Beritaalternatif.com – Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), memenuhi sejumlah syarat untuk menjadi pusat distribusi barang di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Salah satu indikatornya, pusat pemerintahan Kukar ini menjadi wilayah penghubung bagi sejumlah kabupaten/kota di Kaltim.
Kelebihan lain, Tenggarong memiliki tenaga kerja yang relatif melimpah. Infrastruktur yang lebih lengkap dan posisi geografis Tenggarong yang berada di tengah-tengah, jalur akses penghubung yang lebih terbuka dengan beberapa daerah lain seperti Samarinda, Balikpapan, Melak, Bontang dan Sangatta menjadikan Tenggarong lebih strategis untuk pengembangan dan pengelolaan sektor distribusi dibandingkan kecamatan-kecamatan lain di Kukar.
Pengembangan Tenggarong sebagai pusat distribusi barang juga akan sangat potensial bila Ibu Kota Negara Nusantara telah dibangun oleh pemerintah. Pengamat ekonomi dan politik Kukar Haidir pun menyarankan Pemkab Kukar memanfaatkan momentum tersebut untuk mengembangkan Tenggarong sebagai pusat distribusi barang dan jasa.
Dia menjelaskan, barang-barang yang berasal dari sejumlah kecamatan di Kukar dan kabupaten/kota di Kaltim dapat dijual di Tenggarong.
“Ulap doyo yang diproduksi di Melak bisa saja dijual di sini. Mungkin suatu ketika akan kembali ke Melak. Itu biasa dalam sistem perdagangan. Tetapi ketika dia masuk ke Tenggarong sebagai wilayah distribusi, maka value produk itu akan naik bahkan dibandingkan dengan produk yang sama di daerah asalnya, Melak. Itu rumus penting dalam sistem ekonomi, sub teori distribusi,” jelas Haidir kepada beritaalternatif.com.
Di samping beberapa saran yang telah disebutkan, dalam rangka mewujudkan Tenggarong sebagai pusat distribusi produk, Haidir menyarankan pemerintah daerah membuat kebijakan lain yang menekankan agar perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kukar membangun kantor di Tenggarong.
Hal ini menurut pertimbangannya menjadi strategis agar tercipta pasar (market) berbagai produk barang dan jasa dengan sasaran konsumen dari perusahaan untuk memenuhi kebutuhan karyawannya yang berada di beberapa kecamatan tempat beroperasinya perusahaan. Artinya, secara tidak langsung pihak perusahaan akan menjadi rantai distribusi berbagai komoditi dari Tenggarong.
Lebih jauh, Haidir menyarankan agar Pemkab Kukar memperhatikan sisi penting pengembangan sektor pariwisata dalam kaitannya dengan urusan distribusi. Dengan menyiapkan tempat hiburan, wisata bahari, kuliner, dan tempat wisata sejarah dan religius, diharapkan dapat menjadi daya pikat kunjungan wisatawan ke Kota Tenggarong, menciptakan kebutuhan akan ragam komoditi dan secara tidak langsung menjadi salah satu rantai distribusi produk barang dan jasa di Tenggarong.
“Sebagai contoh, kita punya Kelambu Kuning dan makam-makam tokoh yang kita anggap aulia di Kukar. Itu menjadi daya tarik agar orang mau datang ke Tenggarong,” terangnya.
Kegiatan-kegiatan tahunan seperti Erau pun bisa terus dilaksanakan di Tenggarong. Namun harus didukung dengan ketersediaan komoditas yang dapat dijual untuk menarik dan “memenuhi dahaga” para wisatawan.
“Kalaupun orang menghadiri Erau di Tenggarong, tapi belanja untuk kebutuhan lainnya di Samarinda atau Balikpapan, maka tidak banyak manfaat yang dapat diterima oleh daerah,” ujarnya.
Sejumlah komoditas dapat disediakan di Tenggarong, di antaranya produk-produk lokal khas Kutai seperti mandau, kayu pasak bumi, manik-manik, pakaian jamok, dan lain-lain yang khas daerah.
Beberapa produk tersebut memang telah tersedia di Tenggarong dan dijual di tempat yang relatif tersembunyi seperti di belakang Museum Mulawarman. Hal itu tidak mengena karena tak banyak orang yang mengetahui keberadaannya. Demikian kritik Haidir terhadap pola manajemen perdagangan yang sudah berjalan selama ini.
“Harus diciptakan juga olshop-olshop produk lokal di Tenggarong, terbuka dan mudah dijangkau oleh siapa pun. Saya membandingkan pola itu dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bontang, di mana ada olshop yang khusus menjual empek-empek, dibawahi oleh sejenis BUMD, sehingga mampu menampilkan image Kota Bontang tak dapat dipisahkan dengan kuliner empek-empek, serasa tidak ke Bontang tanpa membeli empek-empek sebagai oleh-oleh,” jelasnya.
“Dulu kita beranggapan bahwa empek-empek adalah kuliner dari Sumatera, namun saat ini frame itu secara perlahan bergeser, bahwa empek-empek adalah jajanan khas Bontang. Meskipun produk empek-empek itu bisa dijumpai di beberapa tempat di luar Bontang, tapi kita lebih yakin kualitas empek-empek yang dibeli di Bontang dibandingkan yang dibeli di tempat lain di luar Bontang,” sambungnya.
“Image ini yang harus kita bangun di Tenggarong. Membangun image itu penting. Kalau sudah terbangun, itu akan melekat di pikiran orang. Misalnya Borobudur. Yang ada di pikiran orang, itu ada di Jogja. Padahal nyatanya itu di Jawa Tengah,” lanjutnya.
Kata dia, Yogyakarta juga berhasil membangun brand seperti Dagadu dan sejumlah batik yang terkenal di Indonesia. Padahal, batik tersebut berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah, dan kaos-kaos yang disablon Dagadu itu sebenarnya diproduksi di Bandung, Jawa Barat.
“Tetapi ketika disablon dengan Dagadu, ia menjadi khas Jogja. Padahal komoditinya itu bukan dari Jogja. Industri-industri konveksi tidak terlalu tumbuh di Jogja, terutama karena keterbatasan bahan bakunya. Produk-produk dasarnya bukan dari Jogja. Bisa saja itu dari Surabaya, Bandung atau daerah lain. Tapi Jogja yang punya nama,” urainya.
Hal yang sama dengan amplang di Samarinda. Brand ini telah terbangun di masyarakat Kaltim. Karena itu, orang-orang lebih cenderung membelinya di Kota Tepian dibandingkan di tempat lain di luar Samarinda. Padahal amplang yang dijual di luar Samarinda rasanya relatif sama dengan yang dijual di Samarinda. Bahkan pembuat amplang di Samarinda yang terkenal sebenarnya berasal dari Kecamatan Muara Muntai, Kukar. Tapi tetap saja image amplang adalah jajanan khas Samarinda. Bukan nama Kukar yang muncul di benak konsumen.
Haidir menjelaskan, Tenggarong juga sangat strategis untuk pengembangan sektor jasa. Berbagai produk bisa saja dibuat di Samarinda, Bontang, dan Sangatta. Namun, Tenggarong dapat menjadi pusat penampungan produk-produk tersebut dan menjadi penyalur produk-produk tersebut ke beberapa daerah dalam makna rantai distribusi.
“Untuk tujuan itu maka Tenggarong harus menyiapkan pergudangan dan armada-armada angkutan yang akan membawa produk-produk itu ke beberapa daerah dalam kecamatan sampai ke luar daerah,” sarannya.
Dalam hal ini, Pemkab Kukar harus membuka akses investasi bagi para investor untuk menyiapkan pergudangan dan armada-armada angkutan yang dapat melayani distribusi barang-barang dari Tenggarong ke sejumlah daerah di Kaltim.
“Tenggarong harus dapat memberikan jaminan penampungan produk-produk dalam skala besar dan memastikan sistem distribusi yang tepat waktu, murah dan mudah, sehingga pola itu tidak lagi memberikan ruang alternatif bagi pihak lain untuk melakukan hal yang sama,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin