Oleh: Dr. Bernalus Saragih*
Penambangan batu bara adalah bentuk pengikisan dan penggalian kulit bumi yang paling merusak, karena memberi dampak yang sangat serius terhadap degradaai lingkungan, sosial dan ekonomi. Selain tidak dapat dipulihkan, dampaknya juga tidak dapat dipulihkan.
Pengupasan tanah permukaan dengan menggusur semua makhluk dan kehidupan di permukaan, baik tumbuhan dan binatang harus dimusnahkan, kemudian terjadi pemindahan top soil, disusul penggalian batu bara sampai sedalam-dalamnya semampu alat berat kemudian meninggalkan lubang menganga siap menelan air dan sedimen dan ketika sudah penuh atau overflow mulailah mengalir ke luar wilayah tambang dengan membawa sedimen berisi logam berat masuk ke sungai-sungai yang menjadi sumber air baku bagi banyak penduduk, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Sehingga menjadi biaya bagi masyarakat yang tidak ikut terlibat dalam aktivitas tambang. Saya mengatakan bahwa rakyat Kaltim sebenarnya menyubsidi operasi industri tambang batu bara. Sebagaimana pernah saya sampaikan di Mahkamah Konstitusi ketika menjadi saksi ahli atas perubahan Undang-Undang 33 Tahun 2004 atas Perimbangan Keuangan.
Berdasarkan valuasi ekonomi yang saya lakukan waktu itu, di tahun 2011, bahwa kerugian yg dibayar rakyat Kaltim per tahun adalah Rp 9,23 triliun atau lebih besar dari manfaat yang diterima Pemprov Kaltim dan rakyat Kaltim yang hanya berkisar antara Rp 5triliun sampai Rp 7 trilliun per tahun.
Lingkungan pasca tambang tidak bisa dipulihkan karena banyak faktor. Lubang yang tidak bisa ditutup karena tidak ada tanah penutup, biaya reklamasi yang sangat mahal, dan waktu yang diperlukan agar permukaan setidak-tidaknya kembali mendekati Rona Awal memerlukan waktu setidaknya 50 tahun.
Sebab dengan pembiayaan yang besar dan keseriusan merawat dan memelihara maka kehadiran tumbuhan dan binatang mendekati kondisi saat penambangan dimulai baru terjadi antara tahun 30 sampai 50-an. Dengan biaya Rp 200 juta per hektare per tahun selama 20 tahun reklamasi tentu akan membuat penambang mencari 1001 alasan mengapa reklamasi gagal atau tidak dilakukan, apalagi dengan adanya aturan akal-akalan Jamrek, membuat pengusaha mencari beribu jalan keselamatan dari proses hukum akibat tidak berhasil dalam melaksanakan kewajiban Jamrek.
Lalu, kok ada tawaran ke kampus? Ini pasti akan lebih parah. Pengalaman yang sama pernah terjadi ketika kampus diberi hak kelola atas Hak Pengusahaan Hutan, malah hutan hancur dan pengelolaan lestari jauh dari harapan, kampus menjadi terkebiri; tidak bisa kritis terhadap kinerja pengelolaan hutan. Hal yang sama akan terjadi dengan tambang.
Mengapa? Banyak yang lupa bahwa kampus itu lebih pintar berteori dan jauh dari aspek-aspek praktis, sehingga mengelola sesuatu yang harus cepat dan teknis bukan wilayahnya. Kampus itu kerja-kerjanya adalah membangun karakter, moralitas, dan intuisi.
Jika kampus memiliki izin tambang, bisa dipastikan akan menjadi sumber konflik baru internal karena menganggap itu sebagai lumbung uang, sementara proses-proses manajerial usaha sangat lemah, dan banyak sisi lain yang tidak dipertimbangkan dibanding gambaran uang yang akan mengalir, mimpi dulu.
Bila kampus benar-benar terlibat dalam usaha tambang penuh resiko ini, berarti pimpinannya telah kehilangan cinta terhadap Ibu Pertiwi. (*Dosen Fahutan Unmul Samarinda)