Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia patut disayangkan oleh seluruh bangsa, terutama para pecinta sepakbola. Mestinya FIFA berlapang dada menerima tawaran solusi bijak yang disodorkan oleh PSSI. Ternyata FIFA masih konsisten dengan standar ganda.
Bila merasa cukup mantap (tidak menganggap mengizinkan Timnas Israel ikut serta dalam Piala Dunia di Indonesia sebagai pelanggaran terhadap konstitusi) berdasarkan argumen yang dikemukakannya, Pemerintah berhak mempertahankannya dan mengambil keputusan tegas.
Meski demikian, masyarakat yang menentang kehadiran Timnas U-20 tentu berhak pula memprotes keputusan pemerintah sebagai bagian dari hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh Pancasila dan UUD 45 dengan cara yang legal, tanpa melakukan aksi-aksi ilegal dengan tujuan menghalangi kehadiran Timnas Israel.
Bila Pemerintah pada akhirnya menolak kehadiran Timnas Israel, maka itu bisa dipahami sebagai hasil kalkulasi cermat terhadap indikator persentase penolakan yang lebih besar dari penerimaan meski opini penerimaan sekilas terbaca di Medsos lebih dominan. Di atas kertas, opini penolakan menerjang dinding polarisasi nasionalis dan Islam, atau kasarnya antara kubu cebong dan kadrun.
Kini rencana itu sudah dibatalkan secara resmi oleh FIFA. Kita sedih tapi mesti berpikiran positif. Daripada menyesali pembatalan yang tak bisa dianulir oleh FIFA lebih baik mengukir prestasi yang lebih mulia, yaitu memikirkan nasib para korban tragedi Kanjuruhan yang hingga kini belum jelas.
Ada hikmah besar di baliknya. Setidaknya dikotomi tak sehat antara kadrun dan cebong bubar atau minimal mengalami transformasi. Yang patut disyukuri adalah gagalnya skenario Kadrunisasi setiap pendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina. Bahkan secara umum stigma kadrun jadi ambyar. Betapa tidak, para pegiat utama Medsos yang rutin menyebut kelompok Islam garis keras dan para pelaku politisasi agama sebagai kadrun justru dikadrunkan karena menolak Timnas Israel.
Bila mengimani Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar penolakan, mestinya kelompok yang mengaku nasionalis juga pendukung tokoh nasionalis sebagai capres, tidak mencemooh dan mengecamnya, apalagi mencabut dukungan politik.
Berkurangnya dukungan politik sebuah kelompok karena sikap tegas terhadap penjajahan justru tak sebanding dengan bertambahnya dukungan dari mayoritas rakyat yang konsisten memegang teguh sepenggal kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”.
Fenomena ini justru mengubah konstelasi politik dalam dialektika yang lebih jelas, yaitu antara masyarakat yang konsisten berada di garis Bapak Revolusi Bung Karno dan kelompok yang menganggap sikap tegas anti penjajahan sebagai pandangan basi.
Bagi Soekarno nasionalisme bukan sekadar bermakna mencintai Tanah Air Indonesia, sebagaimana yang lazimnya dipersepsi secara umum. Soekarno menolak ide nasionalisme Indonesia yang timbul karena sekadar ekspresi sentimental atau perasaan.
“Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan.”
Hapus penjajahan! (*Cendekiawan Muslim)