BERITAALTERNATIF.COM – Rusia dihadapkan dengan pemberontakan di tengah invasinya ke Ukraina setelah tentara bayaran Wagner Group menyerbu markas militer Negeri Beruang Merah di Rostov pada Sabtu (24/6/2023).
Bos Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, bahkan sempat mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Moskow, meski akhirnya batal setelah bernegosiasi dengan pemerintahan Presiden Vladimir Putin.
Padahal, Wagner Group menjadi salah satu paramiliter Rusia yang selama ini diandalkan Moskow membantu invasinya di Ukraina.
Pertama, terkenal brutal. Tentara bayaran Wagner Group kerap mendapat sorotan karena dianggap sebagai kelompok yang brutal dan terlibat dalam banyak pertempuran.
Wagner punya taktik brutal yang disebut ahli militer sebagai “membunuh atau terbunuh”.
Mengutip Visegrad Insight, taktik tak berperasaan itu utamanya dilakukan kala berperang, salah satunya di Ukraina. Wagner membunuh warga sipil di Bucha dan Ukraina timur, menyiksa warga, memperkosa, menjarah, menghilangkan paksa, hingga meledakkan infrastruktur dan bangunan sipil tanpa pandang bulu.
Aksi itu pun sampai membuat Wagner dicap melanggar hukum kemanusiaan internasional oleh intelijen AS. Mereka juga dicap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) oleh sejumlah kelompok HAM.
Ironisnya, sejumlah narapidana yang bergabung dengan Wagner merasa bahwa berperang bersama kelompok itu bisa memperkaya mereka secara spiritual. Padahal, lebih dari 85 persen prajurit Wagner meregang nyawa di medan perang.
Sebuah video beredar di media sosial juga sempat viral lantaran menampilkan eksekusi seorang prajurit Wagner yang membangkang dengan menggunakan palu godam.
Sang pembangkang, dalam video itu, dipukuli kepalanya hingga tewas menggunakan simbol grup Wagner tersebut.
Sadisnya, bos Wagner Yevgeny Prigozhin hanya mengatakan bahwa prajuritnya sedang bersenang-senang.
Lebih dari itu, para prajurit yang kabur atau yang telah menyudahi kontrak dengan Wagner juga mengatakan bahwa Wagner tak pernah memperhatikan prajurit di medan perang. Bahkan, Wagner tak segan mengeksekusi langsung prajuritnya yang menolak berperang.
Kedua, didirikan mantan tentara Rusia. Berdasarkan laporan Uni Eropa, Wagner Group didirikan mantan tentara Rusia Dmitry Utkin sebagai organisasi militer swasta pada 2014.
Utkin memilih nama Wagner lantaran kecintaan dia terhadap komposer anti-Semit Richard Wagner. Jenderal itu juga dilaporkan mengagumi neo-Nazi.
Di tahun yang sama, Wagner pertama kali menunjukkan diri di medan perang saat membantu Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina. Tentara bayaran ini juga disebut terlibat dalam upaya gerakan separatisme di Luhansk dan Donetsk agar merdeka dari Ukraina.
Tak hanya itu, mereka dilaporkan terlibat dalam perang di Libya untuk mendukung Jenderal Khalifa Haftar pada 2019. Ketika itu, Haftar melakukan serangan terhadap pemerintah di Tripoli.
Ketiga, penjaga diktator Omar Al-Bashir. Wagner selama ini dikenal mendukung Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir, yang memerintah Sudan sejak 1993 sampai 2019.
Mengutip Middle East Monitor, Wagner pernah melakukan operasi di Sudan dan Mozambik untuk menyerang kelompok teroris di sana.
Namun, pada Maret 2022, Kementerian Luar Negeri di Khartoum membantah bahwa Wagner pernah beroperasi di Sudan. Dalam pernyataannya, Kemlu menyebutkan Wagner tak pernah ada di Sudan dan segala aktivitas mereka melanggar “hukum dan pemerintahan” Sudan.
“Pelaksanaan, penambangan, dan misi lain mereka bertentangan dengan aturan hukum dan pemerintahan,” demikian keterangan Kemlu, seperti dikutip Middle East Monitor.
Selain Sudan, Wagner juga dikenal beroperasi di Libya karena hubungannya dengan komandan militer Khalifa Hifter.
Mengutip Associated Press News, pakar PBB mengatakan Wagner dikerahkan ke Libya sejak 2018 untuk membantu pasukan Hifter berperang melawan militan Islam di Libya Timur.
Keempat, berasal dari masyarakat miskin. Para prajurit Wagner disebut-sebut berasal dari golongan masyarakat miskin.
Seorang pejabat dari Dinas Keamanan dan Intelijen Moldova (SIS) mengatakan prajurit Wagner memiliki “latar belakang sosial yang tidak stabil”, seperti dikutip New Lines.
“Mereka tidak punya pekerjaan yang stabil, pendapatan yang stabil,” ujarnya.
Para prajurit juga kebanyakan tak mengenyam pendidikan dan berusia antara 18-50 tahun. Namun, sebagian besar pejuang berusia 25 hingga 30 tahun.
Kelima, upah tak sesuai janji. Saat awal bergabung, para prajurit Wagner diiming-imingi upah besar mulai dari 2 ribu dolar atau Rp 30 juta sebulan atau lebih. Itu merupakan nominal yang cukup besar menurut standar Rusia dan Ukraina.
Bahkan, mereka yang punya pengalaman militer bisa menerima gaji dua kali lipat.
Namun demikian, sejumlah bukti menunjukkan bahwa para prajurit ditipu. Para tentara mengaku hanya mendapat gaji yang dijanjikan tersebut selama beberapa bulan pertama sebelum mereka tak lagi digaji atau mendapat upah yang kurang dari yang dijanjikan. (*)
Sumber: CNN Indonesia