pemimpin kita tidak akan memiliki dana untuk membiayai berbagai gerakan Islam.

Kedua, kita boleh berinfak tetapi jangan sampai infak kita tersebut justru membuat keluarga kita kelaparan. Apabila kita berinfak hingga keluarga kita kelaparan, itu juga merupakan sebuah tindakan zalim.

Ketiga, bermakna bahwa ada dua perintah dan objek berbeda dalam ayat ini. Perintah pertama yakni kita diwajibkan untuk berinfak. Perintah kedua kita dilarang untuk mencelakakan diri sendiri. Jadi makna perintah pertama tidak tersambung dengan makna kedua. Jadi kita diminta Allah untuk berinfak, dan juga diperintahkan untuk menjaga diri (ber-taqiyyah), apabila nyawa terancam.

Keempat, kita dilarang untuk mencelakakan diri atau membunuh diri kita sendiri (bunuh diri).

Dari keempat makna tersebut, kita dapat menyimpulkan secara umum bahwa ayat ini berbicara tentang bagaimana seseorang itu harus menjaga dirinya. Jadi, Allah memerintahkan kita agar kita senantiasa menjaga diri kita. Jangan sampai semua perbuatan kita justru mencelakakan dan membahayakan diri kita sendiri.

Kesimpulannya, mencelakakan diri adalah hal yang dilarang oleh Allah. Apa pun perbuatan yang membuat kita cepat meninggal dunia, itu juga dilarang. Dari sini, ada hukum makruh terhadap rokok. Dalilnya ini. Mengapa? Rokok itu secara kesehatan, tanpa kita sadari, adalah sesuatu yang lambat laun akan mencelakan kita serta membuat kita cepat meninggal dunia. Kalau berkaitan dengan mencelakan diri, ini dasar-dasar hukumnya dalam fikih.

Mengapa kita dilarang mengebut saat mengendarai kendaraan di jalan raya? Karena ayat ini berbicara tentang larangan bagi kita mencelakan diri-diri kita. Mengapa kita tidak boleh meminum racun? Kita memang dilarang melalui syariatnya untuk mencelakan diri kita.

Secara garis besar, ada lima hal yang mendasari datangnya syariat Allah yaitu berupa agama yang diturunkan. Dan ini juga merupakan maksud dan tujuan Allah menetapkan syariat dalam Islam, salah satunya adalah hifzul nafs atau menjaga diri. Hal inilah yang mendasari turunnya ayat 195 tersebut.

Agama mewajibkan kita untuk menjaga diri kita supaya nyawa kita terjaga. Kita juga diminta agar tidak mudah menumpahkan darah orang lain. Kita pun dilarang untuk melakukan segala sesuatu yang membuat kita cepat meninggal dunia. Jadi, apa pun perbuatan yang menyebabkan kita celaka, itu sangat dilarang oleh Islam.

Mengapa Islam melarang seseorang dan tidak membolehkan seseorang mencelakakan jiwanya? Karena hukum syariat bertujuan untuk menjaga jiwa-jiwa manusia. Mengapa Islam melarang memakan makanan haram? Karena Islam meminta manusia untuk menjaga jiwanya. Mengapa jiwa kita ini harus dijaga? Mengapa kita tidak boleh sembarangan mencelakakannya?

Ada dua sebab yang mendasari larangan ini. Sebab pertamanya adalah karena jiwa kita ini bukan kepunyaaan kita. Karena jiwa kita ini sesungguhnya merupakan milik Allah. Dalam surah Al Hijr ayat 29, Allah berkata, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadian-nya dan Aku telah meniupkan roh-Ku ke dalamnya.” Dalam ayat ini Allah menyematkan jiwa bukanlah milik manusia, melainkan milik dan kepunyaan-Nya. Ruh itu Allah sematkan saat manusia berumur empat bulan. Oleh kerena itu, kita ini bukanlah pemilik jiwa. Karena kalau kita pemilik jiwa, tentu kita tidak akan mati.

Kita tidak boleh mencelakakan diri kita karena pemilik jiwa tidak mengizinkan kita untuk membuat diri kita masuk dalam perangkat kebinasaan.

Jadi, ruh kita ini suci. Nafas kita ini suci. Pada bulan Ramadan dikatakan bahwa nafas orang yang sedang berpuasa itu ibadah. Nafasnya saja terhitung ibadah karena di saat itu ia meninggalkan segala sesuatu agar menuju Allah. Saat itu, nafasnya menyatu dengan kesucian Allah. Nafas, ruh, dan jiwa kita merupakan milik Allah. Jadi, kita tidak boleh sembarangan dalam mempertaruhkan nyawa kita.

Sebab kedua, hubbu dzatihi atau fitrah mencintai diri sendiri. Siapa pun kita, kita pasti mencintai diri sendiri. Tidak ada satu pun manusia yang tidak mencintai dirinya sendiri, karena cinta kepada diri sendiri merupakan fitrah. Karena kita mencintai diri kita, supaya kita selamat, kita melakukan salat. Kita tahu dalam agama kita, ketika kita tidak salat, puasa, dan tidak membayar zakat, kita akan masuk neraka. Bagaimana kita menyelamatkan diri kita dari neraka? Kita harus melakukan ritual-ritual ibadah. Dengan cara itulah kita selamat dari neraka. Mengapa kita tidak mau meminum racun? Kita mencintai diri kita karena kita ingin hidup. Fitrah itulah yang telah Allah tanamkan sewaktu mencipta manusia.

Fitrah hubbu dzatihi atau fitrah mencintai diri sendiri juga ada dalam zat Allah. Allah pun mencintai diri-Nya sendiri, sehingga Dia memuji diri-Nya sendiri. Ketika Allah menciptakan manusia dan meniupkan ruh-Nya, maka tertambat juga kecintaan pada zat-Nya dalam diri manusia. Kecintaan pada ruh itu berasal dari Allah. Dia juga mencintai diri-Nya sendiri. Allah memuji diri-Nya sendiri. Cinta terhadap diri sendiri merupakan fitrah yang berasal dari Allah. Inilah sebabnya kita dilarang mencelakakan diri kita.

Lantas dengan landasan ini, apakah Imam Husain tidak memahami konsep dan makna taqiyyah? Apakah Imam Husain tidak cinta terhadap dirinya bahkan tidak mencintai keluarganya? Kalau kita merujuk pada pandangan sebagian sahabat di zaman Imam husain, termasuk sebagian pandangan ulama-ulama terdahulu, bahwa mereka mengatakan, seharusnya Imam Husain ber-taqiyyah; seharusnya Imam Husain berdamai saja seperti Imam Hasan; seharusnya Imam Husain tidak perlu bangkit karena terdapat ayat-ayat yang mendorong kita untuk menyelamatkan keyakinan kita, yang apabila kita menampakkan kepada orang lain maka hal ini akan memasukkan kita pada perangkap kebinasaan, terbunuh, atau nyawa kita terancam. Dalam sejarah kita menemukan kisah tentang Ammar bin Yasir. Saat itu, dia menampakkan sesuatu yang bukan keyakinannya kepada orang-orang musyrik karena ia dipaksa. Sehingga sah-sah saja Imam Husain untuk berdamai dengan Khalifah Yazid.

Mengapa Imam Husain tidak melakukan demikian? Mengapa Imam Husain “mencelakakan” diri dan keluarganya? Apakah ini semua bertentangan dengan ayat Alquran? Apakah kehormatan nyawa dan jiwanya tidak dihitung oleh Imam Husain? Bagaimana kita mencocokkan perjuangan Imam Husain sehingga kita menyalahkan Imam Husain karena bertentangan dengan ayat-ayat Alquran? Hal inilah yang akan kita bahas dalam artikel berikutnya. (*Disampaikan dalam peringatan malam-malam duka Asyura di Yayasan Abu Dzar Al Ghifari Kukar pada 11 Juli 2024)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA