Search
Search
Close this search box.

Menghilangkan Pola Komunikasi Buruk

Ilustrasi. (Islampos)
Listen to this article

Bagi seorang mukmin, rumah adalah surga di dunia. “Rumahku adalah surgaku (baiti jannati)” bukan sekedar slogan, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan oleh kaum Muslimin di rumah masing-masing. Bagaimana caranya? Kenalilah suasana surgawi, dan coba wujudkan suasana itu di rumah kita masing-masing.

Menarik untuk diketahui bahwa dalam beberapa ayat Alquran, kondisi surga digambarkan, pertama-tama dengan menunjukkan apa yang “tidak ada” di surga. Surga adalah tempat di mana tak ada perkataan yang sia-sia ataupun yang mengandung tuduhan dosa.

Karena itu, kalau ingin menciptakan suasana surgawi di rumah, pertama-tama, hilangkan hal yang buruk tadi (perkataan sia-sia dan ta’tsim). Dengan cara seperti inilah kita bisa menciptakan pola-pola komunikasi yang sejuk dan tenang di rumah masing-masing, seperti yang terjadi di antara para penghuni surga. Maka, rumah kita akan menjadi rumah yang nyaman dan tenang.

Advertisements

Pola komunikasi penduduk surga dimulai dari menghilangnya ta’tsim dari pikiran kita. Ta’tsim itu memang bisa benar. Artinya apa yang kita sangkakan sebagai dosa pada orang lain itu memang betul-betul ril/nyata. Akan tetapi, ta’tsim bisa juga keliru. Yang kita kira sebagai kesalahan pada orang lain itu sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, ta’tsim bisa saja hanya berupa dugaan yang salah (prasangka). Menariknya, sebagian besar dugaan kita itu masuk ke dalam dugaan yang salah.

Prasangka kita terhadap orang lain (istri atau suami, anak-anak, saudara, orang tua, tetangga, sesama anggota jamaah pengajian, dll), kemungkinan besar jatuh ke dalam kategori salah, karena modelnya memang cukup banyak, di antaranya adalah:

Pertama, kita menduga orang lain melakukan dosa, padahal sebenarnya dia justru sedang melakukan kebaikan kepada kita. Ini adalah tingkatan ta’tsim yang paling buruk. Mungkin hal ini jarang kita lakukan. Tapi ini adalah hal yang bisa saja terjadi dalam kehidupan.

Dulu, Nabi Khidir as melubangi perahu seorang nelayan miskin. Sekilas, itu adalah perbuatan buruk, sehingga Nabi Musa as memprotesnya dengan keras. Tapi, ternyata tindakan itu dilakukan dalam rangka menyelamatkan perahu dari perampokan.

Kedua, kita menduga orang lain melakukan dosa, padahal yang dia lakukan adalah hal yang biasa. Misalnya, kita menduga bahwa pedagang yang menawarkan barang dagangannya dengan harga yang mahal memang berniat untuk menipu kita, atau bahkan menganggap kita orang yang bodoh yang mudah ditipu.

Padahal, menawarkan barang dagangan dengan harga setinggi mungkin adalah hal biasa yang dilakukan seorang pedagang, sebagai ikhtiarnya untuk mendapatkan keuntungan maksimal.

Ketiga, kita menduga orang lain melakukan dosa besar, padahal yang dilakukan adalah dosa yang sepele saja. Perhatikanlah bagaimana kita sering marah untuk kesalahan kecil yang dilakukan orang lain. Atau, perhatikanlah, bagaimana Anda sendiri sering mengeluhkan reaksi orang lain atas kesalahan yang Anda lakukan.

Anda tahu bahwa Anda memang bersalah. Tapi, itu adalah kesalahan kecil yang tidak sepatutnya direaksi dengan kemarahan besar. Apakah, misalnya, memecahkan gelas di dapur harus direspons dengan kemarahan hingga berhari-hari? Maka, ketahuilah bahwa jika Anda melihat kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, dan kesalahan itu merugikan Anda, bisa jadi itu adalah kesalahan kecil yang tidak patut Anda reaksi dengan kemarahan besar.

Keempat, kita menduga orang lain melakukan kesalahan secara sengaja, padahal yang dilakukannya tidak sengaja. Kita bertemu dengan seseorang di jalan. Kita memberi senyuman dan sapaan. Tapi, orang itu cuek saja dan kelihatan melengos. Kita menduganya sebagai bentuk ketidaksopanan. Padahal, orang itu sebenarnya tidak melihat kita.

Itulah beberapa model dan kategori dari ta’tsim yang keliru. Dengan banyaknya model tersebut, berarti kemungkinan salahnya prasangka kita memang menjadi sangat besar. Kita tentu saja harus berhati-hati. Ketika kita memiliki ta’tsim terhadap orang lain, sebagian besarnya adalah salah. Yang kita kira sebagai dosa itu, ternyata di sisi Allah sebenarnya bukan dosa. Karena itulah, Islam dengan tegas menyuruh kita untuk menjauhi praduga, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12)

Ada atau tidak adanya ta’tsim dalam pikiran kita itu sepenuhnya bergantung kepada kita sendiri. Dosa ataupun kesalahan yang ada pada orang lain adalah satu hal. Akan tetapi, menciptakan dugaan adalah hal lain, dan sepenuhnya ada di tangan kita sendiri.

Jika Anda ingin menciptakan surga di rumah, salah satu ikhtiar paling pentingnya adalah menjauhi ta’tsim, menjauhi zhan (prasangka). (*)

Sumber: Safinah Online

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA