BERITAALTERNATIF.COM – Bulan adalah satelit alami Bumi satu-satunya dan merupakan satelit terbesar kelima dalam Tata Surya. Bulan juga merupakan satelit alami terbesar di Tata Surya menurut ukuran planet yang diorbitnya, dengan diameter 27%, kepadatan 60%, dan massa 1⁄81 (1.23%) dari Bumi. Di antara satelit alami lainnya, Bulan adalah satelit terpadat kedua setelah Io, satelit Jupiter.
Bulan berada pada rotasi sinkron dengan Bumi, yang selalu memperlihatkan sisi yang sama pada Bumi, dengan sisi dekat ditandai oleh mare vulkanik gelap yang terdapat di antara dataran tinggi kerak yang terang dan kawah tubrukan yang menonjol.
Bulan adalah benda langit yang paling terang setelah Matahari. Meskipun Bulan tampak sangat putih dan terang, permukaan Bulan sebenarnya gelap, dengan tingkat kecerahan yang sedikit lebih tinggi dari aspal cair.
Sejak zaman kuno, posisinya yang menonjol di langit dan fasenya yang teratur telah memengaruhi banyak budaya, termasuk bahasa, penanggalan, seni, dan mitologi.
Pengaruh gravitasi Bulan menyebabkan terjadinya pasang surut di lautan dan pemanjangan waktu pada hari di Bumi.
Jarak orbit Bulan dari Bumi saat ini adalah sekitar tiga puluh kali dari diameter Bumi, yang menyebabkan ukuran Bulan yang muncul di langit hampir sama besar dengan ukuran Matahari, sehingga memungkinkan Bulan untuk menutupi Matahari dan mengakibatkan terjadinya gerhana matahari total. Jarak linear Bulan dari Bumi saat ini meningkat dengan laju 3.82±0.07 cm per tahun, meskipun laju ini tidak konstan.
Bulan diperkirakan terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, tak lama setelah pembentukan Bumi. Meskipun terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal usul Bulan, hipotesis yang paling diterima saat ini menjelaskan bahwa Bulan terbentuk dari serpihan-serpihan yang terlepas setelah sebuah benda langit seukuran Mars bertubrukan dengan Bumi.
Bulan adalah satu-satunya benda langit selain Bumi yang telah didarati oleh manusia. Program Luna Uni Soviet adalah wahana pertama yang mencapai Bulan dengan pesawat ruang angkasa nirawak pada tahun 1959; program Apollo NASA Amerika Serikat merupakan misi luar angkasa berawak satu-satunya yang telah mencapai Bulan hingga saat ini, dimulai dengan peluncuran misi berawak Apollo 8 yang mengorbit Bulan pada tahun 1968.
Kemudian, diikuti oleh enam misi pendaratan berawak antara tahun 1969 dan 1972, yang pertama adalah Apollo 11. Misi ini kembali ke Bumi dengan membawa 380 kg batuan Bulan, yang digunakan untuk mengembangkan pemahaman geologi mengenai asal usul, pembentukan struktur dalam, dan sejarah geologi Bulan.
Setelah misi Apollo 17 pada 1972, Bulan hanya disinggahi oleh pesawat ruang angkasa nirawak. Misi-misi tersebut pada umumnya merupakan misi orbit; sejak tahun 2004, Jepang, Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Badan Luar Angkasa Eropa telah meluncurkan wahana pengorbit Bulan, yang turut bersumbangsih terhadap penemuan es air di kawah kutub Bulan.
Pasca Apollo, dua negara juga telah mengirimkan misi rover ke Bulan, yakni misi Lunokhod Soviet terakhir pada tahun 1973, dan misi berkelanjutan Chang’e 3 RRC, yang meluncurkan rover Yutu pada tanggal 14 Desember 2013.
Misi berawak ke Bulan pada masa depan telah direncakan oleh berbagai negara, baik yang didanai oleh pemerintah atau swasta. Di bawah Perjanjian Luar Angkasa, Bulan tetap bebas dijelajahi oleh semua negara untuk tujuan damai.
Dalam bahasa Inggris, nama untuk satelit alami Bumi adalah moon. Kata benda moon berasal dari kata moone (sekitar 1380), yang juga berkembang dari kata mone (1135), berasal dari kata bahasa Inggris Kuno mōna (sebelum 725). Sama halnya dengan semua kata kerabat dalam bahasa Jermanik lainnya, kata ini berasal dari bahasa Proto-Jermanik *mǣnōn.
Sebutan lain untuk Bulan dalam bahasa Inggris modern adalah lunar, berasal dari bahasa Latin Luna. Sebutan lainnya yang kurang umum adalah selenic, dari bahasa Yunani Kuno Selene (Σελήνη), yang kemudian menjadi dasar penamaan selenografi.
Beberapa mekanisme yang diajukan mengenai pembentukan Bulan menyatakan bahwa Bulan terbentuk pada 4,527 ± 0,010 miliar tahun yang lalu, sekitar 30-50 juta tahun setelah pembentukan Tata Surya.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Rick Carlson menunjukkan bahwa Bulan berusia sekurang-kurangnya 4,4 hingga 4,45 miliar tahun. Hipotesis ini antara lain menjelaskan bahwa fisi Bulan berasal dari kerak Bumi akibat gaya sentrifugal, penangkapan gravitasi sebelum pembentukan Bulan, dan pembentukan Bumi dan Bulan secara bersama-sama di cakram akresi primordial. Hipotesis ini tidak menjelaskan tinggi momentum sudut dari sistem Bumi-Bulan.
Hipotesis yang berlaku saat ini menjelaskan bahwa sistem Bumi-Bulan terbentuk akibat tubrukan besar, ketika benda langit seukuran Mars (bernama Theia) bertabrakan dengan proto-Bumi yang baru terbentuk, memuntahkan material ke orbit di sekitarnya yang kemudian berkumpul untuk membentuk Bulan.
Hipotesis ini mungkin merupakan hipotesis yang paling menjelaskan mengenai asal usul Bulan, meskipun penjelasannya tidak sempurna.
Tubrukan besar diperkirakan umum terjadi pada awal pembentukan Tata Surya. Pemodelan simulasi komputer mengenai tubrukan besar sesuai dengan ukuran momentum sudut sistem Bumi-Bulan dan ukuran inti Bulan yang kecil. Simulasi ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar materi pada Bulan berasal dari planet penabrak, bukannya dari proto-Bumi.
Akan tetapi, pengujian terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar materi Bulan berasal dari Bumi, bukannya dari penabrak.
Bukti meteorit menunjukkan bahwa materi benda langit lainnya seperti Mars dan Vesta memiliki oksigen dan komposisi isotop yang sangat berbeda dengan Bumi, sedangkan Bulan dan Bumi memiliki komposisi isotop yang hampir identik.
Pencampuran materi yang menguap pasca tubrukan antara benda langit pembentuk Bulan dengan Bumi diperkirakan menyamakan komposisi isotop mereka, meskipun hal ini masih diperdebatkan.
Besarnya energi yang dilepaskan saat terjadinya tubrukan besar dan akresi materi di orbit Bumi yang terjadi setelahnya akan melelehkan kulit bagian luar Bumi, yang kemudian membentuk lautan magma.
Bulan yang baru terbentuk juga memiliki lautan magma sendiri; diperkirakan kedalamannya sekitar 500 km dari radius keseluruhan Bulan.
Meskipun akurasi dalam menjelaskan pembentukan Bulan didukung oleh banyak bukti, masih terdapat beberapa kesulitan yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh hipotesis tubrukan besar, terutama yang berkaitan dengan komposisi Bulan
Pada tahun 2001, tim di Carnegie Institute of Washington melaporkan penelitian yang mereka lakukan terhadap isotop batuan Bulan.
Tim ini menemukan bahwa batuan Bulan yang dibawa ke Bumi melalui Program Apollo memiliki isotop yang identik dengan batuan Bumi, dan berbeda dengan batuan pada kebanyakan benda langit lainnya di Tata Surya.
Karena sebagian besar materi yang lepas ke orbit dan membentuk Bulan diduga berasal dari Theia, penemuan ini sama sekali tak terduga.
Pada tahun 2007, para peneliti dari California Institute of Technology mengumumkan bahwa kesamaan isotop antara Bumi dengan Theia kurang dari 1%.
Pada tahun 2012, analisis yang dilakukan terhadap sampel isotop Bulan menunjukkan bahwa Bulan memiliki komposisi isotop yang sama dengan Bumi, bertentangan dengan hipotesis yang menjelaskan bahwa Bulan terbentuk jauh dari orbit Bumi atau dari Theia.
Bulan tergolong benda langit diferensiasi, yang secara geokimia memiliki komposisi kerak, mantel, dan inti yang berbeda dengan benda langit lainnya.
Bulan kaya akan besi padat di bagian inti dalam, dengan radius sekitar 240 km, dan fluida di bagian inti luar, terutama yang terbuat dari besi cair, dengan radius sekitar 300 km.
Di sekitar bagian inti Bulan terdapat lapisan pembatas berbentuk cair dengan radius sekitar 500 km.
Struktur ini diperkirakan terbentuk akibat kristalisasi fraksional pada lautan magma sesaat setelah pembentukan Bulan 4,5 miliar tahun yang lalu.
Kristalisasi lautan magma ini akan membentuk mantel mafik, yang juga disebabkan oleh curah hujan dan peluruhan mineral olivin, klinopiroksen, dan ortopiroksen; setelah tiga perempat lautan magma terkristalisasi, mineral plagioklas berkepadatan rendah akan terbentuk dan mengapung ke bagian atas lapisan kerak.
Cairan terakhir yang mengalami proses kristalisasi akan terjebak di antara kerak dan mantel, dengan inkompabilitas dan unsur penghasil panas yang berlimpah.
Sesuai dengan proses ini, pemetaan geokimia dari orbit menunjukkan bahwa sebagian besar kerak Bulan bersifat anortosit, dan pengujian yang dilakukan terhadap sampel batuan Bulan yang berasal dari banjir lava di permukaan juga menjelaskan bahwa komposisi mantel mafik Bulan lebih kaya akan besi jika dibandingkan dengan Bumi. Teknik geofisika menjelaskan bahwa ketebalan rata-rata kerak Bulan adalah ~50 km.
Bulan adalah satelit terpadat kedua di Tata Surya setelah Io. Akan tetapi, inti dalam Bulan tergolong kecil, dengan radius sekitar 350 km atau kurang; ukuran ini hanya ~20% dari ukuran Bulan secara keseluruhan, berbeda dengan benda langit kebumian lainnya, yang ukuran inti dalamnya hampir 50% dari ukuran keseluruhan.
Komposisi Bulan belum diketahui secara pasti, namun diduga perpaduan dari besi metalik dengan sejumlah kecil sulfur dan nikel; analisis mengenai waktu rotasi variabel Bulan menunjukkan bahwa sebagian inti Bulan berbentuk cair.
Topografi Bulan telah diukur dengan menggunakan metode altimetri laser dan analisis gambar stereo. Bentuk topografi yang paling jelas terlihat adalah basin Kutub Selatan Aitken di sisi jauh, dengan diameter sekitar sekitar 2.240 km, yang merupakan kawah terbesar di Bulan serta kawah terbesar yang pernah ditemukan di Tata Surya. Titik terendah pada permukaan Bulan berada pada kedalaman 13 km.
Sedangkan titik tertinggi terdapat di bagian timur laut, yang diduga mengalami penebalan akibat pembentukan basin Kutub Selatan Aitken. Basin raksasa lainnya, seperti Imbrium, Serenitatis, Crisium, Smythii, dan Orientale, memiliki lebar dan ketinggian yang lebih rendah. Ketinggian rata-rata sisi jauh Bulan kira-kira 1,9 km lebih tinggi jika dibandingkan dengan sisi dekat.
Proses geologi lainnya yang memengaruhi bentuk permukaan Bulan adalah kawah tubrukan, yaitu ketika kawah-kawah terbentuk akibat tubrukan antara asteroid dan komet dengan permukaan Bulan. Diperkirakan terdapat sekitar 300.000 kawah dengan luas lebih dari 1 km di sisi dekat Bulan.
Beberapa kawah ini dinamakan menurut nama para pakar, ilmuwan, seniman, dan penjelajah. Skala waktu geologi Bulan didasarkan pada peristiwa tubrukan yang paling hebat, termasuk Nectaris, Imbrium, dan Orientale, dengan struktur yang dicirikan oleh lingkaran yang terbentuk dari materi yang menguap, biasanya berdiamater ratusan hingga ribuan kilometer.
Kurangnya aktivitas atmosfer, cuaca, dan proses geologi terkini membuktikan bahwa kawah-kawah ini masih dalam kondisi baik. Meskipun hanya sedikit kawah yang diketahui asal usul pembentukannya, kawah-kawah ini tetap berguna untuk menentukan usia relatif Bulan.
Karena kawah tubrukan menumpuk pada tingkat yang hampir konstan, menghitung jumlah kawah per satuan luas dapat digunakan untuk memperkirakan usia permukaan Bulan.
Usia radiometrik batuan kawah yang dibawa oleh misi Apollo berkisar dari 3,8 sampai 4,1 miliar tahun; ini digunakan untuk menjelaskan waktu terjadinya tubrukan Pengeboman Berat Akhir.
Dataran yang menyelimuti bagian atas kerak Bulan adalah permukaan yang sangat terkominusi (terpecah menjadi partikel yang lebih kecil) dan lapisan permukaan kebun kawah bernama regolith, yang terbentuk akibat proses tubrukan. Regolith yang paling halus, yakni tanah Bulan dari kaca silikon dioksida, memiliki tekstur seperti salju dan berbau seperti mesiu.
Regolith di permukaan yang lebih tua umumnya lebih tebal daripada permukaan yang lebih muda; ketebalannya bervariasi, dari 10–20 m di dataran tinggi dan 3–5 m di maria.
Di bawah lapisan regolith terdapat megaregolith, lapisan batuan fraktur dengan ketebalan berkilo-kilometer.
Air cair tidak bisa bertahan di permukaan Bulan. Saat terkena radiasi Matahari, air dengan cepat akan terurai melalui proses yang dikenal dengan fotodisosiasi dan lenyap ke luar angkasa.
Namun, sejak tahun 1960-an, para ilmuwan memperkirakan bahwa air es yang diangkut oleh komet saat terjadinya tubrukan atau yang dihasilkan oleh reaksi batuan Bulan yang kaya oksigen, dan hidrogen dari angin surya, meninggalkan jejak air yang mungkin bisa bertahan di kawah kutub selatan Bulan yang dingin dan gelap secara permanen.
Simulasi komputer menunjukkan bahwa hampir 14.000 km2 permukaan Bulan berada pada bagian kutub yang gelap permanen. Ketersediaan air di Bulan dalam jumlah yang cukup adalah faktor penting dalam merencanakan proses kolonisasi Bulan karena akan menghemat biaya; rencana alternatif untuk mengangkut air dari Bumi akan menghabiskan biaya yang sangat besar.
Bertahun-tahun yang lalu, jejak air telah ditemukan di permukaan Bulan. Pada tahun 1994, eksperimen radar bistatik di wahana Clementine menunjukkan adanya kantong air beku di sekitar permukaan Bulan.
Namun, pengamatan radar setelahnya oleh Arecibo menunjukkan bahwa penemuan tersebut mungkin adalah batuan yang terlontar dari kawah tubrukan muda.
Pada 1998, spektrometer neutron di wahana Lunar Prospector menemukan adanya konsentrasi hidrogen yang tinggi di lapisan regolith dengan kedalaman satu meter di wilayah kutub.
Pada 2008, analisis yang dilakukan terhadap batuan lava vulkanis yang dibawa ke Bumi oleh Apollo 15 menunjukkan adanya kandungan air dalam jumlah kecil pada interior batuan.
Pada tahun 2008, wahana Chandrayaan-1 mengonfirmasi keberadaan air es di permukaan Bulan dengan menggunakan Moon Mineralogy Mapper. Spektrometer mengamati adanya garis penyerapan hidroksil di bawah sinar Matahari, yang membuktikan bahwa permukaan Bulan mengandung air es dalam jumlah besar. Wahana tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi air es mungkin mencapai 1.000 ppm.
Pada tahun 2009, LCROSS mengirim 2.300 kg impaktor ke kawah kutub yang gelap permanen, dan mendeteksi sedikitnya terdapat 100 kg air dalam material ejektor. Analisis data LCROSS lainnya menunjukkan bahwa jumlah air yang terdeteksi mencapai 155 kg.
Pada bulan Mei 2011, Erik Hauri melaporkan adanya 615-1410 ppm inklusi leleh air pada sampel Bulan 74220, “tanah kaca jingga” dengan kandungan titanium tinggi yang berasal dari peristiwa vulkanis yang dikumpulkan dalam misi Apollo 17 pada tahun 1972. Inklusi ini terbentuk saat terjadinya letusan besar di Bulan sekitar 3,7 miliar tahun yang lalu. Konsentrasi ini setara dengan magma di mantel atas Bumi.
Medan gravitasi Bulan telah diukur dengan menggunakan pelacakan pergeseran Doppler pada sinyal radio yang dipancarkan oleh pesawat ruang angkasa yang mengorbit Bulan.
Bentuk gravitasi Bulan yang utama adalah konmas, anomali gravitasi positif yang terkait dengan beberapa basin tubrukan besar, sebagian disebabkan oleh aliran lava basaltik mare padat yang memenuhi basin tersebut.
Anomali ini sangat memengaruhi orbit pesawat luar angkasa di sekitar Bulan. Terdapat beberapa perdebatan mengenai gravitasi Bulan: lava yang mengalir dengan sendirinya tidak bisa menjelaskan bentuk gravitasi Bulan, dan beberapa konmas yang ada sama sekali tidak terkait dengan vulkanisme mare.
Bulan memiliki medan magnet eksternal sekitar 1–100 nanotesla, kurang dari seperseratus medan magnet Bumi. Bulan tidak memiliki medan magnet dipolar global, melainkan dihasilkan oleh geodinamo inti logam cair, dan hanya memiliki magnetisasi kerak, yang mungkin sudah ada pada awal sejarah Bulan ketika geodinamo masih beroperasi.
Selain itu, beberapa sisa magnetisasi berasal dari medan magnet sementara yang dihasilkan ketika terjadinya peristiwa tubrukan hebat, dengan melalui perluasan plasma yang dihasilkan oleh tubrukan. Hipotesis ini didukung oleh magnetisasi kerak yang berlokasi di dekat antipode basin tubrukan besar.
Bulan memiliki atmosfer yang sangat renggang, bahkan hampir hampa, dengan massa total kurang dari 10 ton metrik. Tekanan permukaannya adalah sekitar 3 × 10−15 atm (0,3 nPa); ukurannya bervariasi menurut hari Bulan.
Sumber atmosfer Bulan meliputi pelepasan gas dan pelepasan atom akibat bombardemen tanah Bulan oleh ion angin surya.
Unsur-unsur yang terkandung pada atmosfer Bulan adalah sodium dan potasium, yang dihasilkan oleh pelepasan atom; unsur ini juga ditemukan pada atmosfer Merkurius dan Io.
Unsur lainnya termasuk helium-4 yang dihasilkan dari angin surya; serta argon-40, radon-222, dan polonium-210, yang dilepaskan ke angkasa setelah dihasilkan melalui proses peluruhan radioaktif di dalam kerak dan mantel.
Tidak adanya spesies netral (atom atau molekul) di atmosfer seperti oksigen, nitrogen, karbon, hidrogen dan magnesium, yang terdapat pada regolith, masih belum terjelaskan.
Uap air terdeteksi oleh Chandrayaan-1 dan kandungannya bervariasi menurut garis lintang, dengan titik maksimum ~60–70 derajat; uap air ini diduga dihasilkan melalui proses sublimasi air es di regolith.
Gas-gas ini bisa kembali ke regolith akibat gravitasi Bulan atau lenyap ke luar angkasa, baik melalui tekanan radiasi surya atau, jika terionisasi, tersapu oleh medan magnet angin surya.
Kemiringan sumbu Bulan terhadap ekliptika hanya 1,5424°, jauh lebih kecil dari Bumi (23,44°). Karena hal ini, variasi iluminasi surya pada Bulan memiliki musim yang jauh lebih sedikit, dan detail topografi memiliki peran penting dalam efek perubahan musim.
Berdasarkan foto yang diambil oleh wahana Clementine pada tahun 1994, terdapat empat wilayah pegunungan di pinggiran kawah Peary di kutub utara Bulan, yang diduga tetap disinari oleh Matahari di sepanjang hari Bulan, menciptakan puncak cahaya abadi. Tidak ada wilayah seperti itu yang terdapat di kutub selatan Bulan.
Selain itu, juga terdapat wilayah yang tidak menerima cahaya secara permanen di bagian bawah kawah kutub, dan kawah-kawah gelap ini suhunya sangat dingin; Lunar Reconnaissance Orbiter mencatat suhu musim panas terendah di kawah kutub selatan mencapai 35 K (−238 °C) dan hampir 26 K saat terjadinya titik balik matahari musim dingin di kawah Hermite di kutub utara.
Ini adalah suhu terdingin di Tata Surya yang pernah diukur oleh wahana antariksa, bahkan lebih dingin dari suhu permukaan Pluto. (*)
Sumber: Wikipedia