Oleh: Ibrahim Amini*
Orang-orang dalam sebuah masyarakat beradab tak dapat hidup tanpa hukum. Di mana pun berlaku hukum rimba, di situ tak akan ada masyarakat yang beradab. Menjalankan administrasi yang baik dalam masyarakat sesuai dengan ketetapan hukum merupakan hal yang mutlak penting. Hukum-hukum tersebut dimaksudkan untuk menegakkan aturan dan menyediakan perlindungan bagi penetapan dan pelaksanaan hukuman terhadap pihak yang bersalah.
Hukum-hukum juga mutlak dibutuhkan bagi terciptanya kenyamanan dan keamanan rakyat banyak. Dalam negara-negara yang terjalin saling pengertian yang baik di antara para pembuat hukum dan masyarakat, aturan-aturan hukum dibuat demi kepentingan masyarakat yang pada gilirannya akan mematuhinya. Alhasil, orang-orang di sebuah negara secara umum akan hidup dalam kebaikan bila terikat dengan hukum.
Dalam negara-negara di mana para pembuat hukum diam-diam bekerja dengan motif pribadi, lalu sewaktu menyusun undang-undang tidak memikirkan kesejahteraan penduduk, niscaya masyarakatnya tak akan menghormati hukum sehingga kerusuhan atau ketidaktenteraman akan menggejala di mana-mana. Sayangnya, negara kita pada awalnya menghadapi situasi yang sama (dalam hal ini, yang dimaksudkan penulis adalah keadaan Iran selama masa kekuasaan Syah Iran).
Kebanyakan hukum yang dibuat tidaklah Islami, atau bukan ditujukan untuk kebaikan masyarakat. Hukum-hukum diformulasikan demi kepentingan pihak penguasa dan disesuaikan dengan kemauan kalangan imperialis dan antek-anteknya. Tak secuil pun perhatian diberikan pada keadaan para buruh, pekerja, dan rakyat banyak yang tertindas.
Para pembuat hukum berupaya memperdaya dan membungkam penduduk dengan memberlakukan hukum-hukum yang menindas dan menekan. Namun, lantaran masyarakat Iran merasakan bahwa undang-undang non-islami itu berlawanan dengan kepentingannya, mereka pun tidak menghormati, apalagi mematuhinya. Memang, terdapat beberapa ketetapan hukum dalam undang-undang tersebut yang terbilang baik bagi masyarakat. Namun, disebabkan sistem yang berlaku sudah secara total memusuhi masyarakat, mereka pun menolaknya secara keseluruhan.
Penghormatan terhadap hukum-hukum yang absah dan berpihak pada masyarakat sangatlah penting. Dalam hal ini, para orang tua harus menjelaskan semua itu kepada anak-anaknya. Tatkala melihat orang tuanya menyeberang jalan hanya lewat jembatan atau jalur penyeberangan (zebra crossing), niscaya si anak akan merasa bahwa dirinya juga harus melakukan seperti itu. Ia menjadi terbiasa mengikuti aturan-aturan bagi keselamatan semacam ini dan tak akan pernah melanggarnya.
Para orang tua harus mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mobil-mobil dan kendaraan yang bergerak cepat lainnya punya hak untuk melewati jalan raya dan para pejalan kaki hanya dibolehkan menggunakan sarana penyeberangan ketika bermaksud menyeberang ke sisi lain jalan raya.
Para pejalan kaki yang bersikap seenaknya di jalan raya cenderung melakukan pelanggaran dan juga dapat terkena risiko kecelakaan. Apabila memahami keuntungan dari menghormati dan mematuhi hukum, si anak kelak akan menjadi warga negara yang baik.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Kebiasaan adalah fitrah kedua!” (*Tokoh Pendidikan Islam)