Oleh: Yusuf*
Beberapa kali aduan yang masuk ke Bawaslu Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) selalu mentah dalam penindakannya. Alasannya beragam: kekurangan waktu untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, locus tempus kejadian perkara yang di luar wilayah yuridiksi Bawaslu Kukar, legal standing pelapor dan ketidakcukupan unsur untuk menjadi laporan aduan oleh pelapor.
Selain itu, Bawaslu Kukar tidak profesional dalam penanganan aduan oleh pelapor yang pernah kami adukan ke DKPP RI sebagai pelanggaran kode etik. Pengaduan tersebut telah dimenangkan dan dijatuhi sanksi peringatan ringan oleh DKPP RI tahun 2024.
Melihat dinamika dalam pengawasan kepemiluan oleh Bawaslu Kukar, kami sampai pada kesimpulan bahwa Bawaslu Kukar lemah liur dalam pelaksanaan pengawasan kepemiluan baik pileg maupun pilkada.
Lemah Liur merujuk pada Bahasa Kutai yang bermakna ketiadaan kehendak atau keinginan bertindak sesuatu.
Ada beberapa aduan tindak pidana pemilu dan pelanggaran yang telah dilaporkan ke Bawaslu Kukar seperti dugaan pemalsuan ijazah oleh calon legislatif terpilih, yang belakangan mengundurkan diri, tidak bisa diproses oleh Bawaslu Kukar karena waktu investigasi yang melewati masanya atau kurang serta sulitnya klarifikasi penggunggah dokumen ijazah palsu tersebut.
Kasus lain, dugaan politik uang dalam kegiatan penggiat desa di hotel yang berada di Samarinda tidak dapat ditangani karena di luar wilayah yuridiksi Bawaslu Kukar.
Laporan pencatutan identitas pribadi oleh salah seorang pasangan calon bupati pun tidak dapat diregistrasikan meski yang bersangkutan merupakan pelapor.
Terakhir, dugaan politik uang yang juga masuk tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh seorang ketua RT di Desa Loa Janan Ulu Kecamatan Loa Janan juga demikian: tidak dapat ditindaklanjuti dan dihentikan laporannya oleh Bawaslu Kukar.
Dalihnya, terlapor tidak dapat terklarifikasi. Kami menilai alasan ini sangat janggal dari semua aspek. Alasan penolak atau penghentian penindakan atas
laporan aduan tersebut karena Bawaslu Kukar adalah Lembaga Penyenggara Pemilu yang diberi kuasa anggaran dan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepemiluan. Dalam hal ini, pemeriksaan dugaan pelanggaran dan tindak pidana pemilu.
Bawaslu Kukar memiliki perangkat sampai di tingkat desa serta mampu melakukan langkah koordinasi dengan aparat terkait di Gakkumdu.
Kami sampai pada kesimpulan bahwa memang pengawasan kepemiluan yang dilakukan oleh Bawaslu Kukar hanya ajang pemenuhan formalitas saja.
Tetapi, kami berharap peran serta masyakat tidak lemah liur seperti Bawaslu Kukar. Pengawasan partisipatif masyarakat yang memiliki keterbatasan operasional akan menjadi anomali tersendiri terhadap kinerja Bawaslu Kukar.
Kita tetap membuat laporan aduan ke Bawaslu Kukar meski hanya menghabiskan kertas alias laporan tertolak oleh Bawaslu Kukar. Namun, hal ini menunjukkan terpenuhi syarat bahwa semua pernah disampaikan dan masyarakat tidak diam. (*Paralegal LBH Jembatan Keadilan Nusantara)