Oleh: Ibrahim Amini*
Anak juga seorang manusia dan setiap manusia secara fitriah mencintai dirinya sendiri. Ia berharap orang lain mengakui keberadaannya dan menghormati dirinya. Ketika selainnya menunjukkan sikap menghormatinya, ia akan merasa bangga dan tersanjung. Orang tua yang mencintai anak-anaknya seyogianya memperlihatkan perhatian dan penghormatan kepada mereka. Dalam membina anak, memperlihatkan sikap penghormatan kepada anak dipandang sebagai unsur yang sangat penting.
Seorang anak yang merasa dihormati dan dihargai, akan tumbuh menjadi sosok yang bijak dan bertanggung jawab. Ia selalu berupaya menjaga nama baiknya dan mencegah dirinya dari berbuat kesalahan apa pun. Ia terus berusaha melakukan hal-hal yang baik demi meningkatkan penghormatan orang lain kepadanya. Umumnya, anak yang tidak dihormati orang tuanya akan bersikap sama terhadap orang lain. Seorang anak adalah manusia yang masih kecil. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, ia juga mencintai dirinya sendiri. Ia akan merasa kecil hati bila tidak dihormati dan diperlakukan dengan layak.
Orang tua yang memperlakukan anak-anaknya dengan buruk, tanpa memedulikan perasaan mereka yang terluka, pada dasarnya tengah menanamkan kebencian dalam jiwa mereka yang masih muda. Cepat atau lambat, anak-anak semacam itu akan berubah menjadi orang-orang yang suka bermusuhan dan sangat keras kepala. Orang tua yang bodoh—yang sayangnya, jumlahnya tidak kecil—menganggap bahwa memperlakukan anak-anak dengan penuh penghormatan akan merusak mereka. Mereka bersikap dingin, merendahkan, dan angkuh terhadap anak-anaknya. Dengan cara ini, mereka sedang melemahkan kepribadian anak-anak dan menumbuhkan perasaan rendah diri dalam jiwa mereka yang masih mudah dipengaruhi.
Dari sudut pandang pengasuhan yang baik, sikap orang tua semacam ini ternyata menjadi rintangan utama. Bila orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan penuh penghormatan, niscaya anak akan berusaha membalasnya dengan perlakuan yang sama. Sang anak akan mendapatkan pemahaman sejak masih berusia sangat belia tentang bagaimana orang tuanya memperlakukan dirinya dengan manusiawi dan menghargainya. Karena itu, ia akan menjauhkan diri dari melakukan hal-hal yang buruk di mata masyarakat. Ia akan berupaya melakukan hal-hal yang baik guna mempertahankan perlakuan orang tuanya yang penuh penghormatan terhadap dirinya.
Kekeliruan Masyarakat
Persoalan yang perlu diperhatikan adalah bahwa umumnya dalam masyarakat kita, anak-anak tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka tidak diperlakukan sebagai anggota keluarga hingga mereka tumbuh dewasa. Dalam pelbagai acara peringatan dan perayaan, mereka umumnya diundang dan datang bersama orang tuanya sebagai tambahan. Dalam acara-acara peringatan, mereka ditempatkan di sudut ruangan. Ketika datang dan meninggalkan acara, mereka sama sekali tidak diperhatikan. Dalam kendaraan, mereka tidak memiliki tempat sendiri. Mereka juga berdiri atau duduk di pangkuan ayahnya. Mereka tidak dibolehkan berbicara dalam acara pertemuan. Bahkan, bila mereka memberanikan diri berbicara, orang-orang yang lebih tua tak akan menanggapinya—kalau bukan malah menudingnya telah bersikap lancang.
Penghormatan Islam pada Anak
Islam sangat menekankan pentingnya menunjukkan penghormatan terhadap anak-anak. Rasulullah saw bersabda, “Hormatilah anak-anakmu dan berilah mereka pembinaan yang baik agar Allah Swt mengganjarmu dengan curahan pahala.”
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Orang yang paling hina adalah orang yang tidak menghormati selainnya.”
Kapan pun dan di mana pun, Nabi saw selalu memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang dan penghormatan. Setiap kali beliau kembali dari perjalanannya, anak-anak biasanya berlari-lari menyambutnya. Beliau biasa memeluk dan mencium mereka. Sebagian anak-anak bahkan suka menaiki kuda yang beliau tunggangi. Dan beliau juga meminta sahabat-sahabatnya untuk menaikkan anak-anak yang lain ke atas kuda yang mereka tunggangi. Dengan cara inilah beliau memasuki kota.
Memperlakukan hina anak-anak, sekalipun terhadap bayi yang masih dalam buaian, adalah haram hukumnya. Ummul Fadhl mengatakan, “Suatu hari, Rasulullah saw mengambil Imam Husain yang masih bayi dari gendonganku dan memeluknya. Lalu, sang bayi mengompol sehingga membasahi jubah beliau. Seketika itu pula, saya langsung mengambil sang bayi dari gendongan beliau. Kontan saja, bayi itu menangis. Melihat itu, Rasulullah berkata kepada saya, ‘Wahai Ummul Fadhl, tenanglah. Air dapat membersihkan jubahku. Tapi, siapa yang mampu menghilangkan perasaan tersinggung dan terluka bayi al-Husain ini?’”
Seorang lelaki menulis sebagai berikut, “Aku bukanlah apa-apa di mata orang tuaku. Mereka bukan hanya tidak menghargaiku sama sekali, tapi juga terbiasa mencela dan memarahiku setiap waktu. Mereka tak pernah mengizinkanku melakukan apa pun. Bila aku berinisiatif melakukan beberapa pekerjaan, mereka akan berusaha mencari-cari kesalahanku. Mereka lazim mencelaku di hadapan teman-teman mereka dan teman-temanku. Mereka tak pernah membolehkanku berkata apa pun selagi orang lain berada di sekeliling kami. Semua itu membuatku harus menanggung rasa rendah diri dan malu terhadap diriku sendiri. Aku mulai memandang diriku sebagai sosok yang tidak berguna. Sekarang ini, aku sudah dewasa. Tapi aku terus hidup dan bekerja dalam bayang-bayang rasa putus asa yang sama. Bila dihadapkan dengan tugas yang sulit, aku merasakan diriku tak berdaya dan tak sanggup melakukannya. Aku merasa bahwa disebabkan aku tak mampu menilai sendiri kecakapanku, maka orang lainlah yang harus memberikan penilaian tentangnya. Aku memandang diriku tak berharga dan sama sekali tak punya kemampuan. Aku benar-benar tak punya rasa percaya diri. Bahkan aku merasa tak yakin mampu berbicara di hadapan orang lain. Ketika aku mengungkapkan sesuatu dalam kondisi tertentu, aku memikirkannya selama berjam-jam tentang apakah yang aku kemukakan saat itu benar adanya ataukah tidak.” (*Tokoh Pendidikan Islam)