BERITAALTERNATIF.COM – Bulan menyelesaikan orbit lengkap mengelilingi Bumi setiap 27,3 hari sekali (periode sideris). Akan tetapi, karena Bumi bergerak pada orbitnya mengelilingi Matahari pada waktu yang bersamaan, dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama bagi Bulan untuk memperlihatkan fase yang sama ke Bumi, yaitu sekitar 29,5 hari (periode sinodik).
Tidak seperti kebanyakan satelit planet lainnya, orbit Bulan lebih dekat ke bidang ekliptika daripada ke bidang khatulistiwa planet. Orbit Bulan diperturbasi oleh Matahari dan Bumi dalam cara yang halus dan kompleks. Misalnya, bidang pergerakan orbit Bulan secara bertahap mengalami pergeseran, yang memengaruhi aspek pergerakan Bulan lainnya. Fenomena ini secara matematis dijelaskan oleh Hukum Cassini.
Ukuran Bulan relatif besar jika dibandingkan dengan ukuran Bumi, yakni seperempat dari diameter dan 1/81 dari massa Bumi. Bulan adalah satelit alami terbesar di Tata Surya menurut ukuran relatif planet yang diorbitnya, meskipun Charon lebih besar untuk ukuran planet katai Pluto, yakni sekitar 1/9 dari massa Pluto.
Meskipun demikian, Bumi dan Bulan masih dianggap sebagai sistem planet-satelit, bukannya sistem planet ganda, karena barisentrum kedua benda langit ini berlokasi 1.700 km (sekitar seperempat radius Bumi) di bawah permukaan Bumi.
Bulan berada pada rotasi sinkron; waktu yang dibutuhkan oleh Bulan untuk berputar pada porosnya kira-kira sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengorbit Bumi. Oleh sebab itu, Bulan selalu memperlihatkan sisi yang sama pada Bumi.
Pada awal sejarahnya, perputaran Bulan lebih lambat dan terjadi penguncian pasang surut pada orientasi ini, terutama karena efek friksional deformasi pasang surut yang dipicu oleh Bumi.
Sisi Bulan yang menghadap Bumi disebut dengan sisi dekat, sedangkan sisi yang membelakangi Bumi disebut dengan sisi jauh.
Sisi jauh sering kali disalahartikan sebagai “sisi gelap”, meskipun pada kenyataannya sisi ini diterangi oleh cahaya sebagaimana halnya sisi dekat. Sekali dalam sebulan, sisi dekat yang gelap bisa disaksikan dari Bumi ketika terjadinya fase bulan baru.
Bulan memiliki albedo yang sangat rendah, dengan tingkat kecerahan yang sedikit lebih terang dari aspal hitam. Meskipun demikian, Bulan adalah benda langit yang paling terang di langit setelah Matahari.
Hal ini antara lain disebabkan oleh peningkatan kecerahan akibat efek oposisi; pada fase bulan seperempat, hanya sepersepuluh bagian Bulan yang terang, bukannya seperempat.
Selain itu, konstansi warna pada sistem visual Bulan mengkalibrasi hubungan antara warna objek dan sekitarnya; karena langit di sekitar Bulan relatif gelap, Bulan yang diterangi Matahari tampak sebagai benda langit yang terang.
Bagian pinggir bulan purnama tampak sama terang dengan bagian tengahnya, tanpa pengelaman tungkai, karena sifat reflektif dari tanah Bulan, yang merefleksikan lebih banyak cahaya ke arah Matahari daripada ke arah lainnya.
Bulan terlihat lebih besar saat berada dekat dengan cakrawala, tetapi hal ini hanyalah efek psikologis semata, yang dikenal dengan ilusi Bulan (pertama kali dijelaskan pada abad ke-7 SM).
Besaran busur rata-rata bulan purnama adalah sekitar 0,52° di langit, kira-kira sama dengan ukuran Matahari yang terlihat dari Bumi.
Ketinggian Bulan di langit bervariasi; meskipun memiliki batas yang hampir sama dengan Matahari, ketinggiannya berubah seiring dengan fase Bulan dan perubahan musim dalam setahun, dengan ketinggian tertinggi terjadi saat bulan purnama pada waktu musim dingin.
Siklus simpul Bulan selama 18,6 tahun juga memiliki pengaruh; ketika simpul naik orbit Bulan berada pada ekuinoks vernal, deklinasi Bulan bisa bergerak sejauh 28° setiap bulannya.
Ini berarti Bulan bisa bergerak melintasi garis lintang hingga 28° dari khatulistiwa, bukannya 18°. Orientasi bulan sabit juga bergantung pada garis lintang; di dekat khatulistiwa, bulan sabit bisa diamati dengan teropong bintang.
Jarak antara Bulan dengan Bumi bervariasi, berkisar dari 356.400 km hingga 406.700 km pada perige (titik terdekat) dan apoge (titik terjauh).
Pada tanggal 19 Maret 2011, Bulan saat fase penuh berada pada jarak terdekat dengan Bumi, terdekat sejak tahun 1993, yakni 14% lebih dekat dari posisi terjauhnya di apoge.
Fenomena ini disebut dengan “bulan super”, yang berlangsung selama satu jam pada saat bulan purnama, dan 30% lebih terang daripada biasanya akibat diameter sudutnya 14% lebih besar.
Pada tingkat terendahnya, kecerahan Bulan dari Bumi akan berkurang jika dilihat dengan mata telanjang.
Ketika reduksi aktual adalah 1,00 / 1,30, atau sekitar 0,770, reduksi terasa kira-kira 0,877, atau 1,00 / 1,14. Hal ini menyebabkan meningkatnya reduksi terasa hingga 14% antara apoge dan perige Bulan pada fase yang sama.
Terdapat perdebatan mengenai apakah permukaan Bulan berubah dari waktu ke waktu. Saat ini, fenomena tersebut dianggap sebagai ilusi semata, yang diakibatkan oleh pengamatan Bulan dalam kondisi pencahayaan yang berbeda, penglihatan astronomi yang buruk, atau gambar yang tidak memadai.
Akan tetapi, pelepasan gas kadang-kadang juga terjadi, dan diduga merupakan peristiwa yang menyebabkan fenomena Bulan sementara.
Baru-baru ini, muncul pendapat yang menyatakan bahwa sekitar 3 km diameter permukaan Bulan dimodifikasi oleh peristiwa pelepasan gas, yang terjadi sekitar satu juta tahun yang lalu.
Penampakan Bulan, seperti halnya Matahari, dipengaruhi oleh atmosfer Bumi; efek umumnya adalah cincin halo 22° yang terbentuk saat cahaya Bulan dibiaskan oleh kristal es di awan cirrostratus, dan terbentuknya cincin korona yang lebih kecil saat Bulan ditutupi oleh awan tipis.
Pasang surut di Bulan umumnya disebabkan oleh adanya kecepatan perubahan intensitas daya tarik gravitasi Bulan pada salah satu sisi Bumi terhadap sisi lainnya, atau disebut dengan gaya pasang surut.
Fenomena ini membentuk dua tonjolan pasang surut di Bumi, yang akan terlihat jelas di permukaan laut setelah air surut.
Karena Bumi berputar 27 kali lebih cepat daripada Bulan, tonjolan ini bergerak bersama permukaan Bumi lebih cepat daripada pergerakan Bulan, yang berputar mengelilingi Bumi sekali sehari sebagaimana Bulan berputar pada sumbunya.
Pasang surut juga dipengaruhi oleh efek lainnya, di antaranya gaya gesek air terhadap sumbu rotasi Bumi melalui lantai samudra, inersia pergerakan air, basin samudra yang mengalami pendangkalan, dan osilasi antara basin samudra berbeda.
Daya tarik gravitasi Matahari terhadap samudra Bumi hampir setengah dari daya tarik gravitasi Bulan, dan gravitasi kedua benda langit ini berperan penting dalam menyebabkan pasang surut perbani dan musim semi.
Interaksi gravitasi antara Bulan dan tonjolan di sekitar Bulan berfungsi sebagai torsi pada rotasi Bumi, yang menguras momentum sudut dan energi kinetik rotasi dari perputaran Bumi.
Akibatnya, momentum sudut disertakan ke orbit Bulan, yang mempercepat rotasinya dan menyebabkan Bulan naik ke orbit yang lebih tinggi dan dengan periode yang lebih lama.
Oleh sebab itu, jarak antara Bumi dengan Bulan juga akan meningkat, dan perputaran Bumi akan melambat.
Pengukuran dengan metode eksperimen rentang Bulan menggunakan reflektor laser yang dilakukan dalam misi Apollo menemukan bahwa jarak Bulan ke Bumi meningkat sekitar 38 mm per tahun (meskipun angka ini hanya 0,10 ppb/tahun dari radius orbit Bulan).
Jam atom juga menunjukkan bahwa lama hari di Bumi meningkat sekitar 15 mikrodetik per tahun, yang secara perlahan-lahan memperpanjang waktu UTC yang disesuaikan oleh detik kabisat.
Tarikan pasang surut Bulan akan terus berlanjut sampai perputaran Bumi dan periode orbit Bulan sesuai. Namun, Matahari akan berubah menjadi raksasa merah dan memusnahkan Bumi jauh sebelum hal tersebut terjadi.
Permukaan Bulan juga mengalami pasang surut dengan amplitudo ~10 cm, yang berlangsung selama 27 hari lebih. Fenomena ini disebabkan oleh dua hal, yakni karena Bulan dan Bumi berada pada rotasi sinkron, dan berbagai hal yang disebabkan oleh Matahari.
Komponen Bumi yang diinduksi terbentuk karena librasi, yang diakibatkan oleh eksentrisitas orbit Bulan; jika orbit Bulan bulat sempurna, maka yang akan muncul hanyalah pasang surut surya.
Librasi juga mengubah sudut penampakan Bulan, yang menyebabkan sekitar 59% permukaan Bulan terlihat dari Bumi.
Efek kumulatif dari fenomena pasang surut memicu terjadinya gempa bulan. Gempa bulan ini lebih jarang terjadi dan lebih lemah kekuatannya daripada gempa bumi, meskipun gempa ini dapat bertahan hingga satu jam karena ketiadaan air yang berfungsi sebagai peredam getaran seismik.
Fenomena gempa bulan ini merupakan penemuan tak terduga dari seismometer yang diletakkan di Bulan oleh astronaut Apollo dari tahun 1969 hingga 1972.
Gerhana bisa terjadi saat Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada satu garis lurus (disebut dengan “syzygy”). Gerhana matahari terjadi ketika bulan baru, saat Bulan berada di antara Matahari dan Bulan. Sebaliknya, gerhana bulan terjadi saat bulan purnama, ketika Bumi berada di antara Matahari dan Bulan.
Ukuran Bulan yang terlihat dari Bumi kira-kira sama dengan ukuran Matahari. Akan tetapi, ukuran Matahari jauh lebih besar daripada ukuran Bulan; jarak antara Matahari dan Bulan yang sangat jauh menyebabkan ukuran kedua benda langit ini tampak sama dari Bumi.
Variasi ukuran ini, yang disebabkan oleh orbit nonsirkuler, juga hampir sama, meskipun terjadi dalam siklus yang berbeda. Hal ini mengakibatkan terjadinya gerhana matahari total (saat Bulan tampak lebih besar daripada Matahari) dan cincin (saat Bulan tampak lebih kecil dari Matahari).
Saat gerhana total, Bulan sepenuhnya menutupi cakram Matahari dan korona surya, yang bisa diamati dengan mata telanjang dari Bumi.
Karena jarak antara Matahari dan Bulan meningkat secara perlahan dari waktu ke waktu, diameter sudut Bulan mengalami penurunan.
Selain itu, karena Matahari berevolusi menjadi raksasa merah, ukuran Matahari dan diameter tampaknya di langit juga meningkat secara perlahan.
Perpaduan kedua fenomena ini membuktikan bahwa ratusan juta tahun yang lalu, Bulan akan selalu menutupi Matahari ketika terjadinya gerhana matahari, dan mungkin tidak ada gerhana cincin yang terjadi pada saat itu.
Demikian pula ratusan juta tahun yang akan datang, Bulan tak lagi menutupi Matahari sepenuhnya, dan gerhana matahari total tidak akan terjadi.
Orbit Bulan yang mengelilingi Bumi mengalami inklinasi sekitar 5° dari orbit Bumi mengelilingi Matahari, sehingga gerhana tidak terjadi pada setiap bulan baru dan bulan purnama. Gerhana akan terjadi jika Bulan berada di dekat persimpangan dua bidang orbit.
Periodisasi dan rekurs gerhana matahari oleh Bulan, serta gerhana bulan oleh Bumi, bisa dijelaskan melalui teori saros, yang memiliki jangka waktu sekitar 18 tahun.
Karena Bulan menghalangi pandangan manusia sekitar setengah derajat lingkaran pada area langit, fenomena terkait seperti okultasi terjadi saat sebuah bintang atau planet terang melintas di bagian belakang Bulan dan mengalami okultasi, atau tersembunyi dari pandangan.
Serupa dengan fenomena ini, gerhana matahari terjadi saat Matahari tersembunyi dari pandangan karena tertutup oleh Bulan. Karena jarak Bulan lebih dekat dengan Bumi, okultasi bintang tunggal tidak bisa terlihat dari tempat mana pun di permukaan Bumi pada waktu yang bersamaan. Presesi pada orbit Bulan juga menyebabkan terjadinya okultasi yang berbeda setiap tahunnya.
Pemahaman mengenai siklus Bulan menandai awal perkembangan ilmu astronomi; pada abad ke-5 SM, astronom Babilonia telah mencatat siklus Saros 18 tahunan pada gerhana bulan, dan astronom India telah menjelaskan mengenai fenomena elongasi Bulan.
Astronom Tiongkok Shi Shen (abad ke-4 SM) memberi petunjuk yang terkait dengan cara memperkirakan gerhana matahari dan bulan. Kemudian, bentuk fisik Bulan dan sumber cahaya bulan mulai diketahui.
Filsuf Yunani kuno Anaxagoras (w. 428 SM) mengemukakan bahwa Matahari dan Bulan merupakan dua buah batu bulat raksasa yang menghasilkan cahaya.
Bangsa Tiongkok pada masa Dinasti Han percaya bahwa energi Bulan sama dengan qi, dan teori mereka mengenai pengaruh radiasi Bulan menjelaskan bahwa cahaya Bulan berasal dari Matahari. Jing Fang (78–37 SM) mencatat kebulatan Bulan untuk pertama kalinya.
Pada abad ke-2 M, Lucian menulis sebuah novel yang mengisahkan mengenai seorang pahlawan yang melakukan perjalanan ke Bulan yang berpenghuni.
Pada tahun 499 M, astronom India Aryabhata menulis dalam bukunya Aryabhatiya bahwa cahaya Matahari menyebabkan Bulan tampak bersinar.
Astronom dan fisikawan Alhazen (965-1039) mengungkapkan bahwa cahaya matahari tidak dipancarkan dari Bulan seperti sebuah cermin, tetapi cahaya tersebut dipancarkan ke segala arah dari setiap bagian permukaan Bulan yang diterangi oleh cahaya matahari.
Shen Kuo (1031–1095) dari Dinasti Song mengemukakan sebuah alegori yang mengumpamakan fenomena bersinar dan memudarnya cahaya Bulan dengan sebuah bola yang berputar; saat dibubuhi dengan bubuk putih dan dilihat dari samping, maka akan terlihat bentuk sabit.
Dalam deskripsi alam semesta karya Aristoteles (384-322 SM), Bulan menandai batas antara unsur yang bisa berubah (bumi, air, udara, dan api) dengan bintang-bintang abadi aether, pemikiran filsafat berpengaruh yang mendominasi sains selama berabad-abad kemudian.
Pada abad ke-2 SM, Seleucus dari Seleucia mengemukakan teori bahwa pasang surut terjadi karena daya tarik Bulan, dan ketinggian air pasang ditentukan oleh posisi relatif Bulan terhadap Matahari.
Pada abad yang sama, Aristarchus menghitung ukuran dan jarak Bulan dari Bumi, dengan jarak sekitar dua puluh kali radius Bumi. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Ptolemy (90–168 M): ia berpendapat bahwa jarak rata-rata Bulan dari Bumi adalah 59 kali radius Bumi dan diameter 0,292 dari diameter Bumi. Angka ini hampir mendekati jarak dan diameter yang sebenarnya, yakni sekitar 60 untuk jarak dan 0,273 untuk diameter.
Archimedes (287–212 SM) merancang sebuah planetarium yang bisa menghitung laju pergerakan Bulan dan objek lainnya di Tata Surya.
Pada Abad Pertengahan, sebelum ditemukannya teleskop, Bulan diyakini sebagai sebuah bola batu, meskipun juga banyak yang percaya bahwa permukaan bulan “sangat halus”.
Pada tahun 1609, Galileo Galilei untuk pertama kalinya membuat sebuah gambar teleskopis Bulan dalam bukunya yang berjudul Sidereus Nuncius dan menjelaskan bahwa permukaan Bulan tidak halus, tetapi memiliki pegunungan dan kawah.
Pemetaan teleskopis Bulan terus berlanjut di sepanjang Abad Pertengahan; pada abad ke-17, Giovanni Battista Riccioli dan Francesco Maria Grimaldi berhasil menciptakan sebuah sistem penamaan geologi Bulan yang tetap digunakan hingga saat ini.
Mappa Selenographica karya Wilhelm Beer dan Johann Heinrich Mädler (1834-1836), serta buku Der Mond (1837), merupakan buku pertama yang secara akurat menjelaskan penelitian mengenai Bulan dari sudut pandang trigonometri, termasuk ketinggian lebih dari seribu gunung di Bulan, dan memperkenalkan penelitian Bulan dengan tingkat akurasi yang bisa diukur oleh geografi Bumi.
Kawah Bulan pertama kali dicatat oleh Galileo, dan awalnya dianggap sebagai gunung berapi sampai tahun 1870-an, dan kemudian Richard Proctor menjelaskan bahwa kawah-kawah tersebut terbentuk akibat tubrukan.
Pendapatnya ini didukung oleh eksperimen yang dilakukan oleh geolog Grove Karl Gilbert pada tahun 1892, dan setelah perkembangan studi komparatif pada 1920-an hingga 1940-an, stratigrafi Bulan menjadi cabang ilmu astrogeologi baru pada tahun 1950-an.
Perang Dingin mendorong terjadinya Perlombaan Angkasa antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, yang menyebabkan adanya akselerasi kepentingan dalam penjelajahan Bulan.
Setelah peluncur memiliki kemampuan yang diperlukan, kedua negara ini mengirim wahana nirawak melalui misi orbit ataupun misi pendaratan di Bulan. Wahana buatan Soviet, Luna, adalah wahana pertama yang berhasil mencapai tujuan.
Setelah meluncurkan tiga misi nirawak dan mengalami kegagalan pada tahun 1958, benda buatan manusia pertama yang keluar dari gravitasi Bumi dan melintas di dekat Bulan adalah Luna 1; benda buatan manusia pertama yang menabrak permukaan Bulan adalah Luna 2, dan foto pertama sisi jauh Bulan dipotret oleh Luna 3, semuanya dilakukan pada tahun 1959.
Wahana antariksa pertama yang berhasil melakukan pendaratan lunak di permukaan Bulan adalah Luna 9, dan wahana nirawak pertama yang mengorbit Bulan adalah Luna 10, keduanya terjadi pada tahun 1966.
Sampel tanah dan batuan Bulan dibawa ke Bumi oleh tiga misi pengembalian sampel Luna, yakni Luna 16 pada 1970, Luna 20 pada 1972, dan Luna 24 pada 1976, yang berhasil membawa 0,3 kg batuan dan tanah Bulan. Dua rover robotika perintis mendarat di Bulan pada tahun 1970 dan 1973 sebagai bagian dari program Lunokhod Soviet.
Amerika Serikat meluncurkan wahana nirawak untuk mengembangkan pemahaman mengenai permukaan Bulan demi kepentingan pendaratan berawak di kemudian hari; program Surveyor Jet Propulsion Laboratory mendaratkan wahana pertamanya empat bulan setelah peluncuran Luna 9.
Program Apollo berawak NASA dikembangkan secara paralel; setelah serangkaian pengujian nirawak dan berawak pada wahana Apollo di orbit Bumi, dan didorong oleh rencana peluncuran penerbangan Bulan Soviet, Apollo 8 mengirimkan misi berawak pertama ke orbit Bulan pada tahun 1968.
Misi berikutnya berhasil mendaratkan manusia untuk pertama kalinya di permukaan Bulan, yang dipandang oleh banyak pihak sebagai puncak Perlombaan Angkasa.
Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang berjalan di permukaan Bulan sebagai pemimpin misi Apollo 11 Amerika Serikat; ia menjejakkan langkah pertamanya di permukaan Bulan pada pukul 02:56 UTC tanggal 21 Juli 1969.
Misi Apollo 11 hingga 17 (kecuali Apollo 13, yang pendaratannya dibatalkan) berhasil kembali ke Bumi dengan membawa 382 kg tanah dan batuan Bulan dalam 2.196 sampel terpisah.
Pendaratan Bulan Amerika Serikat dipicu oleh kemajuan teknologi yang cukup pesat pada akhir 1960-an, misalnya kimia ablasi, rekayasa perangkat lunak, dan teknologi penetrasi atmosfer, serta manajemen yang sangat kompeten sehubungan dengan upaya teknis yang besar.
Sejumlah instrumen ilmiah dipasang di permukaan Bulan selama misi pendaratan Apollo. Stasiun instrumen berumur panjang, termasuk kapsul beraliran panas, seismometer, dan magnetometer, dipasang di lokasi pendaratan Apollo 12, 14, 15, 16, dan 17.
Transmisi data langsung ke Bumi di akhiri pada tahun 1977 karena pertimbangan anggaran, tetapi setelah stasiun rentang laser Bulan menjadi instrumen pasif, transmisi data masih terus dilakukan.
Komunikasi jarak di stasiun secara rutin diterima oleh stasiun Bumi dengan akurasi beberapa sentimeter, dan data dari eksperimen ini digunakan untuk menentukan ukuran inti Bulan.
Pasca-Apollo dan Luna, semakin banyak negara yang terlibat dalam penjelajahan Bulan secara langsung.
Pada tahun 1990, Jepang menjadi negara ketiga yang mengirimkan pesawat luar angkasa ke orbit Bulan dengan meluncurkan wahana Hiten. Wahana ini diluncurkan dengan kapsul yang lebih kecil bernama Hagoromo di orbit Bulan, tetapi transmisi data gagal dilakukan, sehingga misi ini dihentikan.
Pada tahun 1994, Amerika Serikat meluncurkan wahana Clementine ke orbit Bulan, yang merupakan misi gabungan antara Departemen Pertahanan dan NASA. Misi ini berhasil memotret peta topografi Bulan dalam jarak dekat dan mengambil foto multispektral permukaan Bulan untuk pertama kalinya.
Misi ini diikuti oleh misi Lunar Prospector pada tahun 1998, yang berhasil menemukan adanya kelebihan hidrogen di kutub Bulan, yang diduga disebabkan oleh keberadaan air es beberapa meter di atas regolith di dalam kawah gelap permanen.
SMART-1, pesawat luar angkasa Eropa yang merupakan wahana bertenaga ion kedua, berada di orbit Bulan sejak tanggal 15 November 2004, dan dihentikan setelah pengendalinya menabrak Bulan pada 3 September 2006. Misi ini merupakan misi pertama yang berhasil menyurvei secara rinci unsur kimia di permukaan Bulan.
Tiongkok juga sangat berambisi untuk meluncurkan program penjelajahan Bulan, dimulai dengan Chang’e 1, yang berhasil mengorbit Bulan dari 5 November 2007 hingga akhirnya menabrak Bulan pada 1 Maret 2009.
Dalam misi selama enam belas bulan, wahana ini berhasil mengambil foto Bulan secara keseluruhan. Tiongkok melanjutkan keberhasilan ini dengan meluncurkan Chang’e 2 pada bulan Oktober 2010, yang mencapai Bulan dua kali lebih cepat daripada Chang’e 1.
Misi ini berhasil memetakan Bulan dalam resolusi yang lebih tinggi dalam waktu sekitar delapan bulan, kemudian meninggalkan orbit Bulan untuk mengamati perluasan titik Lagrangian L2 Bumi-Matahari.
Wahana ini terbang melintasi asteroid 4179 Toutatis pada 13 Desember 2012, dan kemudian lenyap ke angkasa luar.
Pada tanggal 14 Desember 2013, Chang’e 3 melanjutkan misi pendahulunya dengan mengirimkan sebuah pendarat ke permukaan Bulan, yang pada akhirnya meluncurkan sebuah penjelajah Bulan bernama Yutu (Mandarin: 玉兔; secara harfiah “Kelinci”).
Dengan demikian, Chang’e 3 merupakan wahana pertama yang melakukan pendaratan lunak di permukaan Bulan sejak Luna 24 pada tahun 1976, dan juga misi pertama yang meluncurkan penjelajah sejak Lunokhod 2 pada 1973.
Antara 4 Oktober 2007 dan 10 Juni 2009, Badan Penjelajahan Antariksa Jepang meluncurkan misi Kaguya (Selene), pengorbit Bulan yang dilengkapi dengan kamera video berdefinisi tinggi dan dua satelit pemancar radio kecil.
Misi ini berhasil memperoleh data geofisika Bulan dan mengambil video berdefinisi tinggi dari luar orbit Bumi untuk pertama kalinya.
Misi penjelajahan Bulan pertama India, Chandrayaan I, mengorbit Bulan dari 8 November 2008 sampai kehilangan kontak pada 27 Agustus 2009, yang melakukan pemetaan fotogeologi dan mineralogi permukaan Bulan dalam resolusi tinggi. Misi ini juga menemukan keberadaan molekul-molekul air di dalam tanah Bulan.
Indian Space Research Organisation berencana untuk meluncurkan Chandrayaan II pada tahun 2013, yang juga disertai dengan sebuah robot penjelajah Bulan milik Rusia. Akan tetapi, kegagalan misi Fobos-Grunt Rusia menyebabkan proyek ini mengalami penundaan.
Misi Bulan masa depan lainnya adalah Luna-Glob Rusia; yang meliputi sebuah pendarat nirawak, rangkaian seismometer, dan pengorbit yang serupa dengan misi Fobos-Grunt Mars yang gagal.
Penjelajahan Bulan yang didanai swasta dikembangkan oleh Google Lunar X Prize, diumumkan pada 13 September 2007, yang menawarkan uang senilai US$ 20 juta bagi siapa saja yang bisa mendaratkan sebuah robot penjelajah di Bulan dan yang memenuhi kriteria tertentu lainnya.
Shackleton Energy Company sedang mengembangkan sebuah program untuk melakukan operasi di kutub selatan Bulan dalam rangka mengumpulkan air untuk memasok Propellant Depot milik mereka.
NASA berencana untuk melanjutkan misi berawak setelah adanya seruan dari Presiden AS George W. Bush pada 14 Januari 2004 untuk meluncurkan misi berawak ke Bulan pada tahun 2019, serta membangun sebuah pangkalan di Bulan pada tahun 2024.
Akan tetapi, program tersebut dibatalkan demi rencana pendaratan berawak di sebuah asteroid pada tahun 2025 dan misi pengorbit Mars berawak yang rencananya akan diluncurkan pada tahun 2035. (*)
Sumber: Wikipedia