Oleh: Leonita Lestari*
Tiba-tiba raksasa militer Eropa dengan pemerintahan fasisnya itu menggulung Polandia. Tak butuh waktu lama, segera saja Eropa terbakar dalam perang besar, Perang Dunia I.
Serangan Jerman ke Polandia pada 1 September 1939 itu oleh banyak ahli sejarah dianggap sebagai titik awal perang yang kelak menarik turut serta melibatkan banyak negara, serta-merta konstelasi peta kekuasaan dan politik dunia pun berubah. Dan itu termasuk apa yang kemudian terjadi di Indonesia yang saat itu masih menjadi bagian dari koloni Kerajaan Belanda bernama Hindia Belanda.
Di sisi dunia yang lain, di Asia, dua tahun sebelumnya, sejak 7 Juli 1937, Jepang justru sudah menyerang Tiongkok. Kekaisaran Jepang sejak awal sudah terlihat berusaha mendominasi Asia Timur dan memulai perang tersebut. Puncak kegilaan Jepang adalah saat secara mendadak menyerang Pearl Harbor, pada 7 Desember 1941. Itu mereka lakukan tak lama setelah Jepang menyatakan diri bergabung dengan blok Poros bersama Jerman.
Di Eropa, laju panser Jerman tak lagi dapat dibendung. Hanya berjarak tujuh bulan sejak Polandia tumbang, Belanda pun akhirnya menyerah. Itu terjadi pada 14 Mei 1940. Untuk sesaat koloninya yang bernama Hindia Belanda itu dikendalikan oleh keluarga Kerajaan yang harus mengungsi di Inggris. Namun, itu pun tak berlangsung lama.
Hanya sejengkal jarak, pada tanggal 27 September 1940, Jerman, Hongaria, Italia, dan Jepang menandatangani sebuah perjanjian yang mencakup “lingkup pengaruh”. Hindia Belanda sebagai bagian Belanda namun berada di Asia Tenggara, tiba-tiba dimasukkan ke wilayah lingkup pengaruh Jepang. Itu menjadi wilayah urusan Jepang.
Maka, seperti membawa surat bermaterai, merasa memiliki hak legal, pasukan bela diri Jepang pun dengan cepat menuju ke Indonesia. Tak butuh waktu lama, seperti barisan semut yang dengan mudah selalu dapat menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya, setelah menghajar koloni Inggris dan Amerika di seluruh kawasan Asia Tenggara, mereka sampai di Indonesia pada 1942. Itu terjadi pada 10 Januari 1942.
Dan Hindia Belanda benar-benar terkabarkan takluk dan kalah saat Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) menyerah pada 8 Maret 1942 di Jawa. Masa kelam rakyat Hindia Belanda pun menanti.
Meski hanya berlangsung tiga tahun lebih sedikit, sengsara rakyat dalam arti sempurna, terjadi pada masa-masa pendek ini. Konon, menurut laporan PBB, empat juta orang meninggal saat Jepang berkuasa di Indonesia. Jadi, meski Jepang hanya 3,5 tahun, namun dampak yang diakibatkannya jauh lebih mengerikan dibanding Belanda yang 350 tahun itu?
Persepsi 350 tahun seharusnya tak boleh kita pertahankan selalu. Pada satu kondisi, itu seperti terlalu menggeneralisir sebuah peristiwa.
Ingat Surya Darmadi, bos PT Darmex Group atau PT Duta Palma Group yang konon diduga telah merugikan negara hingga jumlah Rp 78 triliun itu? Tak adakah unsur dan peran oknum “pemerintah” pada kisahnya?
Ingat, dia adalah salah satu orang terkaya ke-28 di Indonesia menurut Forbes pada 2018 dengan nilai kekayaan US$ 1,45 miliar. Di sana ada Darmex Agro Group yang merupakan perusahaan produksi dan pengekspor minyak sawit terbesar di Indonesia, dan memiliki areal perkebunan yang tersebar di Provinsi Riau.
Bila ada unsur oknum pemerintah di dalam kegiatannya, kita tak serta-merta bisa bilang bahwa pemerintah Indonesia ada di balik kegiatan ilegal itu.
Pun seharusnya VOC, meski tak sama dalam kewenangan yang diberikan oleh negara asal, tetap saja dia adalah entitas perusahaan. Meski mustahil tak ada unsur oknum negara di dalamnya, namun jelas itu bukan negara. Bila pada 20 Maret 1602 para pedagang Belanda itu mendirikan VOC, Verenigde Oostindische Compagnie, maka tak ada salahnya bila titik awal kita hitung sejak tanggal dan tahun itu.
Bukan Hindia Belanda dengan teritori seperti Indonesia saat ini. Saat itu, VOC lebih mendominasi pada wilayah Jawa dan sekitarnya saja. Banyak daerah tetap independen dan berdiri sendiri selama periode ini, termasuk Aceh, Bali, Lombok dan Kalimantan. Dan hingga perusahaan itu bubar pada 31 Desember 1799 atau sehari menuju tahun 1800, tak lama dari jarak itu Perancis pun masuk. Itu terjadi hanya berjarak enam tahun sejak masa kolonisasi Belanda mereka terapkan pada Hindia Belanda. Tepatnya pada 1806.
Saat itu Belanda kalah oleh Napoleon dan negara itu dikuasai oleh Perancis. Dan di bawah dominasi Kekaisaran Perancis, Kaisar Napoleon I menunjuk saudaranya Louis Bonaparte untuk menduduki takhta Belanda.
Penobatan Marsekal Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808 hingga tahun 1811, itu adalah periode atau saat Perancis berkuasa. Artinya, baru saja entitas negara Belanda berkuasa di Hindia Belanda selama enam tahun, Perancis sudah mengambil alih.
Luar biasanya, Inggris sebagai musuh utama Perancis saat itu, mampu mengusir kekuasaan negara itu di Jawa. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pun berganti pada Thomas Stamford Raffles. Artinya, sejak 1811 hingga 1816 Hindia Belanda berpindah tangan lagi dan kali ini pada Inggris.
Ya, sejak kekalahan Napoleon pada Pertempuran Waterloo tahun 1815 dan Kongres Wina, kontrol Belanda atas wilayah Hindia Belanda pun dipulihkan pada tahun 1816. Hingga tahun 1835, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Graaf van den Bosch pun masih membatasi perhatiannya hanya untuk Pulau Jawa, Sumatra dan Bangka.
Dan baru sekitar tahun 1840 saja ekspansi nasional Belanda dimulai. Serta-merta mereka mengobarkan serangkaian perang untuk memperbesar dan mengonsolidasikan koloni mereka di pulau-pulau terluar.
Di sana ada kisah heroik perang Banjarmasin, Perang Aceh, Perang Bali hingga perlawanan masyarakat Lombok. Sejak saat itu Belanda memang tidak terlihat hanya ingin berkuasa secara ekonomi saja, namun lebih pada konsep kolonialisme.
Dan atas kisah itu, Belanda pun secara signifikan mampu menetapkan wilayah jajahannya secara lebih terperinci. Kelak, setelah Perang Dunia I, ketika kemudian LBB lahir, batas-batas itu didaftarkan. Ya, konon tak lama setelah LBB dibentuk setelah perang dunia usai, dia meminta semua negara anggotanya mendaftarkan wilayahnya.
Belanda tak ketinggalan melaporkan miliknya yang bernama Hindia Belanda. Pada sertifikat yang didaftarkan oleh Belanda itu, pasti ada kisah batas dari Sabang sampai Merauke. Batas-batas itu bukan seperti Majapahit, Singhasari atau Sriwijaya pernah miliki. Ini tentang Belanda yang secara tak sengaja justru telah menyatukan apa yang kemarin terserak setelah kerajaan-kerajaan besar itu runtuh.
Di sana, cikal bakal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia justru seperti telah disusun. Belanda secara tak sengaja justru seperti telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Maksudnya? Bangsa itu konon telah menghisap kekayaan kita hingga mereka menjadi sangat kaya jelas bukan katanya. Itu fakta. Bangsa itu telah berlaku sangat tak adil pada pribumi bukan pula isapan jempol belaka. Itu dapat dengan mudah kita buktikan.
Namun, mereka menyatukan kembali apa yang telah tercerai-berai dalam satu wadah besar bernama Hindia Belanda dan kemudian disertifikatkan di LBB setelah Perang Dunia II, yakni sekitar tahun 1920-an. Jelas, ini adalah sesuatu banget. Itu luar biasa besar maknanya. Dan itu kelak akan ditangkap oleh generasi 1928 dalam Sumpah Pemuda.
Itu juga dimulai dengan kisah tanam paksa yang sangat menyengsarakan rakyat sebagai sebuah periode kelam. Kelak apa itu kelam justru memancing gerakan munculnya kaum Etis. Dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan van Deventer (politikus), ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.
Politik etis atau politik balas budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Dan benar, pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik takhta pun serta-merta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda.
Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer. Di sana irigasi bagi rakyat dibangun, imigrasi dikampanyekan dan pendidikan untuk pribumi diselenggarakan.
Seperti sudah menjadi takdir, seperti bola salju, keputusan itu memantik kisah Budi Utomo, peristiwa Sumpah Pemuda dan berujung pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai gerakan logis rakyat yang berpendidikan.
Dan satu hal yang luar biasa, ketika kita memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, batas Sabang hingga Merauke sebagai batas resmi yang telah terdaftar di LBB sebagai seolah sertifikat resmi luas wilayah Hindia Belanda, mau tidak mau menjadi wilayah negara baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hukum internasional itu disebut dengan Uti Possidetis Juris. Prinsip hukum yang menyatakan bahwa teritori dan properti lainnya tetap di tangan pemiliknya pada akhir konflik.
Artinya, apa yang menjadi milik Belanda pada “obyek” bernama Hindia Belanda itu tak boleh berkurang ketika dia pulang pada pemilik aslinya yakni rakyat Indonesia. Bahwa itu ternyata harus menunggu Jepang menyerah dan di saat jeda tak bertuan, Soekarno-Hatta justru mencari celah memproklamirkan merdeka itu. Itu tentang hebat mereka sebagai bapak bangsa.
Jepang yang sudah tahu akan kalah konon juga telah bersiap. Bersama para pintar republik ini mereka telah mempersiapkan BPUPKI dan nanti PPKI akan segera menggantikannya. Namun, upaya Jepang agar itu seolah pemberian mereka, itu pun gagal. Mereka memberi izin dilakukan pada 24 Agustus namun kita memilih 17 Agustus.
Bahwa ketika Belanda kemudian datang dan ingin kembali mengambil apa yang kemarin dirasakan sebagai miliknya, itu sudah tidak ada lagi. Sang pemilik asli telah meminta kembali. Perang mempertahankan kemerdekaan berakhir dengan Konferensi Meja Bundar. Di sana, kita menang. Seperti balik nama sertifikat, kemarin yang telah resmi terdaftar dengan nama Hindia Belanda kini berubah menjadi Indonesia. Batasnya, sama dengan batas Hindia Belanda.
Ya, Uti Possidetis Juris sebagai dampak baik adalah seperti kisah Belanda yang bersusah payah menyatukan namun kitalah yang panen, tak sering kita bicarakan. Kita lebih senang mencari alasan marah pada sisi kejam bangsa itu saja. Ya, seperti takdir, Perang Dunia II dan kisah Jepang yang kejam saat mengganti posisi Belanda memang terdengar mengerikan. Namun, tanpa peristiwa itu mustahil hari ini akan sama dengan apa yang kita rasakan.
Belanda sebagai negara kolonial yang akhirnya memutuskan untuk “menyatukan” dengan paksa apa yang dulu pernah terserak meski tanpa sadar sejak VOC bangkrut, ternyata kelak justru memantik lahirnya negara baru. Bukan Majapahit, bukan Sriwijaya, tapi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan pada HUT ke-77-nya, tak pantaskah kita memaknai sejarah kita dengan cara pandang baru? Tanpa rasa marah dan benci pada mereka yang konon pernah menjajah kita? Selalu ada hikmah dan cerita baik di balik setiap rasa syukur kita. Selamat merayakan hari merdeka yang ke-77 tahun. (*Penulis aktif menulis utas di Twitter. Artikel ini merupakan utas penulis yang disunting Berita Alternatif tanpa mengubah substansi tulisan aslinya)