Oleh: Ustadz Sayid Musa Al-Kadzim Alaydrus*
Rasulullah Saw bersabda, “Telah sempurna dari golongan wanita karena empat wanita: Asiah binti Muzahim (istri Fir’aun), Maryam binti Imron (ibunda Nabi Isa), Khadijah binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad.” Mereka merupakan wanita-wanita yang sempurna dalam kemanusiaannya.
Malam hari ini alhamdulillah kita berkesempatan untuk memperingati hari wafatnya Sayidah Khodijah al-Qubra. Ada tiga pembahasan yang akan kita bahas malam hari ini. Pertama, Sayidah Khodijah sang pengantar untuk dekat menuju Allah. Kedua, Sayidah Khodijah adalah puncak kedermawanan. Ketiga, cara kita mendekatkan diri kepada Rasulullah dan Ahlulbait, khususnya Sayidah Khodijah.
Di dalam Alquran, Allah Swt memberikan kita contoh jalan. Banyak sekali jalan menuju Tuhan. Ada beberapa tahapan. Pertama adalah sabil. Artinya jalan. Kalau kita artikan, sabil artinya arah.
Allah berfirman, “Ajaklah mereka yang enggak tahu arah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.”
Misalnya, saya mau pulang ke Samarinda. Saya keluar dari gerbang Yayasan Ghifari ini, ke kanan atau ke kiri? Ketika saya berjalan ke kiri, maka Anda harus menegur saya. Anda boleh menegur saya. Menegur ini enggak bisa dengan paksaan. Banyak orang menunjukkan arah yang benar tetapi dengan cara paksaan. Misalnya, “Kamu jangan berkata demikian. Itu haram.” Kita gunakan cara-cara yang kasar. Orang yang ingin mengikuti jalan yang benar akhirnya enggak mau mengikutinya.
Maka dari itu, Allah berkata, kalau mau mengajak kepada jalan Tuhan, harus dengan hikmah atau kebijaksanaan dan nasihat yang baik.
Ketika orang sudah tahu arahnya mau ke mana, sudah tahu arahnya menuju Tuhan, lalu ada tingkatan kedua. Disebut syariat. Syariat ini rambu-rambunya.
Allah Swt berfirman, “Kemudian kami jadikan engkau mengikuti syariat dari agama itu.”
Ketika manusia sudah mengetahui arahnya mau ke mana, maka sudah pasti arahnya menuju Tuhan. Kita ini sudah pasti menuju Tuhan.
Kalau sudah tahu arah menuju Tuhan, maka kita harus tahu rambu-rambunya. Apa rambu-rambu menuju Tuhan? Kalau kita mau ke Samarinda, keluar dari Yayasan Ghifari ini kita ke kanan. Maka kita harus tahu rambu-rambu lalu lintas. Kalau merah artinya berhenti dan hijau berarti jalan. Kita tahu rambu-rambunya.
Dalam urusan Tuhan juga ada rambu-rambunya yang disebut syariat. Syariat itu rambu-rambu Tuhan. Kalau mau minum khomer, itu lampu merah. Enggak boleh. Kalau mau minum air, itu hijau. Ada rambu-rambu Tuhan. Dilarang putar balik. Kita dilarang kembali pada kerusakan. Itu syariat kita. Semuanya telah diajarkan dalam syariat.
Kalau kita sudah sampai pada syariat, barulah kita masuk ke tahap ketiga. Namanya thoriqoh. Thoriqoh ini jalan pintas menuju Tuhan. Dalam surah Al Jinn, Allah Swt berfirman, “Jika seandainya manusia itu istikamah dalam bertarikat, maka kami akan berikan dia air yang lezat.”
Thoriqoh ini adalah jalan pintas menuju Tuhan. Thoriqoh ini macam-macam: ada thoriqoh naqsabandiyah dan thoriqoh qadiriyah. Kita mempunyai thoriqoh tersendiri yang disebut thoriqoh alawiyyah. Kita mempunyai kitabnya sendiri. Namanya kitab Mafatihul Jinan. Itu adalah jalan pintas kita menuju Tuhan.
Kita sudah mengamalkan fikihnya, syariat-syariatnya. Baru kemudian kita membaca doa-doa. Itu adalah jalan pintas kita menuju Tuhan. Semua manusia mempunyai jalan masing-masing menuju Tuhan. Ada yang dari kiri, kanan, laut, dan sungai. Tapi, mau tak mau harus melewati gerbang depan. Kalau mau ke Yayasan Ghifari, kita harus melewati gerbang depan itu. Kita tak bisa masuk menggunakan tangga.
Jalan satu-satunya menuju Tuhan disebut shirot. Dalam bahasa Arab, shirot tak memiliki kata jamak. Kalau tadi ada jamaknya semua. Sabil, jamaknya subul. Syariat jamaknya syara’i. Kemudian thoriqoh jamaknya at thuruq. Hanya shirot yang tak memiliki kata jamak dalam bahasa Arab.
Jadi, ini adalah satu-satunya jalan bagi kita menuju Tuhan. Setiap hari kita meminta kepada Allah dituntun untuk menuju shirot mustaqim. Kita bertanya, jalan siapakah jalan yang lurus ini? Apakah ada jawabannya? Ternyata Allah telah menyebutkannya dalam surah An-Nisa ayat 69.
Kita sudah Islam, tetapi masih meminta ditunjukkan pada shirot. Allah berfirman, “Kami akan menghidayahi mereka jalan yang lurus.” Allah juga berfirman, “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka merekalah yang diberi nikmat. Mereka adalah sebaik-baik teman seperjalanan.” Teman seperjalanan ini antara lain nabi, shiddiqin, syuhada, dan sholihiin. Cara mudahnya, kita bisa mencari pemimpin-pemimpinnya.
Dalam Alquran, Allah tidak menyebutkan nama, tetapi menjelaskan dengan isyarat. Dari kalangan para nabi, pemimpinnya Nabi Muhammad. Orang shiddiq siapa? Rasulullah bersabda, “Wahai Ali, engkaulah shiddiq yang paling agung.” Siapa yang disebut sayyidu as syuhada (pemimpin orang-orang syahid)? Imam Husein. Lalu, siapa yang kita sebut yaa aba sholeh? Imam Mahdi. Empat manusia inilah yang diberikan nikmat shirot mustaqim.
Kita meminta setiap hari mengikuti jalan mereka. Ahlulbait adalah pintu-pintunya Allah. Lalu, apa hubungannya dengan Sayidah Khodijah? Sebelum ke beliau, kita ke Sayidah Zulaikah terlebih dahulu.
Sayidah Zulaikah adalah saudagar, istrinya pemimpin Mesir di zamannya. Beliau orang kaya. Beliau tergila-gila kepada Nabi Yusuf sampai beliau mau mencelakai Nabi Yusuf. Tetapi, ketika seseorang mencintai maksum, nanti maksum ini yang akan memintakan kepada Allah dan menuntunnya menuju Allah. Ketika Sayidah Zulaikah mencintai Nabi Yusuf, maka dia merasa penasaran terhadap apa yang dicintai Nabi Yusuf. Lalu, dia mencari-carinya. Ternyata yang dicintai Yusuf adalah Allah Swt. Ketika Sayidah Zulaikah sampai kepada Allah, dia sudah melupakan Yusuf. Di akhir, Yusuf yang justru diminta untuk menikahi Sayidah Zulaikah.
Begitu pula dengan yang kita peringati hari ini. Sayidah Khodijah ini adalah seorang kaya. Beliau orang Arab paling kaya di zamannya. Beliau terkenal dengan perdagangannya dari Mekkah menuju Syam.
Beliau belum mengetahui bahwa Nabi Muhammad akan menjadi nabi. Beliau ingin mencari pemimpin yang bisa memimpin rombongannya. Akhirnya, beliau mendapatkan seseorang yang dijuluki shodiqul amin. Dia jujur dan dapat dipercaya. Namanya Muhammad. Nabi diminta untuk mengikuti rombongan. Nabi Muhammad menyetujuinya. Lalu, diutus pula Maisaroh. Maisaroh ini salah satu budak Sayidah Khodijah.
Ketika kembali ke Mekkah, Maisaroh bercerita dengan cerita yang amat menakjubkan. Beliau bercerita kepada Sayidah Khodijah, “Perjalanan kami sungguh sangat istimewa. Di dalam perjalanan kami selalu dinaungi oleh awan. Enggak ada rasa panas sama sekali. Kami selalu dinaungi oleh awan.”
Dalam perdagangan, Nabi Muhammad ini berdagang dengan cara perdagangan yang berbeda daripada yang lain. Beliau menyebutkan modal dan untungnya. Dia menyebutkan semua itu. Keuntungannya semakin berlipat ganda. Dari sinilah Sayidah Khodijah mencintai Nabi Muhammad.
Beliau sendiri yang meminta Nabi Muhammad agar beliau dinikahi. Jadi, yang dilamar adalah Rasulullah. Ketika beliau mencintai Rasulullah, akhirnya beliau menuntun Sayidah khodijah menuju Tuhan.
Kita tahu pedagang itu yang dipikirkan adalah untung dan rugi. Seorang pedagang pasti memikirkan untung dan rugi. Tetapi, ketika beliau sudah bersama Rasulullah, beliau tidak memikirkan itu semua. Semua itu dilupakannya. Semua dikorban demi Rasulullah. Kenapa bisa begini? Kalau seseorang sudah mencintai maksum, maka maksumnya yang akan menuntun kita menuju Tuhan.
Kita pun demikian. Jika kita mencintai Tuhan, kita harus cinta kepada maksumin. Karena itu adalah pintu-pintunya. Itulah yang kita minta setiap hari. Jalan yang lurus itu adalah para maksumin.
Kita mendekati para maksumin melalui Sayidah Khodijah. Kenapa harus dengan Sayidah Khodijah? Karena beliau adalah istri tercinta Nabi Muhammad; istri tercinta Rasulullah. Beliau sering sekali menyebut nama beliau walaupun Sayidah Khodijah sudah lama meninggal dunia. Beliau selalu menyebut nama Sayidah Khodijah, sehingga salah satu istri Nabi cemburu dengan Sayidah Khodijah. Sampai dia menyebut, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi kecuali kepada Khodijah.” (*Disampaikan dalam Peringatan Syahadah Sayyidah Khodijah Al-Qubra di Yayasan Abu Dzar Al-Ghifari Kukar pada 21 Maret 2024)