PENYALAHGUNAAN narkotika telah menjadi masalah serius di Indonesia. Barang haram tersebut tak hanya disalahgunakan orang-orang di kota besar, tetapi juga telah “merusak” generasi muda di perdesaan.
Upaya meminimalisasi dan memerangi penyalahgunaan narkotika telah dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya dengan menjatuhkan hukuman yang menimbulkan efek jera terhadap pelaku dan menerapkan rehabilitasi.
Cara terakhir, yakni rehabilitasi, masih menimbulkan tanda tanya tersendiri dalam penerapannya. Karena itu, kami mengupasnya dengan pengamat dan praktisi hukum yang kini mengajar di Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) Tenggarong, Mansyur.
Apakah rehabilitasi telah dijalankan sesuai undang-undang?
Pembahasan terkait persoalan narkoba di dunia telah dimulai pada 1912. Sementara di Indonesia mulai dilirik ketika negara ini meratifikasi Konvensi Internasional pada 1961 dan 1988. Lebih jauh, pengaturan tentang narkotika ini dilakukan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Ketika berbicara rehabilitasi, salah satu hal yang perlu didorong atas dasar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini sebenarnya menempatkan pelaku tindak pidana narkotika sebagai korban atas peredaran gelap narkotika di Indonesia. Oleh sebab itu, apa yang disebutkan di beberapa pasal yang tersebar di Undang-Undang Narkotika harus dilaksanakan. Jangan sampai pasal-pasal ini hanya menjadi pajangan dalam undang-undang.
Selain itu, saya termasuk salah seorang yang sering mengkritik terkait proses pelaksanaan Pasal 54, 55, 103 dan 127, karena di lapangan jarang ditemukan penegakan hukum terhadap pelaku penyalahguna narkoba.
Semenjak menjadi lawyer di Kutai Kartanegara, kita temukan hampir 60-70% kasus itu ialah kasus narkoba dan rata-rata 70-80 persen orang-orang yang ditangkap itu, barang bukti yang dibawa sebanyak 5 gram. Artinya, mayoritas yang ditangkap adalah penyalahguna dan pemakai narkoba, bukan sebagai pengedar.
Satu tahun terakhir ini saya mendorong pasal-pasal yang mengatur kewajiban rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkotika untuk dilaksanakan dengan baik, agar berbagai pasal tersebut tidak menjadi pajangan saja, karena rata-rata pelaku tindak pidana narkotika ini kebanyakan di Pasal 112 dan 114.
Selain itu, pemberian sanksi dalam kasus penyalahguna dan pemakai narkoba ini ditetapkan sebagai tersangka harus berdasarkan Undang-Undang 35 Tahun 2009, karena ini merupakan kejahatan lex spealis.
Pertanyaannya, mengapa orang-orang yang terindikasi penyalahguna narkoba dijerat dengan hukuman penjara, padahal harusnya direhabilitasi? Pasal 55, 54, 103, bahkan 127 tidak diterapkan. Alasannya, karena dalam Undang-Undang Narkotika tidak disebutkan batas minimum atau batas maksimum barang bukti yang didapat oleh penegak hukum, yang wajib diberikan rehabilitasi tidak dijelaskan dalam undang-undang. Karena itu, penafsiran terhadap undang-undang ini masih tergantung pada penegak hukum.
Tapi, berakhir pada 2014 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memberikan batasan bahwa seseorang yang memiliki barang bukti di bawah 1 gram wajib untuk diberikan rehabilitasi. Hal ini dipertegas juga di SEMA.
Tapi kalau menggunakan undang-undang, tidak kita temukan, sehingga rata-rata ketika penegak hukum memiliki barang bukti sedikit pun yang berbentuk sabu-sabu maupun ekstasi, maka biasanya masuk pada Pasal 112 dan 114 yang mengatur tentang norma memiliki dan menguasai.
Selama mengikuti penerapan Undang-Undang Narkotika, hanya satu yang saya temukan perkara yang murni dibawa ke Pasal 127. Itu pun tidak direhabilitasi, tapi diberikan sanksi di bawah 2 tahun karena tidak didapatkan barang bukti berupa sabu.
Bagaimana Anda melihat kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani?
Mengenai kasus Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani yang ditetapkan oleh pihak kepolisian untuk dilakukan rehabilitasi, konstruksi hukum tentang rehabilitasi tidak harus berdasarkan pada keputusan majelis hakim, tapi di penyidik dan kejaksaan bisa mengajukan permohonan rehabilitasi, tetapi kembali kepada BNN dan Tim Asesmen untuk merestui atau menolak rehabilitasi. Dalam kasus artis yang fenomenal akhir-akhir ini, informasi yang kami dapat barang buktinya 0,90 gram.
Kalau kita melihat kultur proses penegakan hukum narkotika, maka saya tidak sepakat rehabilitasi terhadap oknum ini dan menghentikan proses hukumnya. Tapi kalau untuk memulihkan kembali, saya sepakat. Akan tetapi kalau menggunakan SEMA, berarti harus direhabilitasi, karena barang bukti di bawah 1 gram.
Apakah dalam kasus Nia Ramadhani dan suaminya terjadi pilih kasih atau tidak? Ada pemikiran ke arah sana, karena selama ini pasal-pasal itu jarang diterapkan oleh para penegak hukum. Penerapannya hanya terhadap kasus-kasus tertentu. Sebagai contoh, tahun lalu, saya menangani seorang anak yang ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan tindak pidana narkoba. Akhirnya kami dengan kejaksaan dan mediator sepakat agar anak ini mengikuti diversi. Jaksa kemudian mengajukannya ke BNN, tapi pengajuan tersebut dtolak karena alasan Covid-19, sehingga anak itu dijatuhi hukuman 1 tahun lebih.
Saat melihat fenomena-fenomena yang terjadi, maka saya pikir, ketika ini direhabilitasi, apalagi rehabilitasi memberhentian proses hukumnya ke pemberian sanksi pidana, maka ini terlihat pilih kasih. Kecuali rehabilitasi. Tapi pemberian sanksi pidananya tidak ditiadakan. Maka dari itu, menurut saya, sah-sah saja. Karena rehabilitasi hanya pada pengembalian dan pemulihan kondisi akibat pelakunya mengonsumsi narkotika.
Tidak ada batasan minimum dan maksimum barang bukti narkotika sehingga seseorang direhabilitasi. Apakah ini juga memberikan wewenang yang tidak terbatas kepada penegak hukum?
Inilah akibatnya ketika aturan dan undang-undang tidak diatur secara jelas dan terang tentang batas-batas yang boleh atau yang tidak boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum. Apabila tidak diatur secara jelas dan terang seperti itu, maka membuka peluang bagi orang untuk memberikan penafsiran. Apalagi penegak hukum yang memiliki kewenangan diskresi dalam proses pelaksanaan fungsinya sebagai penegak hukum.
Artinya, penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan. Ini persoalannya. Kecuali seperti SEMA yang secara jelas mengatur bahwa pemberian rehabilitasi itu di bawah 1 gram sesuai Pasal 2 poin B angka 1 SEMA.
Saya berharap penegak hukum ke depan memperjelas batas minimum dan maksimal terhadap pelaku kejahatan narkotika dalam rangka memberikan rehabilitasi atau tidak. Karena negara kita negara hukum yang memahami bahwa hukum harus secara tertulis, tidak boleh menerapkan satu tindakan yang belum diatur secara tertulis. Ini konsekuensinya ketika kita menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau yang mengedepankan hukum tertulis.
Harapan besar saya, dalam upaya penegakan hukum, aparat hukum melaksanakan perintah Pasal 54, 55, 103 dan 127 tentang kewajiban untuk melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika. Jangan sampai pasal-pasal ini menjadi pajangan saja di atas kertas. Sebagaimana disampaikan ahli hukum Satjipto Rahardjo, hukum lahir untuk dijalankan, bukan untuk dibaca dan dipahami saja, tapi dijelaskan dan direalisasikan dalam kehidupan nyata oleh lembaga-lembaga atau institusi yang diberikan kewenangan oleh negara, seperti kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan advokat sampai pada lembaga pemasyarakatan.
Apakah perlakuan hukum terhadap pemakai dan pengedar harus dibedakan?
Pemakai atau pengguna berbeda dengan pengedar. Kalau pengguna, saya lebih mendorong agar pasal-pasal rehabilitasi diterapkan. Sementara bagi pengedar, saya sangat mendorong diberikan sanksi bahkan hukuman mati. Karena pengedarlah yang menyebabkan pengguna.
Bukan menjadi rahasia umum bahwa oknum penjaga lapas mengizinkan narkoba beredar di lapas. Lapas bukan lagi merupakan sesuatu yang urgen untuk memberikan satu perubahan terhadap pelaku tindak pidana.
Makanya saya sangat mendorong terhadap tindak pidana ringan, termasuk pada pemakai dan pecandu narkoba, cukup diselesaikan di luar pengadilan, dengan menerapkan prinsip restorative justice. Hanya saja prinsip ini belum diatur secara jelas dan ketat oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Ketika tindak pidana ringan seperti pemakai dan pecandu narkoba, maka potensi over kapasitas besar. Kalau tidak salah, 2 tahun terakhir Ombudsman melakukan penelitian dan menyimpulkan, hampir setiap lapas di Indonesia 50 persen pelaku tindak pidana narkoba dan lebih banyak pemakai penyalahguna. Hanya sekian persen ada pengedar narkoba yang ditangkap dan diberikan sanksi dan hukuman yang menimbulkan efek jera.
Karena narapidana masuk di lapas, makan, tidur, dan mandi dibiayai oleh negara. Ini juga berpotensi untuk membengkakan pengeluaran negara. Karena itu, tindak pidana ringan cukup diselesaikan di luar persidangan dengan cara tetap memikirkan dan memberikan suatu perubahan sehingga dia tidak melakukan lagi perbuatan yang sama atau tindak pidana yang lain. Pada prinsipnya pemberian sanksi pidana adalah memberikan efek jera, sehingga saat pelaku keluar, ia tidak melakukan tindakan yang sama atau melakukan tindakan pidana yang lain.
Lembaga mana yang memutuskan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika?
Yang memutuskan rehabilitasi di tingkat penyelidikan dan penuntutan kembali ke BNN, karena di peraturan bersama antara Kementerian hukum dan HAM, kepolisian, kejaksaan sampai lapas, ketika dalam proses penyelidikan dan penuntutan, maka lembaga yang sedang menangani perkara itu mengajukan permohonan asesmen kepada tim asesmen terpadu dan ditembuskan ke kepala BNN. Bisa juga berdasarkan putusan majelis hakim. Ketika keputusan majelis hakim diberikan sanksi rehabilitasi, maka jaksa akan menyerahkan terpidana ke BNN untuk dilakukan rehabilitasi.
Sehubungan dengan tidak diaturnya syarat minimum dan maksimum, ini sangat berpotensi sekali untuk membuka ruang permainan di lembaga hukum. Karena oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab (mafia hukum) ada yang hidup di tengah-tengah penegakan hukum kita. Oleh sebab itu, sekali lagi saya sangat mendorong untuk diperjelas agar tidak ada lagi penafsiran yang aneh-aneh, apalagi membuka ruang bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk bermain.
Mengenai praktek-praktek nyata yang ditemui di lapangan, mengutip pendapat Satjipto Rahardjo dalam bukunya Biarkan Hukum Mengalir, hal yang paling penting dalam penegakan hukum bukan pada struktur normatif peraturan perundang-undangan, tetapi ada kultur dan karakter institusi yang mesti diperbaiki, karena hukum kita masih membuka ruang bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk bermain. Hal-hal seperti ini bukan lagi rahasia umum, karena memang sudah banyak bukti-bukti yang mengarahkan bahwa memang ada oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang masuk ke institusi-institusi kita.
Pada intinya, terkait dengan proses penegakan hukum dan lahirnya Undang-Undang Narkotika yang tidak hanya bicara tentang pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika, tetapi ada sanksi-sanksi lain yang berupa tindakan dalam rangka memperbaiki seseorang yang sudah mengonsumsi atau yang sudah tercandu oleh narkotika, sehingga yang dicita-citakan oleh undang-undang ini dapat terlaksana dengan baik.
Dalam upaya penegakan hukum, tentu bagi institusi-institusi penegakan hukum harus serius dan betul-betul melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum. Dan yang tidak kalah penting adalah penegak hukum diharapkan membasmi dan memutus penyebaran rantai penyalahgunaan narkotika ini. Karena tidak mungkin hanya menitipkan kepada penegak hukum untuk memperbaiki bangsa dan negara ini, kecuali kita harus sama-sama dengan masyarakat dan penegak hukum. (*)
Penulis: Arif Sofyandi